Nanairo CRAYON part 16 -Chapter 3-


Title: Nanairo CRAYON
Part: 16
Chapter: 3
Author: -Keka-
Fandom: Jrock staring the GazettE, Kagrra, Kra, alice nine., Sadie, An Cafe n more…




==1616==

"Kau tidak membunuh mereka kan?! jawab Yuura!!"

Ia tidak menjawab, tidak pula menggeleng atau mengangguk. Ia hanya diam dalam kebisuan, menunduk dan gemetaran.

"Kau tidak melakukannya kan?! Kau tidak membunuh mereka.. bukan kau yang melakukan semua ini kan?!!! Jawab Yuura!!! Aku bilang JAWAB!!!"

Bentakan keras itu membuatnya semakin gugup. Kepalanya seperti berputar-putar, dan jutaan balok serasa menghantam permukaan perutnya secara bertubi-tubi, membuatnya tidak sanggup berkata, bahkan hanya sekedar mengatakan tidak. Ketakutan itu membuatnya bungkam, meskipun ia sangat ingin berteriak sekeras mungkin mengatakan 'tidak' dan menjelaskan semua yang terjadi pada sosok itu, sosok yang bertubuh lebih tinggi darinya, sosok yang sangat menuntut penjelasan panjang kepadanya, dan sosok yang selama ini telah ia panggil 'kakak'.

Yuura membuka matanya dengan cepat, nyaris terbelalak dan kebas kepayahan dengan keringat yang mengalir dari pelipis dan bagian permukaan tubuhnya yang lain. Keadaan ruang itu semakin pengab dan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Disampingnya, Kai tengah terbatuk dan akhirnya sadar bahwa Yuura telah sadar dalam keadaan yang tidak baik.

"Kau baik-baik saja Yuura?" Tanya sosok berwajah ramah itu. Meski ia sendiri sedang kepayahan, namun entah mengapa Kai tetap mampu menunjukkan wajah tenang dan senyum ramah yang membuat perasaan Yuura sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

"Laki-laki itu... Uruha maksudku.. dia.. di- dia.." Yuura semakin sulit meneruskan kata-katanya karena nafasnya sendiri menjadi semakin berat, seperti menghirup udara yang banyak mengandung partikel logam dan membuat paru-parunya seperti terbakar saat menghirup udara itu.

"Kita harus keluar dari ruangan ini sebelum gas ini membunuh kita berdua."

Ucapan Kai menyadarkan Yuura. Beberapa saat yang lalu, sebelum akhirnya Yuura hilang kesadaran, Uruha telah membuat ruangannya tertutup sama sekali dan melepaskan gas beracun yang perlahan akan membunuhnya sedikit demi sedikit dengan cara menyakitkan.

"Aku harus bicara padanya, Kai. Selama ini dia telah salah paham kepadaku.. a- aku.. tidak melakukan hal itu.. dia.. apa yang telah dilihatnya.. bu.. bukan.. seperti itu.. uhuk.. uhuuk..huuk.." Yuura tidak sanggup meneruskan kata-katanya, paru-parunya sakit seperti disilet-silet, dan darah segar kontan menyembur ke permukaan tangannya saat ia terbatuk dan menutupi mulutnya dengan telapak tangannya itu.

Kai menjadi panik karenanya. Ia sadar bahwa Yuura tidak mampu bertahan lama dalam keadaan yang tidak menguntungkan seperti ini. "Aku akan mendobrak pintu itu agar kita bisa keluar. Tenang Yuura.. bersabarlah.. kita berdua pasti masih bisa selamat."

Yuura hanya mampu mengedipkan kedua matanya dengan perlahan. Ia sudah tidak sanggup lagi, bahkan pandangan matanya semakin menjadi kabur. Antara hal nyata dan imajinasi serta bayangan masa lalu itu berbaur menjadi satu.

Ia melihat kejadian jauh sebelum ini, kejadian yang membuatnya tidak ingin mengingat apa-apa lagi. Ia tengah sakit dan berbaring di ranjangnya saat mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya.

"Mana anak itu?? Serahkan padaku!! CEPAT!!!"

Teriakan memerintah itu langsung saja membuat Yuura terhenyak di ranjangnya. Meskipun dalam keadaan lemas, ia memaksa turun dari tempat itu dan menerawang kejadian apa yang tengah berlangsung di luar kamarnya.

Ada dua orang bocah remaja seusianya dan beberapa pria bertubuh besar dengan senjata tajam di tangan mereka memaksa para pelayannya yang bungkam untuk bersuara, namun tidak ada yang bersuara dari mereka sampai akhirnya pria-pria bersenjata tajam itu membunuh pelayannya satu persatu. Yuura ketakutan seorang diri menyaksikan tubuh-tubuh bergelimpangan dan darah berceceran mewarnai dinding dan lantai rumahnya yang didominasi warna putih gading.

Yuura gugup dan sibuk membekap mulutnya sendiri agar tidak refleks berteriak dan membuat pria-pria itu sadar akan keberadaannya. Yuura tahu bahwa pria-pria itu mencari dirinya, ia tidak mau begitu saja ditemukan dan berakhir sebagai alat pencapaian keinginan dari salah seorang pria pembunuh itu. Dengan cepat otak remaja kecil belasan tahunnya berpikir. Yuura harus bersembunyi agar tidak ditemukan, dan karena gugup itu akhirnya ia tidak tahu harus lari kemana. Saat membuka jendela kamarnya, ia ngeri memandang letak jendela kamar yang terlalu tinggi dari permukaan tanah. Melompat dari sana rasanya sama saja seperti bunuh diri, atau paling tidak meremukkan beberapa tulangnya dan membuatnya cacat. Tidak masalah bagi pria itu jika ia cacat asalkan matanya tetap berfungsi.

Yuura mengurungkan niatnya dan akhirnya dengan keterbatasan waktu untuk berpikir, bocah remaja itu bersembunyi di bawah tempat tidurnya. Ia mendengar suara pilu wanita itu saat mengatakan 'ia tidak ada di sini'.

"Yuura tidak disini. Kau salah telah mencarinya di tempat ini.. pergilah.. aku mohon pergilah.. biarkan Yuura hidup yang layak di tempatnya.. Jangan ambil dia dariku.. atau bunuh saja diriku.. tapi jangan sakiti anakku.. Jangan sakiti Yuura!!!" Wanita itu memohon dengan suara menjerit dan terisak. Wanita itu adalah ibunya, ibu dari Yuura dan juga wanita yang sangat disayangi Uruha.

"Wanita jalang! Jadi yang demikian itu keinginanmu.. baiklah akan ku kabulkan.. MATI KAU JALANG!!!"

CRAAAAASSSSHH!!!

Tikaman senjata tajam panjang menembus perut wanita itu hingga ke punggungnya. Yuura melihat itu dengan penglihatan matanya yang mampu menembus dinding. Ingin sekali ia menjerit histeris saat menyaksikan wanita yang sangat disayangi mengalami hal demikian, namun ia tidak mau melihat pengorbanan ibunya sia-sia. Yuura tetap membekap mulutnya dan berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun, meski ia ingin menangis sejadi-jadinya.

Beberapa dari pria itu masuk ke dalam kamarnya dan berkeliling di setiap sudutnya. Yuura semakin menahan diri dan tidak bergerak bahkan ia mulai menahan nafas agar suara nafasnya tidak sampai ke telinga pria-pria kejam yang mencarinya.

"Tidak ada di ruangan ini. Sepertinya memang benar anak itu disembunyikan di tempat lain di luar dari rumah ini. Sebaiknya kita pergi sebelum polisi tiba." Salah satu pria mengeluarkan perintah dan pria-pria yang lain menurutinya.

Derap langkah mereka pergi meninggalkan ruangannya dan beberapa saat kemudian semuanya langsung berubah senyap. Yuura menunggu beberapa saat sampai akhirnya ia memutuskan keluar dari persembunyiannya dan berharap semoga orang-orang yang mencarinya memang sudah pergi.

Berkali-kali Yuura harus menahan pedih dan panas air matanya saat melewati mayat-mayat bergelimpangan dari orang-orang yang selalu menjaganya dan memberinya kasih sayang. Mereka semua mati karena disayat dan tertusuk senjata tajam seperti senjata yang saat ini masih menancap di tubuh ibunya.

Dengan bergetar dan shock hebat Yuura mendekati sosok itu. Menangis pun rasanya ia sudah tidak mampu. Tubuh itu masih bergerak, namun Yuura seperti tidak bisa lagi berpikir ingin melakukan apa untuk menyelamatkannya.

"Jangan menangis Yuura.. berjanjilah pada okasan.. kau tidak akan pernah menangisi kematian.. pergilah.. cepat.. ca..ri.. Uru.. berlindunglah pa..da..nya.. Yuu.."

"Aku akan menyelamatkan okasan.."

"Tidak perlu.. pergi.. pergi saja dirimu.. bersama Uru.. selamatkan diri kalian.. dan carilah kehidupan yang lebih baik.. berjanjilah.. kalian akan saling melindungi.. selamat tinggal Yuura... jaga dirimu baik.. baik.."

"TIDAK!!! Jangan pergi.. jangan tinggalkan kami.. apa yang akan kukatakan pada Uruha tentang kematian kalian?!!! Jangan pergi okasan.. kumohon jangan pergi.." Yuura menangis sesunggukan dan memegangi telapak tangan ibunya, kemudian mendekapnya erat dan menciuminya dengan keputusasaan. "Kumohon jangan pergi.. Uruha akan marah padaku jika dia mengetahui okasan pergi karena melindungiku.. kumohon jangan pergi.. jangan pergi okasan.. kau janji ingin mengajariku berkuda dan mengajakku ke tempat yang indah bukan?! Karena itu jangan pergi.. aku akan memanggil dokter dan menyelamatkanmu.. kau dengar aku kan okasan.. katakan kau mendengar ucapanku! Katakanlah sesuatu.. aku mohon.. jawab okasan!! Mengapa kau diam saja?? Mengapa kau berhenti bersuara?!! Aku tidak mau kau menjadi diam begini!! Kumohon... sekali saja... katakan sesuatu padaku.." Air mata berlinangan di pelupuk mata dan pipi Yuura. Berulang kali ia memanggil ibunya, namun wanita itu tak kunjung menjawab karena saat ini yang tertinggal dari tubuhnya hanyalah jasad yang tak bernyawa.

Yuura menutupi wajahnya saat mengingat kejadian itu. Wanita yang selama ini menjerit di mimpi-mimpinya tak lain adalah ibunya sendiri yang mencoba melindunginya dan berakhir dalam kematian.

"Uruha salah paham padaku.. bukan aku yang membunuh okasan dan para pelayan.. tapi orang itu.. orang itu.."

"Tenanglah Yuura, nanti saja menjelaskan hal itu. Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah cara keluar dari ruangan ini..uhuukk!!" Kai juga mulai terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya, namun ia dengan cepat menyembunyikan itu agar Yuura tidak ikut-ikutan mencemaskan dirinya. "Tunggu disini Yuura, aku akan mencari cara membobol pintu ruang ini."

Sia-sia Kai..

Yuura berdesis dalam hati dan memilih untuk menyandarkan punggungnya pada dinding. Mungkin ia memilih kematian menjemputnya karena ia pun telah lelah dengan semuanya.

=v=

"Apa yang kau lakukan?!!! Kau bodoh Uruha!!! Kau mengurung kami semua disini!! Apa yang sebenarnya ada di otakmu?!!!!" Mao menarik kerah baju Uruha dengan kasar, meskipun gerakannya mulai lemah karena gas beracun itu juga mulai mencekiknya.

"Kita semua akan mati... kalian dengar.. kita semua akan mati di tempat ini.. hahahahaa.." Uruha tertawa gembira seperti orang gila yang mulai kehilangan akalnya.

"Kenapa kau lakukan ini Uru?" Tanya Saga yang saat ini tengah membiarkan kepala Hiroto terkulai lemas di pangkuannya karena bocah itu terlalu banyak menghirup gas beracun disekitarnya. Saga sendiri mulai kepayahan dan sedikit demi sedikit pandangannya mulai kabur.

"Alasannya karena aku tidak mau mati seorang diri. Aku ingin kita semua MATI DISINI. Kalian dengar.. kita semua akan MATI DISINI!!!!! HHAHAHAHHAHAAHH.. aku merasa PUAS.. orang itu tidak akan mendapatkan satupun dari kita. Tidak akan memanfaatkanku lagi untuk membunuh.. tidak akan memanfaatkan kalian.. dan yang lebih penting lagi... orang itu tidak akan mendapatkan mata Yuura!! Ah iya.. bagaimana aku bisa lupa.. hhahh..hh.. Meskipun Yuura mati, namun jaringan matanya akan tetap hidup.. a..aku tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.. aku harus membutakannya sekarang.. akan kutusuk matanya dengan pisau. Kalian tunggulah disini.. aku akan pergi ke tempat Yuura dan membutakan matanya.. atau.. kalian.. ingin melihatku membutakan matanya.. hh..hhaahh. .hh.. baiklah.. a..ku.. akan memba..wanya ke hadapan ka..liaa..an.."

"Lakukan apa yang kau inginkan. Tapi aku tidak mau mati disini.. berikan kunci pintu keluar bangunan ini! Kalau kau ingin mati disini bersama mereka.. lakukan saja.. aku dan Bou akan pergi." Aki mulai mengeluarkan suaranya, meskipun tenang, namun tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini tubuhnya juga tengah kehabisan tenaga karena menghirup udara yang semakin tidak layak.

"Tidak bisa Aki.. kalau kau dan adikmu keluar... orang itu tetap akan memanfaatkan kalian.. atau kau mau berakhir di penjara.. orang tuamu akan sangat malu jika putra mereka satu-satunya masuk penjara karena telah banyak melakukan pembunuhan dan berdagang benda-benda haram.. hahahaa.. kau sama menyedihkannya seperti kami.. Aki.. lebih baik kau memilih mati disini bersama Bou.. adikmu tersayang.."

"DIAM URUHA!!! Kami muak mendengar ucapanmu!!! Kau membenci adikmu tapi melibatkan kami atas kebencian itu!!"

"Kau yang diam Tsurugi.. anak seorang pelacur sepertimu tidak usah berkata seolah-olah kau yang paling benar!! Kalian.. kenapa kalian mau dijadikan pembunuh.. itu karena kalian membenci kehidupan ini.. membenci orang lain bahagia.. kalian tidak ingin melihat orang lain bahagia sementara kalian sendiri yang menderita.. benar begitu kan?!!"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan Uruha karena sepenuhnya apa yang dikatakan Uruha itu tidak salah dan memang benar adanya.

"Aku.. aku.. tidak membenci Yuura karena dia telah membunuh okasan.. aku membencinya lebih karena okasan lebih menyayanginya.. saat aku terjatuh dari kuda bersama Yuura... yang dicemaskannya bukan diriku.. melainkan Yuura.. baginya.. baginya.. Yuura lebih penting dari apapun juga termasuk diriku yang hanya anak angkatnya. Dan saat aku melihatnya mencabut katana itu dari tubuh okasan.. aku menjadi semakin membencinya. Mengapa karena ketakutan tidak beralasan yang ditunjukkan oleh matanya.. bocah berengsek itu sampai tega membunuh okasan yang begitu menyayanginya??"

"Kau salah Uruha... adikmu.. Yuura tidak melakukan itu." Pria berpenutup hidung yang sedari tadi diam, akhirnya mulai bersuara.

"Kau tahu apa Reita?!! Memangnya kau melihat semuanya?!!!"

"Iya.. aku melihat semuanya!! Termasuk saat orang itu menancapkan katana di tubuh ibumu.. aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.."

"Orang itu.. orang itu siapa?!!"

"Ayahmu.. Matsumoto-san."

Uruha terhenyak saat mendengar ucapan Reita. Namun tidak ada reaksi yang ditunjukannya selain tawa hampa.

"Kau bohong!! Otosan tidak mungkin membunuh okasan.."

"Itu benar.. kau jangan menyangkalnya.. Kau tahu sendiri bahwa Matsumoto-san itu kejam. Kornea mata itu ditanamkan pada mata Yuura yang buta semata karena Matsumoto-san tidak ingin menanamkannya pada mata Ruki, putra yang paling disayanginya. Ibumu yang juga ibu kandung dari Yuura hanyalah wanita lain dalam hidup ayahmu. Hanya Ruki dan nyonya Matsumoto ibu Ruki yang sangat disayanginya semasa hidup."

"Kau bohong Rei.. otosan tidak mungkin... Yuura yang bodoh.. ia mempercayai semua penglihatan yang ditunjukkan matanya.. padahal itu semua hanya ketakutan terdalamnya.. ia melihat okasan dan otosan menyiksanya.. tapi sesungguhnya tidak demikian.. Yuura bodoh.."

"Itu benar Uru.. aku juga mengetahuinya. Hanya saja ada sedikit kekeliruan dalam ucapan Reita. Matsumoto-san sebenarnya tidak benar-benar menyayangi Ruki."

"Apa yang kau ketahui Saga?!! Kau juga mau mengatakan otosan yang bersalah karena selama ini otosan selalu memaksamu memuaskan nafsunya?!!"

"Tidak.. tidak begitu.. aku memang membenci ayahmu.. tapi aku tidak ingin mengatakan kebohongan melainkan kebenaran yang selama ini tidak kau ketahui. Kalung yang kau kenakan.. itu sebenarnya milik Ruki. Ayahmu membuatnya sepasang untuk diberikan pada Ruki dan Yuura, putra kandungnya. Baginya.. Ruki dan Yuura adalah hidupnya.. mereka memiliki keistimewaan masing-masing meskipun sama-sama terlahir dengan mata buta dari rahim ibu yang berbeda. Ruki memiliki kepekaan dan mampu membaca pikiran serta perasaan orang lain yang berada di dekatnya, sedangkan korneo mata ajaib yang kini tertanam di mata Yuura.. hanya dapat berfungsi di mata Yuura. Jauh sebelum dipasang pada mata Yuura, Matsumoto-san pernah mencobanya pada mata Ruki, namun Ruki tetap tidak mampu melihat dengan kornea mata itu. Barulah setelah dipasang pada mata Yuura.. Yuura bisa melihat hal-hal ajaib itu. Matsumoto-san sendiri yang mengatakannya padaku. Bagi Matsumoto-san, Ruki dan Yuura hanyalah obsesi hidup. Tidak ada yang pernah benar-benar disayanginya. Karena itu... Ruki yang tetap buta namun mampu membaca pikiran serta perasaan orang lain... akhirnyaa.."

"Membunuh ayahnya sendiri lalu menjadi satu-satunya pewaris klan Matsumoto.. benar begitu kan Saga?!"

"Iya.. kau mengetahui itu jauh lebih baik daripada aku.. Rei... karena kau dekat dengan Ruki. Kau juga mau menjadi mata-mata dan menjalankan tindak kejahatan.. semata karena Ruki. Jadi pikiranmu selama ini telah salah Uru.. bukan Yuura yang membunuh ayahmu malam itu, melainkan Ruki."

"Sedangkan ibumu dan para pelayan di rumah itu mati di tangan ayahmu dan anak buahnya saat ayahmu memaksa ingin mengambil Yuura dari sana. Aku dan Ruki ikut serta saat itu. Aku melihat semuanya, Yuura pun demikian. Ayahmu memang tidak berhasil menemukan Yuura yang saat itu sedang bersembunyi di bawah tempat tidurnya. Aku sendiri tidak tahu bahwa saat itu Yuura bersembunyi disana seandainya Ruki tidak membisikiku. Ruki bisa membaca semua ketakutan yang terpancar dari pikiran Yuura, termasuk dimana posisinya saat itu. Sedangkan Yuura mampu melihat segalanya menembus ke segala dinding dari tempat persembunyiannya saat Matsumoto-san membunuh ibumu."

Uruha terduduk lemas di tempatnya. Selama ini pun sebenarnya ia menyangkal bahwa Yuura, remaja berusia belasan tahun itu mampu membunuh banyak orang dengan tangannya. Jangankan menghilangkan nyawa manusia, ia bahkan pernah menangis saat menghilangkan nyawa beberapa semut yang mengganggunya.

"Apa aku harus mempercayai kata-kata kalian?!!"

"Tentu saja... siapa lagi yang ingin kau percayai bodoh?!!" Bentak Mao yang sedari tadi kesal namun tertegun dan menyimak dengan benar segala ucapan Saga dan Reita.

"Karena kau sudah tahu kebenarannya... sekarang juga biarkan kami menghirup udara bebas. Berikan kunci pintu keluar bangunan ini.."

Uruha lagi-lagi tertawa saat mendengarkan ucapan Kei yang sedari tadi diam dan mati-matian mencari celah untuk bernafas di tengah udara busuk yang mencekiknya.

"Aku minta maaf pada kalian semua... kunci itu... tidak ada padaku... ruangan ini tertutup atas perintah Ruki... Ruki yang merencanakan semuanya... Ruki ingin kita semua mati... aku mengerti sekarang.. aku mengerti mengapa Ruki merencanakan ini... dia membenci kita semua.. hahahaahh..hhahh.. Ruki yang malang.. bisa membaca semua pikiran ternyata membuatnya menjadi orang yang kejam. Sendainya dia dibesarkan di lingkungan yang penuh pikiran positif.. aku yakin dia bisa hidup menjadi bocah baik-baik. Tapi sayangnya dia hidup di lingkungan tidak sehat.. seharusnya aku menyadari sejak dulu bahwa Yuura tidak bersalah.. Ruki membencinya dan selalu berkata seandainya dia yang bisa melihat dan bukannya Yuura.. aku memang bodoh.. seharusnya aku tahu bahwa yang membunuh otosan di malam itu adalah Ruki dan bukannya Yuura. Aku bodoh mempercayai ucapan Ruki yang polos dibalik matanya yang buta... aku.. aakkh.. kenapa aku bisa begitu saja membenci Yuura atas provokasi Ruki.."

"Jangan katakan Ruki kejam!" Reita sedikit membentak. "Ruki juga menderita selama ini... saat itu dia bisa saja mengatakan pada Matsumoto-san dimana Yuura bersembunyi, namun Ruki tidak melakukan itu karena dia merasakan ketakutan yang sama seperti yang Yuura rasakan. Ruki membunuh ayahnya semata juga karena ketakutan. Dia membenci Yuura dan menuduh Yuura yang melakukan tindakan pembunuhan itu semata karena dia ingin melampiaskan penderitaannya selama ini kepada satu-satunya orang yang rasanya tepat untuk dia benci yaitu Yuura. Ruki iri karena ayahnya lebih mengandalkan mata Yuura daripada perasaannya yang tajam. Ruki merasa payah karena memiliki mata buta, dia membenci Yuura semata karena Yuura yang diberi penglihatan sedangkan dia tidak."

"Persetan dengan semua ucapan kalian!! Sudah cukup!! Aku akan mencekik Ruki jika keluar dari sini!!" Maki Mao sambil menendang apapun yang ada di hadapannya, meskipun akhirnya ia terjatuh karena sudah tidak kuat bernafas dalam pekatnya gas beracun yang semakin memenuhi seisi bangunan tertutup yang mengurungnya saat ini.

"Cekik saja aku saat ini bila kau mau... Mao.."

Tubuh mungil itu muncul bersamaan dengan suara langkah terseret tertatih yang tak lain adalah miliknya.

"Ruki!!!"

Reita serta merta menangkap tubuhnya saat Ruki oleng.

"Maaf aku melibatkan kalian. Seperti yang diucapkan Uruha... aku memang menginginkan kalian semua mati.. aku tidak ingin mati sendiri. Selama ini tubuhku sakit-sakitan dan dokter yang merawatku mengatakan bahwa umurku mungkin tak panjang. Aku tidak bisa mati saat kebencianku masih tertinggal... aku membenci Uruha dan Yuura... ingin membuat mereka saling membenci... aku iri saat mendengar dan merasakan kedekatan mereka serta kasih sayang yang mereka dapat dari ibu mereka. Tidak ada ibu yang menyayangiku.. aku tidak punya kakak yang bisa melindungiku.. seperti Yuura yang memiliki Uruha... a..ku.. membenci semua itu dan ingin.. semuanya berakhir. Aku yang mempengaruhi ayah agar membunuh semua orang yang melindungi Yuura, lalu menciptakan kebencian Uruha pada Yuura... aku pikir.. aku akan bahagia dengan itu... namun ternyata aku tidak bahagia.. terlebih saat aku mendapati kenyataan.. bahwa.. semenjak pelarian Yuura dan hilangnya ingatan akibat pencucian otak berkali-kali... Yuura justru mendapat kebahagian yang berbeda dari orang-orang yang kini melindunginya. Karena itu aku memerintahkan Reita sebagai informan dan satu-satunya orang yang bisa menjadi mataku.. untuk memberitahu Uruha dimana sebenarnya Yuura berada. Aku sudah memikirkan ini sejak beberapa waktu yang lalu... bagiku... akan sangat menyenangkan jika kita... kita yang sama-sama tidak bahagia disini... mati secara bersama-sama."

"Memilih mati dalam kesengsaraan daripada hidup dalam kebahagian? Kau menyedihkan sekali.." Kai berkata sambil memapah Yuura yang sudah lebih dulu lemas.

"Bagaimana kau bisa keluar dari ruangan itu?" Tanya Ruki tanpa memandang Kai karena memang nyatanya ia tidak bisa melihat sosok Kai, namun hanya bisa merasakan keberadaannya.

"Keinginanku untuk hidup dan bahagialah yang membuatku bisa keluar dari sana. Aku punya tujuan hidup di luar dari bangunan rongsok tak berguna ini. Awalnya aku juga merasa tidak punya siapa-siapa yang bisa menyayangiku.. namun jika aku berbuat kebaikan... aku yakin orang lain akan memberi kasih sayangnya padaku. Kenapa harus memilih membenci jika nyatanya kita bisa mengasihi..."

Ruki meneteskan air matanya. Tidak ada kebencian yang ia baca dari pikiran Kai, hanya ketulusan dan rasa kasih yang memenuhi kepalanya. Hal itu juga ia rasakan pada masing-masing pikiran orang lain. Aki lebih mencemaskan Bou daripada dirinya sendiri. Saga mencemaskan Hiroto, Mao bersedih karena berpikir akan meninggalkan kekasihnya, Tsurugi menangis karena mungkin akan segera berpisah dengan ibunya, dan Kei mencemaskan adiknya yang masih kecil-kecil.

Namun yang membuatnya lebih teriris adalah..

Saat membaca pikiran Reita.

Aku menyayangimu Ruki... apa kau terlalu banyak membenci hingga tidak menyadari perasaanku padamu..

Aku rela mati... tapi aku tidak mau melihatmu ikut mati disini...

"Reita... maafkan aku... aku hanya bisa memanfaatkanmu.. dan sedikit pun tidak menyadari perasaanmu selama ini.. aku egois..." Ruki mulai terisak dan berkali-kali batuk hingga mengeluarkan banyak darah.

"Beritahukan saja bagaimana kita bisa keluar dari sini?"

Ruki menggeleng.

"Terlambat. Aku sudah memerintahkan beberapa orang dari organisasi.. untuk membakar bangunan ini.. apa kalian tidak bisa merasakan bahwa saat ini api telah menyala?!"

Setiap orang menjadi berkali-kali lipat lebih panik, terutama karena asap semakin mengepul dan beberapa titik mata api mulai terlihat.

Untuk beberapa saat beberapa dari mereka sibuk menghindari api dan berusaha memadamkannya, namun akhirnya mereka juga mulai kepayahan karena kehabisan oksigen dan keracunan asap serta gas beracun.

Ruki bernyanyi lirih seperti mengantarkan kematian dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Namun nyanyiannya itu terhenti kala ia mendengar seseorang menerobos masuk kedalam bangunan yang mulai tersulut api sepenuhnya.

"Hei bodoh!! Jangan buru-buru mati dulu dong bego!! Mizuki mau beraksi jadi hero dulu nih."

"Mi.. Mizuki... baru kali ini aku senang melihatmu.." Ucap Mao yang nampak mulai merayap meminta pertolongan Mizuki.

Aki buru-buru menginjaknya. "Jangan pikirkan Mao.. selamatkan Bou saja dulu... cepat keluarkan adikku ini dan beri oksigen yang cukup."

"Hei hei.. sabar dulu.. memangnya aku sendirian.. pahlawan gak beraksi sendirian. Ada partnernya dong bro.."

Mizuki meniup peluit -entah darimana dapatnya tuh peluit- dan beberapa orang mulai menyerbu masuk dengan membawa pertolongan.

"Izumi.. cepat selamatkan Hiroto.."

"Jangan khawatir Saga.. aku akan membawanya keluar.. kau juga keluarlah bersamaku.." Saga mengangguk dan mengikuti langkah Izumi. Sementara Akiya sendiri menolong Kai dan Yuura, lalu beberapa orang lain menyelamatkan Bou, Aki serta yang lainnya.

Hanya Ruki dan Uruha yang masih bertahan di tempat mereka.

"Ruki.. apa yang kau lakukan?! Ayo kita keluar!!" Teriak Reita seraya menarik tangan Ruki agar Ruki mengikuti langkahnya.

Ruki menggeleng. "Biarkan aku mati Rei.. aku telah melakukan banyak kesalahan.. jika aku hidup pun.. aku tetap akan menjadi orang jahat karena aku pewaris Matsumoto.."

"Bukan sepenuhnya salahmu!! Kau masih bisa memperbaiki semuanya Ruki.. aku akan membawamu meninggalkan organisasi keparat yang membelenggumu itu."

Ruki tetap menggeleng dan itu membuat Reita sangat kesal. Dengan susah payah Reita mengumpulkan sisa tenaganya dan akhirnya menggendong Ruki dengan kedua tangannya. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu mati.. kau dengar!!"

Ruki hanya bisa diam. Antara terkejut, bingung dan bahagia atas ucapan Reita. Ternyata ia salah... ia berpikir bahwa di dunia ini tidak ada yang menyayanginya.. namun ternyata orang yang berada sangat dekat dengannya, mampu memberikan kasih sayang itu lebih besar daripada yang diharapkannya selama ini.

Tinggallah Uruha yang masih terdiam. Penyesalannya jauh lebih besar. Kebencian membutakan matanya dan ia merasa sangat pantas mati sekarang.

Biarlah api membakarku dan membuatku jadi abu yang tertiup angin hingga rasa kebencian itu tak lagi tersisa dalam jasadku..

"TIDAAAAAAAAAAAKKKK!!!"

Dorongan keras membuat tubuh Uruha terhuyung. Ia terjatuh beberapa langkah dari posisinya berdiri. Saat baru menyadari apa yang terjadi, ia terperangah saat menyaksikan Yuura menyelamatkannya dari runtuhan kayu yang terbakar api. Yuura berselimutkan api seraya melindungi tubuh Uruha. Dan yang lebih parah daripada itu adalah...

Kedua matanya berdarah karena beberapa serpihan runtuhan bangunan yang keras melukai permukaan kedua bola matanya.

"Yuuuuuuuuuraaaaaaaa!!!"

Kai berlari dan melepaskan Yuura dari perangkap api. Bukan hanya Kai, beberapa orang penyelamat yang sepertinya kaki tangan 'pemilik rumah', juga melakukan hal yang sama.

"Panas... mataku pedih dan panas Kai.."

"Jangan sentuh apa-apa.. matamu akan baik-baik saja.."

"Aniki... apa aniki baik-baik saja.."

"Iya Yuura.. Uruha baik-baik saja.. tenanglah.."

"Mana dia.. mengapa aku tidak bisa melihatnya.. aniki Uru.. kau dimana..??" Yuura meraba raba udara kosong dengan tangannya.

Uruha pucat menyadari itu. Bagaimana ia bisa membenci adiknya jika nyatanya adiknya itu sangat menyayangi bahkan rela mengorbankan diri untuknya...

"Nanti saja setelah berada di luar.. Uruha sudah dibawa keluar.. tenanglah Yuura.." Kai dan salah seorang kaki tangan 'pemilik rumah' membawa Yuura keluar, sementara kaki tangan 'pemilik rumah' yang lain membawa Uruha yang sekarang mulai berlinangan air mata menyaksikan keadaan Yuura yang mengenaskan.

Aku akan membunuh diriku sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi padamu saat ini.. Yuura..

Mengapa penyesalan selalu datang terakhir...

Mengapa kita baru menyadari rasa sayang itu jika orang yang kita sayangi tengah menderita..

Mengapa........

=v=


Jawabannya temukan di Part 17 -Final Chapter- dan side story masing-masing tokoh yang tak terungkap.

0 komentar:

Posting Komentar