Nanairo CRAYON Part 5


Title: Nanairo CRAYON
Part: 5
Fandom: J-Rock staring the GazettE, Kagrra, Kra, An Cafe, Alice Nine, Sadie n more..
Author: Keka


* * *



Hiroto tampak memainkan action figure di tangannya. Ia merasa sangat bosan, tidak ada Tora dan Saga di sisinya. Tadinya ia berpikir, jika tidak ada mereka berdua, mungkin Hiroto merasa lebih baik. Tapi kenyataannya malah tidak. Ia merasa dilupakan oleh kedua orang itu. mungkin mereka memang tidak peduli. Begitu pikir Hiroto.

Saat Hiroto mencoba memejamkan mata, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu kamarnya. Hiroto beranjak dari tempat tidurnya dan menyeret langkahnya, ia membuka pintu itu dan melihat Rika berdiri di depannya. “Ada yang mencarimu.” Ucapnya.

Hiroto menggaruk kepalanya yang tidak gatal, baru saja ia mau bertanya ‘siapa?’ dan berharap orang yang mencarinya itu Tora, namun Rika sudah terlebih dahulu memberitahunya. “Saga, dia yang mencarimu.”

Hiroto sedikit kecewa, meskipun kenyataan bahwa setidaknya Saga masih peduli dengannya cukup membuat Hiroto bahagia.

“Kamu mau menemuinya Pon?” Tanya Rika yang tampak tidak sabar menunggu jawaban Hiroto. Hiroto sebenarnya ingin bertemu Saga, tapi ia melakukan hal yang sebaliknya. Hiroto menggeleng.

“Apa Saga tau kalo aku disini?” Tanyanya kemudian.

Rika mengangkat bahunya. “Tadi Chiru sudah bilang kalo kamu gak disini, tapi sepertinya Saga gak percaya. Dia masih ada di bawah... umm.. mungkin kamu tiba-tiba berubah pikiran dan ingin menemuinya.”

Hiroto tetap menggelengkan kepalanya. Saat ini dia masih belum ingin bertemu dengan Saga.

Rika mengerti dan akhirnya meninggalkan anak itu. tidak ada gunanya memaksa Hiroto menemui Saga. Begitu pikirnya.

---00---

Semuanya mendadak berubah gelap. Rasanya seperti dijerumuskan masuk ke dalam lubang gelap tanpa dasar. Anak laki-laki berambut pirang itu tergeletak seperti tak berdaya. Kepala dan tubuhnya terkulai di atas sebuah sofa dan tangan serta kakinya terikat.

“Maaf adikku.. aku terpaksa berbuat begini padamu.” Ucap laki-laki berambut hitam panjang dengan pierching di bibirnya. Ia mengelus rambut pirang itu dan menganugerahi sebuah kecupan disana.

Anak laki-laki itu bergerak. Sepertinya ia mulai tersadar meskipun masih dalam keadaan tidak berdaya. Ia berusaha menggerakkan tangannya, tapi kedua tangan itu saling terikat di belakang dan sedikit menyakitinya. Perlahan ia mulai membuka matanya, sedikit berat. Ia sadar bahwa beberapa saat yang lalu ia telah menghirup zat yang telah membuatnya tak sadarkan diri.

“hng..” suaranya terdengar tercekat. Ia masih merasa pusing. Dan perutnya mendadak mual saat menyadari siapa orang yang telah membuatnya tidak sadarkan diri.

“Kau sudah sadar adikku?” Tanya laki-laki itu dengan suara lembut.

“A ki.. apa yang kau lakukan padaku? Kenapa kau mengikatku seperti ini?”

“Sssstt..” Laki-laki itu menempelkan jari telunjuk di bibirnya dan meminta anak laki-laki di depannya itu untuk diam. “Jangan banyak bertanya Bou. Aku akan melepas ikatanmu kalau kau berjanji untuk tenang.”

Bou, anak laki-laki itu tidak bersuara. Ia hanya berusaha tenang meskipun batinnya menolak itu. Saat ini ia merasa takut, ketakutan sama yang berulang seperti beberapa tahun silam. Laki-laki di hadapannya, Aki- ia adalah kakak Bou. Dari lubuk hatinya yang terdalam, Bou sungguh merindukan sosok kakaknya itu. Tapi kenangan buruk yang pernah ditorehkan Aki kepadanya, sangat membekas di benak Bou. Menyayat dan meninggalkan bekas yang sangat buruk.

Aki selesai melepaskan ikatan tangan dan kaki Bou, lalu membantu Bou bangun dan menegakkan tubuhnya di sofa. Ia menatap lama wajah Bou sampai akhirnya menyentuh wajah itu dengan ujung jemarinya. Bou sedikit menghindar, meskipun akhirnya membiarkan jemari Aki menyentuh wajahnya.

“Aku sangat merindukanmu.”

Bou hanya diam mendengar ucapan itu. apa untungnya mengetahui kakak laki-lakinya itu rindu atau tidak kepadanya.. Bou sudah menganggapnya telah hilang. Aki bukan kakaknya lagi.

“Kenapa diam saja Bou? Katakanlah sesuatu, aku ingin mendengar suaramu.”

Bou mencoba mengatur nafasnya sebelum akhirnya mengucapkan sebuah kalimat singkat. “Biarkan aku pergi.” Ucapnya tanpa terdengar memelas. Bou memang sengaja tidak mau terlihat merengek-rengek di hadapan laki-laki itu, ia tidak mau Aki terus menganggapnya seperti bocah kecil yang bisa ia manfaatkan untuk kesenangannya.

“Kenapa berkata seperti itu? Apa kau tidak senang bertemu dengan kakakmu ini? Kita sudah lama tidak bertemu, setidaknya berbincanglah sedikit denganku.”

“Aku tidak yakin apa kau serius hanya ingin berbincang denganku.” Ucap Bou sinis.

Aki tersenyum tipis, lalu mencoba menyentuh wajah Bou sekali lagi. Kali ini Bou menghindar dan menampik kasar tangan Aki itu saat ingin menyentuh wajahnya. Bou sadar bahwa tindakannya itu bisa membuat Aki marah.

Laki-laki itu memang terlihat kesal, meskipun masih bisa menahan amarahnya. “Kau berubah sekali Bou, tidak seperti anak penurut lagi. Aku yakin ayah pasti kerepeton dengan tingkahmu yang seperti ini.”

Apa pedulimu?!!

Bou ingin mengucapkan itu, tapi ia lebih memilih diam. Ia tidak mau memancing sisi kasar Aki keluar dan balik menyerangnya.

“Baiklah, kau boleh pergi.” Ucap Aki. Bou setengah tidak percaya mendengarnya.

“Tapi tidak malam ini.” Ucap Aki melanjutkan. Bou tampak kecewa mendengarnya. Ia sungguh tidak ingin bersama kakaknya, meskipun hanya semalam.

“Aku tau kau melarikan diri dari rumah.”

“Darimana kau tau?” Tanya Bou mencoba untuk tidak penasaran.

Aki mendekatkan dirinya lagi, lebih dekat di samping Bou hingga ia bisa berbisik di telinga anak laki-laki itu. “Aku selalu memperhatikanmu, tanpa kau sadari.”

----000-----

Mengapa udara malam tiba-tiba menjadi panas? Padahal ini sudah mendekati musim gugur. Chiru terbangun dari tidurnya dengan keringat dan kerongkongan yang kering. Ia merasa sangat haus. Perlahan-lahan ia keluar dari selimutnya dan merayap dari futonnya.

Chiru mencari-cari botol air minum yang biasa selalu ia letakkan di kamarnya, tapi rupanya air di botol itu sudah habis. Ia pun melirik Rika yang sekarang satu kamar dengannya. Sejak Riku pergi ke Gifu, Rika pindah ke kamar Chiru karena gak mau tidur sendirian. Cewek itu tidur dengan memeluk boneka beruangnya, begitu tenang sampai Chiru tidak tega membangunkannya. Padahal ia ingin minta Rika untuk menemaninya ke dapur mengambil air minum, tapi sepertinya tidur Rika terlalu pulas. Chiru pun mengurungkan niat lalu meninggalkan kamar dan pergi ke dapur sendirian.

Rumah kos yang biasa ramai itu, mendadak sepi saat malam seperti ini. Chiru merasa takut, padahal biasanya ia yang menakut-nakuti Mizuki dengan menceritakan kebohongan besar bahwa ia melihat hantu, dedemit dan sejenisnya berkeliaran di malam hari di rumah kos itu, tapi sekarang malah ia sendiri yang ketakutan membayangkan seandainya cerita bohongnya menjadi kenyataan.

Chiru mencoba berpikir positif sambil terus mengingat kejadian menyenangkan agar ketakutannya sirna. Lalu ia mendengar suara itu.

Suara Aoi sedang berbincang entah dengan siapa, Chiru tidak mengenali suara lawan bicaranya. Dilihatnya pintu kamar Aoi yang sedikit terbuka. Chiru tidak ingin mengintipnya, tapi rasa penasaran yang besar akhirnya membuatnya melakukan itu. Chiru tidak menempelkan lekat tubuhnya di pintu itu. Ia tidak mau Aoi menyadari jika ia sedang memata-matainya.

“Apa kamu sudah bertemu dengannya?” Suara Aoi terdengar bertanya pada lawan bicaranya.

“Sudah.” Suara lain menjawab pertanyaan Aoi itu dengan singkat. Suara itu adalah suara laki-laki.

“Bagaimana?”

“Bagaimana apanya?” Laki-laki itu malah membalik pertanyaan Aoi.

“maksudku apa kamu akhirnya berbicara padanya?”

Chiru tidak mendengar jawaban dari pertanyaan Aoi itu. lalu Aoi kembali bersuara. “Kenapa kamu tidak menghampirinya?” Tanyanya lagi.

“Itu bukan waktu yang tepat Aoi.”

“Lalu kapan waktu yang tepat menurutmu? Bukankah ini yang sudah kamu nanti-nantikan sejak lama?!”

Tidak ada lagi suara yang terdengar menjawab pertanyaan Aoi itu. Chiru hanya mendengar beberapa helaan nafas sampai akhirnya Aoi kembali bersuara. “Sudahlah, sebaiknya kita tidur saja. Ini sudah terlalu larut malam.”

“Apa tidak apa-apa aku disini?” Tanya laki-laki yang menjadi lawan bicara Aoi.

“Tidak apa-apa. Pemilik rumah ini sedang keluar kota dan sementara kamu belum punya tempat tinggal, sebaiknya kamu menginap saja di kamarku.”

“Lalu bagaimana dengan teman-temanmu yang lain?”

“Tidak usah pikirkan mereka. Mereka pasti senang menerimamu.”

Chiru semakin mendekatkan dirinya di pintu kamar Aoi yang masih sedikit terbuka. Ia ingin mengintip keadaan di dalamnya, sebatas karena penasaran dengan laki-laki yang menjadi lawan bicara Aoi tersebut. Chiru bisa melihat Aoi, tapi ia sama sekali tidak bisa melihat orang lain yang ada di kamar itu. Aoi duduk di atas ranjangnya dengan posisi memunggungi pintu.

Sebentar, sepertinya Chiru salah.

Aoi bukan duduk diatas ranjangnya. Ia memang di atas ranjang, tapi ia duduk berlutut dengan kaki terbuka dan di bawahnya ada laki-laki lain, laki-laki itu yang sepertinya tadi berbicara dengan Aoi.

Chiru menutup mulutnya berusaha untuk tidak berteriak atau mengeluarkan suara sedikit pun. Laki-laki asing yang bersama Aoi setengah terbaring di ranjang, tapi tubuhnya masih tegak bersandar. Aoi sedikit menindih perut laki-laki itu, sementara tangannya seperti sibuk membelai wajah dan tubuh laki-laki asing yang bersamanya. Entahlah, Chiru tidak bisa melihat jelas karena celah yang bisa dilihat dari pintu kamar Aoi yang terbuka hanyalah sedikit dan Chiru tidak mau ambil resiko dengan membuka celah itu lebih lebar.

Aoi sepertinya mencium laki-laki itu, ciuman bibir sepertinya. Chiru bisa mendengar sedikit desahan tertahan dari mereka berdua.

“Tu- tunggu Aoi.” Ucap laki-laki yang bersama Aoi itu.

“Nande?” Tanya Aoi yang terlihat menarik lepas ikat pinggang di celana jeansnya.

“Sepertinya tadi kamu lupa menutup pintu. Berbahaya kalau sampai ada yang melihat kita.”

“Tidak ada yang melihat, mereka- teman-temanku itu sudah tertidur nyenyak sekarang. Mereka bahkan tidak akan bangun meskipun ada gempa.” Aoi terdengar tertawa pelan, lalu kembali mendekatkan wajah dan tubuhnya pada laki-laki itu. Chiru melihatnya melepaskan kemeja yang dipakai teman mainnya, lalu Aoi sendiri pun melepaskan pakaian bagian atasnya.

Jantung Chiru berdegub lebih kencang. Ia sudah tidak sanggup melihat lebih jauh dan akhirnya memilih pergi. Entah kenapa dia merasa kecewa tanpa alasannya yang jelas. Rasanya ia ingin masuk kamar dan menangis sekuat-kuatnya, tapi ia haus dan tujuannya utamanya tadi adalah pergi ke dapur. Ia pun akhirnya memutuskan kesana. Tidak ada lagi perasaan takut, perasaannya kini lebih tepat dikatakan sebagai perasaan kecewa. (^^;)

Sementara itu, Aoi sepertinya sudah tidak sabar dan akhirnya memaksa tubuh temannya untuk berbaring seutuhnya di atas ranjang. Temannya itu menurut dan membiarkan Aoi bermain dengan bibirnya sementara tangannya membelai lembut dada laki-laki itu.

“Aa.. Aoi.. sebaiknya periksa dulu pintu kamarmu. Aku tidak mau ada temanmu yang melihat kita seperti ini.”

Aoi terlihat kesal, meskipun akhirnya menuruti ucapan temannya. Ia memeriksa pintu kamarnya dan ternyata pintu kamarnya itu memang tidak tertutup dengan benar. Aoi berniat menutup dan menguncinya. Tapi sebelumnya, ia memeriksa dulu keadaan sekitar. Aoi menengok kesana-kemari dan tidak ada orang. Laki-laki itu terlihat lega, ia pun menutup pintu itu lalu tersenyum menggoda menghampiri temannya yang masih setia menunggunya di ranjang.

----000----

Mata itu semakin terlihat ketakutan. Ia tahu kalau akhirnya akan seperti ini. Sebaik apapun ia bersikap, ia tahu bahwa sikapnya itu tidak akan cukup membantu. Orang di hadapannya itu memang sudah gila sejak bertahun-tahun yang lalu.

“Kakak.. aku mohon..”

“Ssst.. jangan ucapkan apa-apa. Aku tidak akan menyakitimu.”

Bou menutup mata dan memalingkan wajahnya saat Aki bermain di sekitar daerah leher anak laki-laki itu. Bou menggigit bibir bawahnya saat merasakan lidah lunak Aki dilehernya. Aki tahu sekarang Bou lebih pasrah setelah tadi mencoba berontak dan akhirnya menerima beberapa kali tamparan keras di wajahnya.

Aki menelusuri tubuh adiknya, mencoba melepaskan pakaian yang dikenakan oleh adiknya itu. pakaian yang dikenakan Bou memang menyusahkan dan perlu ketelitian khusus untuk melepaskan satu persatu bagiannya. Aki tampak tidak sabar dan akhirnya merobek pakaian itu. Bou mendesis saat cakaran Aki mengenai kulitnya.

“Itte..”

Aki tahu Bou merasa kesakitan. Dan ia membelai wajah Bou dengan lembut untuk mengurangi rasa sakit yang diderita adiknya tersebut.

“Aku akan bermain lembut kalau kau tenang.” Bisik Aki di telinga Bou.

Bou menggeleng. Ia tidak mau Aki melakukan hal itu lagi terhadapnya. Sudah cukup masa kanak-kanaknya ia habiskan dengan menjadi korban shota dari kelainan kakaknya. Bou tidak mau lagi menerima perlakuan yang sama.

“Sudah kakak.. jangan.. a- aku tidak siap dengan ini semua.” Ucap Bou lemah saat Aki melanjutkan sentuhan tangannya di bagian yang lebih sensitif dari tubuh Bou.

“Aku tidak memerlukan kesiapanmu, aku cuma ingin kau lebih tenang saat aku melakukannya.”

“Tapi aku tidak mau.”

Aki mengacuhkan ucapan Bou itu, ia sama sekali tidak peduli. Laki-laki itu hanya terus berusaha bermain di bagian tubuh Bou yang lebih bawah dari perutnya. Aki menurunkan resliting celana Bou dengan gigi dan lidahnya. Setelah berhasil, kemudian ia kembali mendongakkan wajahnya itu dan menciumi wajah Bou yang masih berpaling.

“Aku lebih suka melihatmu mengenakan rok daripada memakai celana seperti ini.” Ucapnya di telinga Bou.

Bou tidak sanggup membalas ucapannya itu. ia teringat Kanon. Saat ini ia betul-betul tidak berdaya tanpa Kanon di sisinya. Bou sadar bahwa ia sangat membutuhkan sosok itu di sisinya. Tidak seharusnya ia pergi seorang diri. meskipun tak ingin mengakui, tapi Bou menyadari bahwa ia sesungguhnya sangat lemah.

Tut tut tut...

Ponsel Aki tiba-tiba berbunyi saat ia tengah sibuk dengan mainannya. Laki-laki itu seperti kesal, tapi tetap menyambar benda itu dan tampak serius saat menjawab panggilan di ponselnya. Laki-laki itu memutuskan meninggalkan Bou di kamar dan pergi ke ruangan lain. Bou bisa mendengar suara Aki yang marah-marah. Ia tidak mengerti apa yang tengah dihadapi kakaknya itu, ia pun sama sekali tidak peduli.

Bou berusaha membetulkan pakaiannya yang terkoyak-koyak. Ada beberapa luka cakaran di tubuhnya.

Dasar bejat!!
Kakak macam apa dia..

Bou mengutuk Aki di dalam hatinya. Mereka memang bukan seratus persen saudara kandung. Satu ayah lain ibu. Begitu yang Bou tahu.

Aki kembali masuk kamar dan menatap Bou yang sedang merapikan pakaiannya. Wajah Aki terlihat masih kesal, meskipun akhirnya ia mengulas senyum dan mendekati Bou.

“Aku belum selesai denganmu adikku.” Ucap Aki yang kemudian menjambak rambut Bou dan mencium bibirnya dengan paksa. Bou terlihat sesak nafas dan tidak bisa menghindar dari serangan itu.

Aki melepas ciumannya dan mencampakkan tubuh Bou di atas tempat tidur tanpa berbuat hal yang lebih lanjut. “Kita cukupkan sampai sini saja. Aku ada urusan mendadak dan terpaksa harus meninggalkanmu disini. Jangan macam-macam Bou! Setelah urusanku selesai.. aku akan kembali padamu.”  Seru Aki yang kemudian pergi dan meninggalkan Bou sendirian di kamar.

Bou merasa lega dengan kepergian Aki itu. ia selamat untuk beberapa saat, setidaknya  sampai Aki kembali. Bou mencari-cari sesuatu di tas ranselnya, namun benda yang dicarinya itu sama sekali tidak ada. Bou ingat telah menjatuhkannya, ia telah menjatuhkan ponselnya. Anak laki-laki itu menghembuskan nafas dengan berat. Ia merasa bingung dengan apa yang ingin ia perbuat, terlebih saat mengetahui bahwa Aki telah menguncinya di dalam kamar.

Rasanya Bou ingin mengamuk dan menghancurkan pintu yang ada di hadapannya, tapi ia sama sekali tidak sanggup. Bahkan untuk menggerakkan tubuhnya sendiri pun masih sangat susah. Tubuhnya mendadak lemas dan akhirnya ia terbaring tergeletak di kamar itu.


----000----

Akiya terbangun pada pagi hari dan menyadari kalo semalaman Nao tertidur sambil memeluknya. Sejak Hiroto menempati kamarnya, Nao jadi menumpang tidur di kamar Akiya dan seenaknya saja memeluk laki-laki itu seperti memeluk sebuah guling. Akiya mencoba menyingkirkan tangan Nao dari tubuhnya dan menendang temannya itu.

“Nao bangun!!” Seru Akiya yang masih saja berusaha melepaskan dirinya dari Nao. Tapi sepertinya Nao masih nyenyak dan enggan membuka matanya.

“masih ngantuk Akiya.. kamu aja yang bangun duluan.” Ucap Nao dengan suara yang terdengar ogah-ogahan.

“Iya tapi lepaskan tanganmu dariku.” Pinta Akiya.

Nao menurut dan akhirnya melepaskan Akiya lalu kembali tidur tanpa peduli hal apapun lagi. Akiya menatapnya kesal lalu keluar kamarnya untuk menghirup udara pagi yang segar. Masih terlalu pagi, bahkan belum ada seorang pun di rumah itu yang sudah terbangun kecuali dirinya. Setidaknya itulah yang dipikirkan Akiya beberapa saat yang lalu sebelum ia melihat Aoi yang sudah berdiri di beranda rumah. Aoi tidak sendirian, ia bersama orang lain yang Akiya tidak kenal. Bahkan Akiya tidak tahu sejak kapan teman Aoi itu ada di rumah ini.

Akiya berusaha tidak peduli meskipun ia sedikit penasaran. Laki-laki manis berwajah tampan itu lalu pergi ke dapur mencoba membuat sarapan paginya seorang diri tanpa berusaha menampakkan dirinya di hadapan Aoi.

Aoi memang tidak melihat Akiya, tapi temannya menyadari hal itu. “Aoi.” Ucapnya dengan suara lembut.

Aoi mendongakkan wajahnya untuk melihat wajah temannya itu. “Ada apa?” Tanya Aoi disertai senyum yang ia ulaskan semanis mungkin.

“Aku melihat temanmu. Laki-laki bertubuh cukup tinggi dengan rambut hitam legam. Dia menatap kita tadi.”

“Benarkah?!” Aoi berpaling ke belakang, mencoba mencari sosok yang dimaksudkan temannya.

“Dia sudah pergi. Sepertinya ke arah dapur.”

Aoi mengangguk pelan lalu memalingkan wajahnya dan kembali menatap wajah temannya. “Tidak apa. Mungkin hanya Akiya.”

“Tapi tetap saja dia pasti merasa aneh melihatku di sini. Sebaiknya aku pergi saja, nanti siang aku akan kembali dan kamu bisa memperkenalkanku dengan teman-temanmu disini.”

Aoi kembali mengangguk. “Baiklah, aku akan mengantarmu.”

“Tidak usah. Ada yang ingin aku kerjakan pagi ini.”

Aoi baru saja ingin protes, tapi temannya itu sudah lebih dulu mencium bibirnya dengan pelan dan membuat Aoi tidak bisa berkata apa-apa lagi.

“Aku mencintaimu...”

Seketika itu Aoi menjadi kikuk, meskipun akhirnya ia kembali menyunggingkan senyumnya. “Lain kali jangan lakukan itu dengan tiba-tiba.”

“Aku melakukannya hanya pada saat yang tepat. Tidak sepertimu yang sering kali tidak memperhatikan waktu, situasi, dan kondisi.”

Aoi terlihat mencibir, meskipun ia sedikit membenarkan ucapan temannya itu. semuanya akan berubah sejak saat ini. Bukan hanya untuk Aoi, tapi juga untuk orang lain yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan Aoi.


----000----

“Aku harus pergi membeli ini semua?” Tanya Yuura tidak percaya saat melihat daftar belanjaan di tangannya. “Apa ini tidak terlalu banyak?” Tanyanya lagi.

“Jangan protes Yuura. Semua itu sangat kita butuhkan sekarang ini.”

“Tapi Kai...”

Kai tersenyum seperti tidak ingin mendengar alasan Yuura lagi. “Pergilah.”

Yuura menghembuskan nafas dengan berat, lalu akhirnya pergi memenuhi permintaan Kai. Sebenarnya ia sangat tidak ingin keluar rumah pada saat ini, tapi ia tidak mau melihat Kai ngambek karena keinginannya tidak terpenuhi.

Setelah hampir dua jam ia pergi berbelanja, kini tangan Yuura dipenuhi tentengan belanjaan. Ia merasa keberatan. Tidak seharusnya ia melakukan itu semua seorang diri. Yuura merasa lelah, ia sangat lelah akhir-akhir ini. Entah mengapa semua rasa lelah itu ia rasakan, padahal sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. Tidurnya semakin terganggu, ia selalu memimpikan hal yang sama. Seseorang seperti mengincarnya, dan Yuura tidak tahu itu siapa.

Bodoh sekali memikirkan hal itu.
Semua itu cuma sekedar mimpi Yuura.

Pikiran itu ia tanamkan di kepalanya, tapi kekhawatiran itu sama sekali tidak berkurang. Bahkan mimpinya semakin terlihat nyata. Ia merasakan seseorang kembali mengikutinya, bahkan Yuura merasakan sedikit kecemasan. Ia memperhatikan sekelilingnya. Terlalu ramai, kecemasannya tidak beralasan. Tidak ada yang mengincarnya di tempat yang seramai itu.

Yuura mempercepat langkahnya. Ia ingin secepatnya berada di rumah, entah mengapa sekarang ia berubah menjadi seorang yang paranoid. Sedikit pun ia tidak mau berpisah dari Kai.

Yuura berjalan tenang, tanpa terlihat buru-buru tapi juga tidak terlihat santai. Ia hanya berusaha tenang. Tapi tetap saja ia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa sekarang ia sedang cemas untuk satu hal yang ia sendiri tidak tahu apa. Ia tidak mengerti dimana letak kecemasannya dan untuk apa sebenarnya ia cemas. Anak itu sangat terkejut saat seseorang memegang pundaknya.

“Aakh!” Serunya nyaris terpekik.

“Maaf membuatmu terkejut.”

“Ti- tidak apa.” Yuura berusaha menutupi keterkejutan di wajahnya.

Seseorang yang tadi menyentuh pundak Yuura itu tersenyum, lalu menyibakkan rambutnya dan menyerahkan sesuatu kepadanya. “Ini. Kau menjatuhkan ini.”

Sebutir apel. Yuura mengambilnya dan menganggukkan kepalanya. “Terima kasih.” Ucapnya sambil memasukkan apel itu ke dalam kantung belanjaannya.

Orang itu terus memperhatikan Yuura, bahkan saat Yuura sedang serius menatap kantung belanjaannya.

“Yuu..”

Samar-samar panggilan itu terdengar. Sangat pelan sampai Yuura nyaris tidak mendengarnya.

“Apa? Maaf tapi tadi kau bilang apa?” Tanya Yuura yang merasa mendengar orang itu menyebut namanya.

“Ah tidak. Aku tidak berkata apa-apa.”

Yuura ragu. Tadi ia memang merasa orang itu menyebut namanya lirih. Tapi darimana ia tahu nama Yuura.

Dan wajahnya

Yuura merasa pernah melihatnya. Entah kapan dan dimana, tapi sepertinya wajah itu tidak asing di ingatan Yuura.

Kau siapa?

Yuura ingin bertanya seperti itu. Tapi rasanya itu tidak sopan. Mungkin lebih baik kalo Yuura bertanya apa sebelumnya kita pernah bertemu ataukah aku mengenalmu. Namun sebelum Yuura sempat menanyakan hal itu, orang itu sudah pergi dan begitu Yuura sadar dari lamunan kecilnya, ia sudah tidak melihat lagi sosok itu. laki-laki itu sudah menghilang di keramaian.

----000----

“Kau lama sekali.”

Laki-laki berambut panjang dengan pierching di bibirnya itu tampak kesal.

“Maaf. Aku pikir kau akan lama karena masih sibuk melepaskan kerinduan dengan adikmu.”

Laki-laki berambut panjang itu tersenyum sinis. “Karena kau aku jadi meninggalkannya di kamar.”

“Apa aku mengganggu kesenanganmu... Aki..”

Aki, laki-laki itu kembali mengulaskan senyum sinisnya. “Tentu saja. Sementara aku bekerja, kau malah sibuk bersenang-senang dengan kekasihmu.”

“Hanya sekali ini saja. Aku tidak mau Aoi mengetahui apa yang aku dan kau kerjakan.”

“Dia tidak tahu aku, benar begitu kan?! Yang dia tahu hanyalah kau kekasihnya yang baik, lembut, penuh perhatian dan tampak lemah. Kau berlindung di balik wajah itu. sungguh pintar.”

Laki-laki itu tersenyum mendengar ucapan Aki. Ya, dia memang sangat pintar. Wajah cantiknya itu memang menipu. Seperti setangkai mawar yang bisa melukaimu saat kau tidak berhati-hati saat memetiknya.

“Kau dan aku sama saja. Kita sama-sama terobsesi pada satu hal.”

“Kau salah. Aku menyayangi Bou. Bagaimana pun juga dia adalah adikku.”

Laki-laki itu kembali tersenyum lalu menyulut rokoknya dan kembali membalas ucapan Aki. “Kasihan sekali adikmu itu. Dia pasti menderita karena menerima kasih sayangmu. Aku tahu kau hanya memanfaatkannya. Untuk apa kau menculiknya?”

“Aku tidak menculiknya. Aku hanya ingin menolongnya, memberinya tempat berteduh saat dia sedang bingung.”

“Konyol. Kau pikir aku percaya itu?! Aku tahu kau ingin memanfaatkannya agar ayahmu yang kaya itu memberimu sejumlah uang. Yonekura tua pasti tidak akan sayang mengeluarkan banyak uang agar anak laki-laki penerusnya kembali dengan selamat, tapi tentu saja tidak akan utuh sepenuhnya. Kau pasti sudah terlebih dulu menjamah tubuhnya dan membuatnya mengalami penderitaan fisik dan psikis.”

“Sudahlah, kau memintaku kemari bukan untuk membicarakan aku dan adikku kan?! Lagipula kau lebih busuk dari aku. Aku tidak pernah berpikir untuk membunuh Bou, tidak sepertimu. Aku tahu kau berencana membunuh, kau kembali karena ingin membunuh adikmu.”

“Kau tahu lebih banyak ternyata.”

Aki tersenyum sambil memainkan sendok kecil di cangkir kopinya. “Aku tahu lebih banyak dari yang kau kira. Aku juga tahu siapa adikmu dan beberapa informasi yang menarik tentang dirinya.” Ucap Aki, ia tahu laki-laki di hadapannya itu kini tertarik dengan ucapannya.

“Informasi apa? Apa yang kau tahu tentang adikku?!”

“Tenanglah, aku memang ingin memberitahumu, tapi bukan itu kan tujuan kita?! Kita disini untuk membicarakan orang kaya itu. aku sudah bertemu dengannya semalam, sesuai dengan perintahmu.”

“Lupakan wanita kaya itu. aku ingin tahu apa yang kau ketahui tentang adikku.”

“Wah wah, kau ternyata sayang padanya.”

“Cepat katakan!!”

Aki melihat mata itu menjadi lebih serius. Laki-laki di hadapannya itu seperti menuntut satu hal darinya. Kalau saja itu bukan di tempat umum, mungkin laki-laki itu sudah mengacungkan pisau ke arahnya dan Aki tahu hal itu. laki-laki di hadapannya itu lebih gila daripada yang ia kira.

“Baiklah, tapi aku minta kau tenang. Ini kafe umum. Pelankan sedikit suaramu. Aku tidak mau ada orang yang merasa aneh mendengar pembicaraan kita.”

Laki-laki itu kembali tenang dan kini tampak sedang memainkan pemantik api di tangannya. Ini memang saat yang tepat untuk memberitahukannya.

“Adikmu yang tersayang itu mengalami gangguan ingatan.”

Laki-laki itu tersenyum tanpa menampakkan wajah terkejut sedikit pun. “Aku sudah tahu itu. Tentu saja dia amnesia karena anak itu sudah mengalami pencucian otak berkali-kali. Aku bahkan sudah bertemu dengannya, dan sesuai dugaanku..

Dia tidak ingat padaku.”

“Kau tidak sedih karena satu-satunya keluargamu kini malah tidak ingat apa-apa tentangmu?”

“Itu jauh lebih baik. Aku jadi lebih mudah mendekatinya tanpa dia tahu kalau aku bisa saja menghabisi nyawanya.”

“Lalu apa kau tahu kalau dia di kelilingi banyak orang-orang yang melindunginya?”

“Aku tidak peduli itu. Bagaimanapun juga aku harus mendapatkannya kembali. Aku senang saat si hidung pesek memberitahuku bahwa dia tahu sesuatu. Dari informasinya akhirnya aku menemukan adikku kembali. Bodoh sekali dia menutupi matanya dengan kacamata itu. Dia bahkan tidak sadar aku telah mengikutinya.”

“Hidung pesek?! Siapa yang kau maksud dengan si hidung pesek?”

“Siapa lagi kalau bukan orang yang selalu menutupi hidungnya dengan kain aneh itu. dia cukup berguna untukku. Selama tiga tahun saat aku tidak di sini, dialah yang mencari tahu keberadaan adikku yang tiba-tiba menghilang begitu saja.”

“Dia mungkin juga bisa membantu pekerjaan kita kali ini. Semalam aku sudah bertemu wanita itu dan dia memberi kita pekerjaan yang cukup sulit.”

“Hei Aki, kau belum selesai menceritakan sesuatu tentang adikku. Apa hanya segitu yang kau tahu?”

Aki tersenyum dan memberikan tatapan menggoda pada laki-laki di hadapannya. “Semua tidak ada yang gratis. Meskipun kau temanku, tapi aku menginginkan sesuatu darimu.”

“Aku tahu. Baiklah, apa pun akan kulakukan untukmu asalkan yang kau berikan sesuai dengan harapanku. Ayo berikan informasi apa saja yang kau tahu tentang adikku.”

“Maaf, tapi tidak sekarang. Ingat tujuan kita sebenarnya. Wanita kaya itu menginginkan hasil pekerjaan kita secepatnya.”

“Oh baiklah, sekarang beritahukan padaku apa yang diinginkan wanita itu dari kita.”

Aki mengeluarkan selembar foto dari saku jaketnya dan memperlihatkan foto itu kepada laki-laki di hadapannya.

“Dia mau kita mencari anak di foto itu.”

“Balita laki-laki yang lucu sekali. Tapi kita ini seorang pembunuh, bukan detektif pencari anak-anak.”

“Perhatikan dengan lebih baik. Itu foto bertahun-tahun yang lalu. Dan jika masih hidup, sekarang anak itu pasti sudah sebesar kita.”

“Ah benar juga, tapi tunggu dulu.. maksudmu kita harus mencarinya..”

“Bukan hanya mencari, tapi juga membunuhnya.” Aki berkata dengan pelan, tapi suaranya cukup terdengar jelas di telinga lawan bicaranya.

“Tidak cukup hanya dengan selembar foto ini. Kita butuh keterangan lain.”

“Kau benar, tapi sayangnya hanya foto itu petunjuk yang kita punya.”

“Siapa anak ini? Kenapa kita harus membunuhnya? Aku tidak mau membunuh jika alasannya tidak kuat.”

Aki menarik nafas panjang sebelum menceritakan semuanya.

“Namanya Uke Yutaka. Mungkin usianya sekarang sekitar 22 tahun. Dia anak haram hasil hubungan perselingkuhan. Kehadirannya sungguh tidak diharapkan.”

“Lalu apa hubungannya dengan wanita kaya yang menyewa kita?”

“Singkatnya, anak di foto itu adalah anak tirinya. Suaminya, ayah anak itu meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Wanita yang menyewa kita itu adalah seorang janda kaya. Tapi kekayaannya akan berkurang sampai 70% apabila anak tirinya masih hidup.”

“Sungguh membingungkan. Aku tidak mengerti dengan semua penjelasanmu.”

“Kakek anak itu hanya menginginkan anak laki-laki untuk mewarisi semua harta dan kekayaannya. Tapi sayangnya, sekarang dia tidak punya seorang pun anak laki-laki. Anak laki-laki pertamanya telah meninggal dan anak laki-laki keduanya telah membangkang perintahnya. Yang kutahu, anak laki-laki keduanya itu telah mengganti namanya dan memilih hidup terpisah dari keluarganya. Dia tidak tertarik harta warisan ayahnya karena dia sendiri sekarang sudah sangat kaya.”

“Menarik, tapi aku belum menemukan dimana letak hubungannya.”

“Kakek anak itu sekarang tahu bahwa dia punya cucu laki-laki. Dan dia sedang mencari cucu laki-lakinya yang tidak lain adalah anak yang ada di foto itu. kau sudah bisa menangkap semuanya?”

Laki-laki di hadapan Aki itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya singkat. Ia masih melihat foto balita mungil yang ada di tangannya. “Ya, aku bisa melihat dimana letak masalahnya. Wanita yang menyewa kita itu pasti tidak mau ayah mertuanya menemukan cucu laki-lakinya dan mewarisakan semua harta warisannya pada anak ini. Wanita itu pasti wanita rakus yang serakah. Siapa suruh dia tidak bisa memberikan keturunan.”

“Kau salah. Wanita itu punya seorang anak, tapi anak perempuan. Dia juga akan tetap mendapat warisan, tapi hanya sepertiga. Seperti yang kau bilang, wanita itu memang sangat rakus. Dia menginginkan semua harta kekayaan itu dan tidak mau membaginya, apalagi kepada anak hasil perselingkuhan suaminya dengan seorang pembantu.”

“Kasihan anak ini. Dia pasti tidak tahu apa-apa, dan sekarang dia pasti sudah tumbuh menjadi pemuda yang manis. Lihat saja wajahnya di foto ini. Lucu sekali.”

“Aku tidak tahu kalau kau juga punya kecenderungan menyukai anak laki-laki di bawah umur.”

“Tutup mulutmu Aki! Aku tidak sepertimu.”

“Ya ya baiklah, tapi kemungkinan anak itu masih hidup adalah fifty fifty. Ibunya meninggal bunuh diri saat dia berusia setahun. Kemudian dia diasuh seorang nenek tua sampai berusia 16 tahun. Dan setelah nenek itu mati, aku sudah tidak tahu lagi bagaimana nasibnya. Dia sempat mencari ayahnya, tapi pesuruh ibu tirinya mengusirnya dan menendangnya ke jalan.”

“Baiklah. Informasi yang kau berikan sudah lebih dari cukup. Aku akan minta Reita si pesek untuk melacak keberadaannya. Secepatnya aku akan menghubungimu jika memperoleh informasi darinya.” Laki-laki itu berdiri dari tempatnya duduk dan berniat meninggalkan Aki.

“Kau buru-buru sekali. Tidak ingin kehilangan waktu yang berharga dengan kekasihmu itu..”

“Diamlah! Sebaiknya kau urus saja adikmu. Dia mungkin sedang menangis di dalam kamar.”

“Lalu bagaimana dengan adikmu? Apa sekarang kau tahu dimana dan dengan siapa dia tinggal?”

Laki-laki itu terdiam. Dia memang tahu tempat-tempat mana saja yang sering dikunjungi adiknya, tapi sekarang ini dia tidak tahu dimana adiknya itu tinggal dan ia sangat ingin mengetahuinya. “Kau ingin memberitahuku?” Tanyanya serius.

“Tentu saja, tapi tidak sekarang. Aku butuh sedikit pelayanan kamar darimu.”

“Brengsek kau!! Baiklah, malam ini aku akan menginap di rumahmu.”

Aki tersenyum puas. “Baguslah itu yang kuharapkan, tapi bagaimana dengan kekasihmu? Dia pasti tidak senang kau meninggalkannya.”

“Aoi urusanku. Kau tidak perlu bertanya apa-apa lagi tentangnya.” Usai berkata seperti itu, laki-laki itu kemudian pergi dan meninggalkan Aki sendirian.

Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya Aki juga memutuskan meninggalkan kafe itu. Ia sebenarnya ingin menyelidiki hal lain, tapi ia ingat telah meninggalkan Bou sendirian di kamarnya sejak semalam. Pasti adiknya itu sangat kelaparan karena hari sudah semakin siang.

Laki-laki itu membawa mobilnya melaju, tapi ia mengurangi kecepatannya saat melewati rumah besar itu. ia berhenti tepat di seberang jalan dan menatap lama kearah rumah itu.

“Bangunan kokoh ini melindunginya. Tidak akan semudah itu kau mendapatkannya...”


------

t.b.c

Nanairo CRAYON Part 4


Title: Nanairo CRAYON
Part: 4
Fandom: Jrock staring the GazettE, Kagrra, Kra, An Cafe, Alice 9, Sadie n more…
Author: Keka

* * *

Bou membuka kamar jendelanya. Ia melongok ke bawah jendelanya. Cukup tinggi untuk dilompati. Jarak 2 lantai untuk sampai ke permukaan tanah, namun Bou tidak pernah ragu untuk melompatinya. Ia sudah sering melakukan hal ini, melarikan diri dari kamarnya dengan cara keluar melewati jendela. Ada pohon besar di sebelah kamarnya, Bou sudah sangat terlatih memanfaatkan pohon itu untuk membantu pelariaannya.

Dengan gesit Bou menjejakkan kakinya di dahan pohon yang paling dekat dengan jendela kamarnya, ia lalu bergerak turun dari pohon itu. Tapi karena pohon itu baru selesai diguyur hujan, batang dan dahannya menjadi sangat licin untuk Bou pijak. Bou tergelincir pada ketinggaan kurang dari 2 meter.

Untunglah seseorang yang sudah menunggunya di bawah, sigap untuk menangkap tubuhnya walaupun akhirnya mereka sama-sama terjatuh dengan tubuh Bou di atas tubuhnya.

“Kamu tidak apa-apa Bou?”

Bou tidak menjawab sampai ia berhasil mengatur nafas dan menghilangkan keterkejutannya. Dilihatnya laki-laki yang menolongnya dan sekarang berada di bawah menopang tubuhnya.

“Aku tidak apa-apa Kanon. Lepaskan tanganmu dariku, biarkan aku berdiri.”

Kanon melepaskan tangannya yang melingkari tubuh Bou, ia tidak sadar telah memeluk erat tubuh majikannya itu saat Bou terjatuh menimpahi dirinya.

“Kamu mau kemana Bou?” Tanya Kanon saat melihat Bou dengan ransel besar di punggungnya. “Apa kamu mau melarikan diri dari rumah?” Tanyanya lagi.

“Apa ayahku memintamu untuk memata-mataiku?”

Kanon menggeleng cepat. “Aku akan menemanimu kalau kamu ingin lari dari rumah ini.”

“Tidak perlu.” Bou tampak melangkahkan kakinya dengan cepat. Dia ingin segera meninggalkan halaman rumah yang mengurungnya selama ini. “Aku ingin pergi sendiri. Kamu tidak perlu mengikutiku.”

Kanon tetap mengikuti Bou dan berusaha menjajari langkahnya yang cepat. “Aku tahu kamu akan melarikan diri pagi ini, makanya aku sudah menunggumu di bawah pohon tadi.”

Bou menatap Kanon sekilas. “Terima kasih sudah menolongku. Tapi aku tidak ingin kamu mengikutiku. Ayahku pasti marah besar pada orang tuamu kalau dia tahu kamu ikut melarikan diri bersamaku. Dia pasti mengira kamu yang menyebabkanku melarikan diri dari rumah. Jadi sebaiknya kamu pulang saja dan anggap kamu tidak tahu apa-apa tentang kepergianku.”

Kanon nampak tidak peduli dengan ucapan Bou dan tetap mengikuti langkah Bou yang sudah jauh meninggalkan rumahnya. “Aku ingin selalu di sampingmu.”

Bou menghentikan langkahnya dan menatap Kanon tajam. “Dengar.” Bou tampak menarik nafas panjang dan menghembuskannya sebelum melanjutkan ucapannya. “Aku sudah bilang kamu tidak perlu mengikutiku. Apa kamu tidak mengerti dengan ucapanku?!”

“Kamu tidak suka aku di sampingmu? Apa aku menganggu?”

Bou ragu menjawab, tapi akhirnya dia berkata tegas. “Ya, kamu menganggu. Bahkan sangat sangat menggangguku. Aku tidak mengerti alasanmu masuk ke kamarku tadi malam dan..”

“Maaf Bou, a- aku tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.” Kanon memotong ucapan Bou dan menunduk minta maaf.

Bou melanjutkan langkahnya lagi, dan kali ini lebih cepat hingga Kanon yang masih menunduk tidak sadar kalau Bou sudah jauh meninggalkannya.

“Tu- tunggu Bou.” Kanon yang akhirnya sadar bahwa Bou telah pergi, akhirnya mengejar laki-laki itu dan kembali menjajari langkahnya. “Kamu mau memaafkanku... a- aku tidak sadar dengan apa yang kulakukan tadi malam.”

Bou mengacuhkannya. Bou sudah memaafkan Kanon, meskipun ia masih tidak bisa menerima apa yang dilakukan laki-laki yang dianggapnya sahabat itu semalam. Kanon bukan hanya masuk kamarnya diam-diam, tapi juga melakukan hal lain yang sangat membuat Bou marah.

Awalnya saat Bou terbangun, Kanon akhirnya mengutarakan maksudnya untuk mengajak Bou melarikan diri dari rumah bersama-sama dengannya. Bou menggeleng, dia memang ingin melarikan diri tapi tidak dengan melibatkan Kanon. Keluarga Kanon sangat bergantung pada keluarga Bou, Bou sangat tahu kalau ayahnya akan membuat keluarga Kanon kehilangan pekerjaan kalau sampai ia tahu Kanon melarikan anaknya. Yah setidaknya itulah yang akan dipikirkan ayahnya saat Bou dan Kanon tidak lagi ada di rumahnya.

Bou menolak tegas lalu meminta Kanon meninggalkan kamarnya, namun laki-laki itu malah menciumnya. Mencium bibirnya dengan paksa. Bou sangat terkejut, bahkan seperti kehilangan nafasnya. Kenapa Kanon melakukan hal itu padanya??

Bou yang masih shock diatas tempat tidurnya, makin terkejut saat Kanon merebahkan tubuh mungil itu di tempat tidur dan Kanon sudah memegangi kedua tangannya lalu berusaha menindih tubuhnya. Bou melihat tatapan Kanon yang berbeda, matanya saat itu mirip seperti mata orang itu. Tatapan mata yang tidak ingin diingatnya. Bou berteriak, namun Kanon meredam teriakannya itu dengan mencium paksa Bou sekali lagi dan membuat anak laki-laki itu menangis.

Kanon sadar perbuatannya sangat salah dan membuat Bou menderita. Dia melepaskan Bou dan meminta maaf, tapi Bou tidak berkata apa-apa selain memintanya keluar dan masih terisak. Kanon keluar sambil mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Dia merasa sangat bodoh telah menyakiti Bou.

“Maafkan aku Bou... kumohon.. biarkan aku menemanimu.” Ucapan Kanon terdengar miris. Sepertinya dia tulus dan itu membuat Bou merasa iba.

“Baiklah.. kamu boleh ikut.”

----- 000-----

“Ini rumahnya?” Bisik Nao tidak percaya di telinga Izumi saat melihat rumah megah di hadapannya.

Izumi mengangguk.

“Tapi penampilan anak itu tidak seperti anak orang kaya.” Nao berkata seolah masih tidak percaya.

Yuura memencet bel rumah dan tidak berapa lama pintu pagar rumah yang menjulang itu terbuka otomatis. Yuura masuk ke dalamnya tanpa ragu, dia juga mengajak Nao dan Izumi turut serta. Kedua laki-laki itu menurut, meskipun Nao masih tampak bingung dan terlihat sangat norak saat matanya membulat dan mulutnya menganga melihat kemegahan rumah itu.

Yuura disambut banyak orang di rumah itu, dan mereka semuanya pelayan wanita dengan wajah imut-imut yang sangat memikat hati Nao, meskipun tidak ada yang bisa benar-benar memikat hatinya seperti yang telah dilakukan Hizaki padanya.

“Yuura-sama kemana saja? Kami semua sangat mencemaskan anda.” Seorang gadis muda berpakaian maid itu berkata dengan wajah cemas, bahkan salah seorang temannya yang lain sampai terisak. “Anda tidak pulang sampai malam hiks... Kami pikir hiks..terjadi sesuatu yang buruk pada anda.” Ucap gadis itu disela-sela isak tangisnya.

Yuura menggaruk-garuk kepalanya. Dia tidak menyangka kalau kepergiannya sampai membuat kecemasan banyak orang. Apa Kai juga mencemaskannya seperti gadis-gadis ini..

“Kai..” Yuura mencari-cari sosok Kai. “Kai dimana?” Tanya Yuura pada seorang pelayannya.

“Dia tidak ada. Dari semalam dia mencarimu dan sampai sekarang belum kembali. Itu semua karena ulahmu. Dari mana saja kau Yuura?”

Yuura menahan nafasnya saat ‘pemilik rumah’ tiba-tiba muncul dan bertanya seperti itu padanya. “ng.. aku..” Yuura seperti kehilangan alasan dan tidak sanggup mengucapkan apa-apa. Ia lalu menundukkan wajahnya dan menggigit bibir bawahnya.

Laki-laki tampan itu mendekatinya. Wajahnya yang tegas bahkan sanggup membuat nyali Nao yang berdiri di dekat Yuura menjadi ciut. Nao mundur dan lebih memilih berdiri di samping Izumi yang berada di belakang Yuura. Laki-laki tampan itu mendongakkan wajah Yuura dengan tangannya dan menatap wajah itu dengan serius.

“Lain kali jangan pernah berbuat seperti ini lagi. Kau tinggal di rumahku dan kau harus mematuhi aturanku.”

Yuura mengangguk pelan meskipun tetap tidak mau melihat mata laki-laki yang begitu dekat di hadapannya sekarang ini.

“Berikan alasan tepat kenapa semalam kau tidak pulang?”

“I- itu karena.. aku..” Yuura masih tidak bisa memberi alasan. Rasanya aneh kalau ia mengatakan bahwa ia tertidur di kereta yang membawanya entah kemana, lalu kepalanya sakit dan ia ingin menolong seseorang tapi malah ia sendiri yang pingsan dan akhirnya ditolong oleh orang yang sebelumnya ingin ia tolong.

“Semalam dia pingsan.” Nao berkata tiba-tiba. Laki-laki tampan itu mengalihkan pandangannya pada Nao sesaat, lalu kembali menatap Yuura lagi.

“Siapa dia? Temanmu Yuura?!”

Yuura mengangguk. “Dia yang menolongku.”

“Pingsan!? Memangnya kau pingsan kenapa?”

Yuura menarik nafas dalam sebelum akhirnya menceritakan yang sejujurnya pada pemilik rumah. Laki-laki itu menatapnya lama dalam diam. Dia pasti tidak percaya. Begitu yang Yuura pikirkan.

Tapi pemilik rumah itu malah tersenyum. “Kau terlalu ceroboh. Bagaimana mungkin kau bisa tertidur di kereta dan sampai di tempat yang cukup jauh seperti itu. Lain kali jangan lupa bawa ponselmu agar kau bisa meminta seseorang di rumah ini untuk menjemputmu.” Laki-laki itu mengusap rambut Yuura kemudian mencium kening pemuda itu. “Aku harus panggil dokter untuk memeriksa keadaanmu.”

“Ti- tidak perlu. Aku sudah baikan.”

“Tapi semalam kau pingsan.”

“Teman Nao seorang dokter dan dia sudah memeriksaku. Aku hanya kelelahan.”

Nao hanya bisa bergumam dalam hati. Akiya baru seorang calon dokter, bukan dokter seperti ucapanmu Yuu-chan.

“Baiklah, sekarang kau istirahat saja di kamarmu.” Perintah pemilik rumah.

“Tapi Kai...”

“Dia tidak apa-apa. Sebentar lagi dia akan pulang.”

Yuura mengangguk dan berniat ke kamarnya, tapi sebelumnya dia ingin mengucapkan terima kasih pada Nao dan Izumi sekali lagi. “Terima kasih bantuan kalian.” Yuura menggenggam tangan mereka berdua secara bergantian.

“Pergilah ke kamarmu Yuura. Biar teman-temanmu mengobrol sedikit denganku.”

Ucapan ‘pemilik rumah’ itu membuat Nao diam tak bergeming. Memangnya apa yang ingin diobrolkan orang ini denganku dan Izumi? Tanya Nao dalam hati.

Yuura mengangguk lalu tersenyum kearah Nao dan Izumi sebelum akhirnya pergi ke kamarnya.

----000----

Chiru menatap sekilas laki-laki kecil di sampingnya. Dia sebenarnya enggan laki-laki itu ikut bersamanya, tapi sepertinya Keiyuu ada gunanya juga. Chiru sudah menunggu Aoi lebih dari 2 jam, tapi laki-laki itu belum juga muncul. Chiru merasa sangat bosan, tapi dengan adanya Keiyuu, setidaknya Chiru bisa menghilangkan sedikit rasa kebosanannya itu. Apalagi Keiyuu tampak manis.

Sesekali Chiru melihat beberapa gadis yang melewatinya tampak memandang kearahnya, lebih tepatnya ke arah Keiyuu dan berbisik-bisik sambil tertawa lirih. “ah kawaii, anak itu manis ya.. wajahnya lucu dan menggemaskan.” Bisik seorang gadis pada seorang temannya. Temannya itu ikut memandang sekilas kearah Keiyuu, kemudian ia tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya tanda setuju.

Chiru merasa ikut bangga bisa duduk di sebelah Keiyuu. Beruntungnya punya teman-teman yang cakep dan manis. Keiyuu baru satu, masih ada Akiya, Nao dan yah.. Mizuki juga cakepan, trus Aoi.. hwahahaha...

Chiru tertawa dalam hati dan membayangkan seandainya salah satu dari mereka bisa menjadi pacarnya, khususnya Aoi. Membayangkannya saja sudah membuat wajah Chiru bersemu merah. (Keka : khayalan yg gak mungkin ^^)

Saking larutnya dalam khayalan, Chiru sampai tidak sadar Keiyuu telah memangil-manggil namanya, bahkan menyenggolnya berkali-kali. “Chi.. Chi, lihat itu Chi. Sepertinya itu Aoi.”

Chiru malah terlihat senyum-senyum seorang diri dan sibuk memainkan jemarinya sampai Keiyuu harus berteriak di telinganya.

“Kenapa sih teriak-teriak?!!” Chiru terdengar membentak Keiyuu dan mengusap telinganya yang masih berdenging.

“Itu Aoi.” Keiyuu tampak menunjuk ke depan. Banyak orang berlalu-lalang dan tidak ada satu orang pun yang Chiru kenali sebagai Aoi.

“Aoi nya mana?” Tanya Chiru yang masih kebingungan mencari sosok Aoi diantara banyak orang. Dia malah menangkap sosok lain. Laki-laki bertubuh tinggi yang sangat tampan memakai kacamata hitam dan berjalan sangat anggun. “Aaah.. hansamu na hito.” Gumam Chiru terdengar lirih.

“Ngomong apa sih Chi? Itu Aoi di sebelah orang yang pake kacamata hitam itu.”

Chiru mengalihkan pandangannya dari laki-laki berkacamata hitam itu. Keiyuu benar, Aoi ada tepat di sebelahnya. Bahkan saking berkilaunya aura laki-laki berkacamata hitam itu, Chiru sampai tidak bisa melihat Aoi yang berjalan di sebelahnya. Tapi kenapa Aoi bersama laki-laki berkacamata hitam itu? Bahkan mereka berbicara sangat akrab dan sesekali laki-laki berkacamata hitam itu berbisik di telinga Aoi.

“Itu siapa ya Kei?” Tanya Chiru pada Keiyuu.

Keiyuu menggeleng, dia juga tidak tahu siapa laki-laki di sebelah Aoi itu. Seingat Keiyuu, Aoi tidak pernah punya teman seperti itu.

“Kita hampiri saja mereka Kei.” Ajak Chiru. Tapi Keiyuu menghalanginya.

“Tunggu disini aja Chi. Sepertinya Aoi masih sibuk dengan temannya itu.”

Chiru dan Keiyuu melihat Aoi memeluk laki-laki itu dengan akrab, lalu membiarkan laki-laki itu pergi dan Aoi melambaikan tangan kearahnya serta memberi kode bahwa ia akan menghubunginya lagi nanti.

“Mereka seperti teman yang sudah lama tidak bertemu.” Ucap Keiyuu. Tapi Chiru malah berpikir hal yang sebaliknya. Mereka seperti sepasang kekasih.

Chiru menggelengkan kepalanya dan meyakinkan diri bahwa Aoi tidak seperti itu. Keiyuu lalu memanggil Aoi saat laki-laki itu mulai dekat dengan mereka. Aoi tersenyum ceria dan menghampiri mereka.

“Maaf menunggu lama.”

Chiru menatapnya dengan sedikit kesal. “Pesawatnya sudah sejam lalu mendarat, tapi kenapa kamu baru nongol sekarang Aoi?” Tanya Chiru curiga.

“Ada yang harus kutemui terlebih dulu sebelum menghampiri kalian.”

“Jadi kamu sudah melihat kami sejak tadi?”

Aoi mengangguk dan nyengir dihadapan Chiru dan Keiyuu. “Gomen..”

Chiru merengut meskipun akhirnya tersenyum. Mana bisa tidak tersenyum kalau melihat Aoi nyengir dan tampak manis seperti itu.

Keiyuu membantu Aoi membawa beberapa bawaannya dan tampak terpesona melihat kulit Aoi. “Waah.. kulitmu berubah coklat Aoi.. Hawai panas sekali ya..”

Aoi mengangguk dan mengacak rambut Keiyuu lalu kembali nyengir. Sepertinya Aoi sangat gembira hari ini. Bahkan kegembiraannya melebihi saat keberangkatannya ke Hawai. Chiru jadi penasaran mengetahui bagaimana hasil turnamennya.

“Bukannya kamu baru akan pulang minggu depan?” Tanya Chiru.

“Aku kalah.” Ucap Aoi tanpa beban. “Gak ada alasan aku berlama-lama disana, lagipula ada yang harus aku kerjakan disini.”

“Sesuatu yang sangat penting?!” Keiyuu ikut-ikutan bertanya. Dan Aoi menjawabnya dengan sekali anggukan. “Lalu orang yang bersamamu tadi siapa?” Tanya Keiyuu lagi. Pertanyaan itu juga yang ingin ditanyakan Chiru pada Aoi.

“Ah, kalian melihatnya?! Dia teman lamaku. Seharusnya aku bawa dia berkenalan dengan kalian, tapi dia buru-buru. Lain kali pasti akan kukenalkan dia pada kalian.”

Syukurlah hanya teman. Ujar Chiru dalam hati merasa lega dengan ucapan Aoi tersebut. (Keka : oi Chiru.. nape pake lega?? Mangnya Aoi tu sapa mu?? XDD )

----000----

Mata Yuura sedikit berair saat ia menguap menahan kantuknya. Entah mengapa ia merasa sangat lelah dan ingin kembali tidur secepatnya. Yuura membuka pintu kamar dan seperti terpaku saat melihat kamarnya sendiri. Kamar itu sangat rapi dan bersih. Buku-buku yang biasa berserakan disana-sini, kini tertata rapi di raknya.

Yuura menatap sekeliling kamarnya dan tercekat saat melihat tubuh itu terbaring di lantai, tertidur dan memeluk erat sweater yang sering ia gunakan.

“Kai..”

Yuura mendekati Kai dan duduk berlutut di samping tubuhnya. Ternyata ‘Pemilik Rumah’ berbohong padanya. Kai tidak pergi mencarinya, tapi dia ada di kamar Yuura, menunggu kepulangannya.

“Kenapa tidur disini?” Tanyanya pelan sembari mengusap rambut Kai dengan lembut. Dia tidak tega membangunkannya.

“Maaf membuatmu mencemaskanku..” Yuura berkata lirih dan merebahkan tubuhnya di samping laki-laki itu. Ia memandang lama wajah Kai, wajah orang yang paling ia sayangi di dunia ini.

Yuura mengambil tangan Kai yang masih memeluk erat sweaternya. Ia menggenggam hangat tangan itu dan membiarkan dirinya tertidur di sebelah Kai yang disayanginya.

----000----

Sedikit tidak percaya Nao menatap selembar kertas di tangannya. “Apa selembar benda ini bisa diuangkan?” Tanyanya berkali-kali pada Izumi. Nao terlihat bodoh saat menatap selembar cek yang ada di tangannya. Dia bukannya tidak percaya kalau cek itu bisa ditukarkannya dengan sejumlah uang yang nominalnya tertera di atas cek itu, tapi dia hanya terkejut dengan jumlah nominalnya.

Seratus ribu yen. Nao menghitung jumlah nol di cek itu berkali-kali. Jumlahnya ada lima. Ya benar-benar lima. Nao merasa ini adalah hari keberuntungannya. Seumur-umur dia belum pernah memegang uang lebih dari sepuluh ribu yen. Dan dengan cek itu, dia bahkan bisa mengantongi sepuluh kali lipat dari jumlah uang terbanyak yang pernah ia miliki.

Nao melirik sekilas kearah Izumi. Dia nyaris lupa jika Izumi bersamanya dan itu artinya dia harus membagi dua jumlah yang harus di dapatnya.

Nao tampak berpikir. Izumi pasti tidak akan protes jika Nao hanya memberinya sepersepuluh dari jumlah itu. Toh izumi hanya seorang pelajar. Dia tidak butuh banyak uang. Tidak seperti Nao yang menganggur dan perlu makan serta membayar uang kos yang tertunggak selama lima bulan ini.

“umm.. Izu.. aku perlu mengucapkan sesuatu padamu..”

Izumi tampak tersenyum dan menepuk pundak Nao dua kali. “Tidak usah. Aku tahu Nao mau bilang apa. Cek itu ambil saja untuk Nao semua. Tidak usah pikirkan aku.” Ucap Izumi terdengar bijak.

Nao lagi-lagi tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Dia sampai memeluk Izumi saking senangnya. “Kamu memang temanku.” Ujarnya bahagia.

Izumi sampai terkejut karena Nao memeluknya dengan erat. “Su- sudah Nao. Kamu membuat orang-orang disini memperhatikan kita.”

Nao melepaskan pelukannya dari Izumi, meskipun tampaknya dia tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. “Aku gak percaya orang kaya itu ngasi cek sebesar ini cuma karena aku nolong adiknya.”

“Uang segitu sama sekali gak ada artinya buat mereka.”

Nao mengangguk membenarkan ucapan Izumi. Seratus ribu yen mungkin hanya cukup untuk menggaji satu pelayan mereka dalam sebulan. Dan mereka sedikitnya punya sepuluh pelayan. Nao tidak bisa membayangkan seberapa kayanya si tuan tampan itu. Dia berusaha membayangkan seandainya dia juga kaya dan dikelilingi pelayan-pelayan cantik seperti itu. Tapi itu tidak mungkin. Membayangkannya saja sudah sama mustahilnya seperti membayangkan Hizaki yang menari bugil di hadapannya.

Hizaki...

Entah kenapa Nao kembali teringat dengan sosok itu. Satu-satunya jalan untuk bisa mengenal lebih dekat sosok Hizaki adalah dengan mengorek keterangan dari Rika.

Senyum Nao terukir begitu jelas di wajahnya, dan Izumi melihatnya aneh. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan Nao sampai tersenyum seperti itu. Sepertinya bukan karena cek yang tadi, Nao tersenyum untuk hal lain yang jauh lebih membahagiakannya. Izumi melihat Nao berjalan cepat di depannya, tapi langkah Nao seperti lilung dan tidak menentu. Baru saja Izumi hendak memperingatkan, tapi Nao sudah menabrak seseorang yang tampak sangat terburu-buru.

Entah Nao atau orang itu yang salah, tapi mereka berdua sama-sama meminta maaf. Orang yang ditabrak Nao itu tampak anggun dan cantik, tapi ia bukan seorang wanita melainkan seorang pria. Pria yang bisa disebut cantik dan tampan dalam waktu yang bersamaan.

Nao menatapnya beberapa saat dan mengerutkan keningnya. “Apa kita pernah bertemu?” Tanya Nao yang merasa tidak asing dengan sosok dan wajah itu meskipun ia sama sekali tidak ingat siapa.

Laki-laki itu tampak memandangnya beberapa saat, sampai akhirnya dia menggeleng. “Anda salah. Kita tidak pernah bertemu kecuali hari ini. Mungkin anda hanya teringat seseorang, dan akhirnya melihat saya seperti orang itu.”

Nao mengangguk meskipun masih ragu. Laki-laki itu kemudian pergi meninggalkannya dan meninggalkan satu pertanyaan di benak Nao, ia tetap yakin kalau ia pernah melihat laki-laki itu entah dimana.

====000====

Bou merasa lelah. Entah sudah berapa jauh ia berjalan dan akhirnya ia memutuskan duduk di sebuah bangku taman yang jauh dari keramaian.

“Kamu baik-baik saja Bou?”

Bou mengangguk. Ia sudah mulai bosan dengan pertanyaan Kanon itu. Sudah berpuluh kali Kanon mengucapkannya. Bou sudah terlalu lelah, bahkan untuk menganggukkan kepalanya saja ia sudah tidak sanggup. Sepanjang perjalanan, ia selalu saja berpikir... bukan ide baik membiarkan Kanon mengikutinya. Ia menatap Kanon sekilas. Bou sedang memikirkan satu hal, satu cara yang bisa membuatnya lepas dari pandangan Kanon sebentar saja.

“Kanon..” Laki-laki itu menatapnya. Bou menghembuskan nafas sebelum akhirnya melanjutkan. “Tolong aku.. aku sangat haus.”

Kanon mengangguk dan menatap sekelilingnya. Tidak ada seorang pun yang menjual minuman di taman itu, taman itu bahkan sangat sepi. Hari memang hampir senja, dan matahari sebentar lagi akan tenggelam. Bou tampak sangat kehausan dan bagaimana pun caranya, Kanon harus mendapatkan air minum untuk Bou.

“Tunggu disini Bou, aku akan segera kembali membawakan minuman untukmu.”

Bou mengangguk dan membiarkan laki-laki itu pergi. Itu memang tujuannya, dia ingin Kanon pergi meninggalkannya dan memberi celah kepadanya agar terlepas dari laki-laki itu.

“Maaf Kanon, tapi aku tidak bisa mengajakmu ikut bersamaku.” Ucap Bou lirih saat Kanon sudah tidak lagi terlihat olehnya. Ia lalu cepat-cepat berdiri dari bangku taman dan sesegera mungkin pergi dari taman itu sebelum Kanon kembali.

Sebenarnya Bou tidak tahu kemana tujuannya. Ia juga tidak membawa cukup banyak uang, namun ia terus saja melangkahkan kakinya terburu-buru. Ia mungkin bisa minta bantuan Izumi atau Hiroto.

Tidak Izumi. Bou segera mengkoreksi pikirannya. Ia tidak boleh menyusahkan senpainya itu. Izumi sudah terlalu sering membantunya dan Bou merasa tidak enak untuk menyusahkannya lagi. Pilihan Bou akhirnya jatuh pada Hiroto. Ia pun mencari-cari ponselnya dan berniat menghubungi teman sekelasnya itu. Saat berusaha mencarinya, Bou dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba merangkul pundaknya. Bou menengadah ke samping karena orang itu lebih tinggi darinya. Dan saat itu pula wajah Bou memucat. Sisa-sisa kebahagiaan diwajahnya mendadak hilang.

----ooo----

Tangan Kai merasa hangat seperti ada yang menggenggamnya. Laki-laki manis itu kemudian bergerak dari posisi tidurnya menghadap ke samping sambil terus memeluk sweater Yuura, sweater yang Kai rasakan sebagai pengganti Yuura, bau tubuh Yuura tertinggal di sweater itu dan Kai bisa merasakan tidur nyaman sambil terus memeluknya. (Keka: deuuh Kai segitunya >.< nih peyuk sweater Keka aja biar dirimu tetap merasakan diriku dalam tidurmu *plak* XDD )

Kai semakin merasa hangat. Ia merasakan hembusan nafas hangat yang menyentuh wajahnya. Laki-laki itu pun berusaha membuka mata dan bangun dari tidurnya. Butuh waktu lama sampai ia bisa melihat jelas seseorang yang juga berbaring di sampingnya dan tertidur dengan wajah yang menghadap kearahnya.

Kai nyaris tidak percaya. Ia pun ragu-ragu menyentuh wajah itu dan mengelusnya. Mungkin ia sedang bermimpi, tapi sentuhannya terasa nyata.

“Yuura... kamu sudah pulang..” Kai masih tidak percaya dengan penglihatannya. Ia masih terus saja menyentuh wajah pemuda itu.

Yuura bergerak terbangun merasakan sentuhan Kai di wajahnya. Ia pun membuka matanya dan tersenyum setelah benar-benar melihat Kai yang menyentuhnya. “Kai.. maaf..” Kata itu yang pertama ia ucapkan. Dan Kai langsung memeluk tubuhnya.

“Kamu pergi kemana? Kenapa tidak mengatakan apa-apa? Apa kamu marah padaku?”

Yuura menggeleng dan balas memeluk Kai. “Maafkan aku..”

Kai menghentikan ucapan Yuura itu dan memintanya dalam diam untuk terus memeluknya. Rasanya baru sehari, tapi Kai merasa.. Yuura sudah pergi meninggalkannya selama berbulan-bulan. Kai tidak mau lagi seperti itu, ia tidak mau kehilangan Yuura dan  ingin terus memeluknya seperti ini.

----ooo----

“Apa kabarmu adikku?”

Pertanyaan itu membuat jantung Bou nyaris berhenti. Dia tidak bisa menjawabnya, pertanyaan dan kemunculan sosok itu benar-benar membuatnya terkejut seperti tersengat arus listrik bertegangan tinggi.

Sudah tiga tahun Bou tidak melihatnya, namun kini sosok itu muncul di hadapannya pada saat yang tidak tepat.

“A ki...” Bou menyebut nama itu dengan suara lirih. Dia masih sangat terkejut.

Laki-laki itu bisa melihat keterkejutan di wajah Bou, wajah seorang adiknya. Dia memanfaatkan itu, Aki mengambil saputangan yg sudah ia bubuhi chloroform dan membekap hidung serta mulut Bou dengan saputangan itu. Seketika itu juga Bou tidak sadarkan diri dan jatuh dalam dekapannya.

Tidak ada orang di sekitar yang melihat kejadian itu, tempat itu memang sepi dan jauh dari keramaian. Aki tersenyum menyeringai dan mengecup rambut Bou dengan lembut. Sudah lama ia tidak menyentuh tubuh adiknya. Lalu ia pun menggendong tubuh mungil itu dan membawanya masuk ke dalam mobilnya tanpa seorang pun yang melihat tindakannya.

Saat pingsan, Bou menjatuhkan HP yang tadi sempat ia genggam saat ingin menghubungi Hiroto. HP itu kini tergeletak di pinggir jalan, tempat dimana terakhir kali Bou meninggalkan jejaknya.

Sementara itu di tempat yang tidak begitu jauh, Kanon masih mencari-cari Bou dengan bingung. Ia tidak mengira Bou akan pergi begitu saja tanpa dirinya. Kanon terlihat panik dan tampak berlari-lari menghampiri siapa saja orang yang terlihat melintas di sekitar daerah itu.

Kanon tampak menjelaskan ciri-ciri Bou pada seorang laki-laki separuh baya, tapi orang itu hanya menggeleng. Ia tidak melihat anak laki-laki dengan ciri-ciri seperti yang diungkapkan Kanon. Kanon pun mendadak lemas dan berjalan dengan langkah lunglai. Ia menendang kerikil di jalan dengan ujung sepatunya. Sedikit perasaan menyesal dan perasaan tidak berguna menderanya. Bou betul-betul tidak ingin ia ada di sisinya. Kenyataan itu begitu menyakitkan.

Kanon sangat bingung dan saat bingung itulah ia menendang benda yang lebih besar daripada sekedar kerikil. Kanon menundukkan wajahnya dan melihat HP berwarna pink itu. Itu HP milik Bou. Kanon memungutnya dan memeriksa keadaan HP itu. Hanya sedikit tergores dan Kanon yakin HP itu memang milik Bou. Tampaknya sebelum menjatuhkan HP itu, Bou ingin menghubungi seseorang. Dan Kanon melihat nama Hiroto di layarnya.

----000----

Tepukan meriah di rumah itu menandakan kepulangan Aoi. Wajah laki-laki itu begitu gembira saat mendapat sambutan selamat datang dari teman-temannya. Hiroto melihat Aoi seperti melihat orang yang dituakan oleh teman-temannya. Sesekali beberapa temannya tampak bermanja-manja di sampingnya. Tapi tidak dengan Mizuki. Hiroto melihat Mizu seperti tidak senang dengan kepulangan Aoi. Dia terlihat merengut saat Aoi bercanda garing di depan teman-temannya, dan teman-temannya malah tertawa gila mendengar candaan garing itu.

“Apanya yang lucu?!” Mizuki mendengus kesal di depan Hiroto. Dan Hiroto hanya bisa tersenyum.

Baru saja Hiroto mau menghibur Mizuki yang sedang kesal, namun HPnya tiba-tiba berbunyi. Hiroto melihat panggilan dari Bou, dan tersenyum kecil saat menjawab panggilan dari temannya itu.

“Hei Bou ada apa?”

Sesaat Hiroto mengkerutkan daerah di sekitar kedua alis matanya. Suara yang menjawab pertanyaannya bukanlah suara riang Bou melainkan suara laki-laki lain.

“Aku Kanon. Apa Bou ada menghubungimu dan mengatakan ia kemana?”

Hiroto tidak mengerti dengan ucapan orang itu, apalagi suaranya terdengar tidak jelas karena ruangan ditempat Hiroto berada sekarang ini sedang dipenuhi gelak tawa. Ia pun pergi ke ruangan lain yang lebih tenang agar bisa menjawab pertanyaan laki-laki itu.

“Bou tidak ada menghubungiku dan tidak ada mengatakan ia mau kemana. Umm.. memangnya dia tidak ada di rumahnya?”

Laki-laki itu tidak menjawab dan hanya mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya memutuskan percakapan secara sepihak. Hiroto merasa sedikit aneh. Laki-laki bernama Kanon itu terdengar panik saat menanyakan Bou kepadanya. Hiroto pun menjadi cemas dengan keadaan Bou, dan ia pun berinisiatif menghubungi Izumi. Biasanya Izumi selalu tahu apa saja yang menyangkut tentang Bou.

----000----

Izumi berdiam di kamarnya, sendirian dan tidak tahu apa yang ingin ia kerjakan. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba orang tuanya memutuskan berlibur dan mengajak kedua adiknya pergi, sementara ia sendiri ditinggal di rumah. Yah.. tidak sendiri, setidaknya laki-laki itu menemaninya di rumah. Tapi sebenarnya justru itu yang membuat Izumi gelisah. Izumi semakin tidak mengerti mengapa ibunya meminta laki-laki itu menemaninya.

Murakami Isshi. Laki-laki aneh yang sering memakai kimono wanita. Sekarang dia ada di rumah Izumi.

Sedikit terkejut saat Izumi pulang, ia melihat sesosok laki-laki asing di kamarnya. Izumi sempat tidak mengenali karena laki-laki itu berpakaian layak, pakaian yang memang dipakai layaknya seorang laki-laki. Murakami Isshi terlihat lebih muda dan cukup tampan.

Laki-laki itu tersenyum kearah Izumi dan mengatakan kalau ia diminta untuk menemaninya selama 3 hari. Selama satu jam saja sudah merupakan bencana, apalagi sampai 3 hari. Pikir Izu yang merasa kurang nyaman saat Isshi bersamanya. Entahlah kenapa ia merasa tidak nyaman. Mungkin karena Isshi selalu menatap matanya, padahal Izu tidak suka ditatap seperti itu.

Izumi melempar bukunya ke atas meja dan memutuskan untuk tidur meskipun hari belum terlalu malam. Ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada buku yang dibacanya.

Baru saja matanya ingin terpejam, laki-laki itu sudah masuk ke dalam kamarnya. Izumi memutuskan berpura-pura sudah tidur agar laki-laki itu tidak mengajaknya ngobrol. Ia sangat malas harus berbasa-basi dengannya.

“Izumi.. kamu sudah tidur?” Tanya Isshi padanya. Izumi diam tidak menjawab dan tetap memejamkan matanya.

Isshi duduk di pinggir tempat tidur Izumi, lalu membelai rambut laki-laki yang sedang terbaring itu. “Kamu melupakan sesuatu.” Bisik Isshi di telinga Izumi. Perbuatannya itu membuat Izumi bergidik, meskipun ia masih tetap bertahan untuk memejamkan mata.

Tahan Izumi.. tahan..

Meskipun demikian, Izumi semakin merasa geli saat Isshi mulai menyentuh bagian lain dari tubuhnya. Ia tidak bisa lagi menahan dan akhirnya cepat-cepat membuka matanya.

“Kenapa mengganguku?!!” Tanya Izumi setengah membentak laki-laki yang ada di hadapannya.

Isshi tersenyum dan memperlihatkan sebuah HP yang ada di tangannya. “Kamu meninggalkan benda ini di atas meja makan tadi. Dan barusan ada seseorang yang menghubungi, dia bilang akan menghubungimu lagi nanti.”

“Berikan padaku.” Izumi berusaha meraih HP miliknya, tapi Isshi menarik tangannya agar Izumi tidak bisa meraih HP itu.

“Tersenyum dulu padaku.” Pinta laki-laki itu dengan wajah menggoda.

Izumi merasa kesal dan akhirnya tersenyum dengan terpaksa. Rasanya itu adalah senyum terjelek yang pernah ia torehkan di wajahnya.

Isshi tertawa dan akhirnya menyerahkan HP itu ke tangannya. “Kamu lucu sekali.” Ujarnya semakin membuat Izumi merasa kesal dengannya.

Tidak lama kemudian, HP Izumi berbunyi. Panggilan dari Hiroto. Izumi menyapanya riang, meskipun akhirnya ia tampak serius. “Aku sama sekali tidak tahu. Dia sudah 3 hari tidak menghubungiku.” Kata Izumi, menjawab pertanyaan Hiroto menyangkut prihal kepergian Bou. Izumi memang betul-betul tidak tahu. Terakhir kali ia bertemu dengan Bou adalah pada saat mereka bersama-sama mengembalikan dompet Yuura. Dan sejak saat itu Bou tidak menampakkan dirinya lagi di hadapan Izumi.

Izumi meletakkan HPnya di atas meja setelah percakapan singkatnya dengan Hiroto selesai. Ia juga merasa cemas dengan keadaan Bou, meskipun saat ini ia lebih cemas dengan hal lain. Laki-laki itu masih di kamarnya dan terus menatapnya.

“Kenapa masih disini?” Tanya Izumi pada Isshi yang masih setia duduk di pinggir tempat tidurnya.

“Aku pikir... berdua lebih baik daripada seorang diri.” ucap laki-laki itu.

Aaaaaa...APA!!??

Izumi ingin menolak dan memaksa laki-laki itu keluar dari kamarnya. Tapi terlambat. Isshi sudah membaringkan tubuhnya di samping Izumi.

-----000-----

Sementara Izumi memutuskan tidur cepat dan akhirnya malah direpotkan oleh Isshi, Yuura dan Kai malah menghabiskan malam mereka dengan berjalan-jalan di tengah kota. Sudah sejak lama Yuura menginginkan hal seperti ini. Sejak Kai selalu sibuk dengan pekerjaannya di restoran, Yuura seperti tidak punya waktu untuk menghabiskan waktunya dengan Kai.

Mereka baru saja makan malam dengan semangkuk ramen yang dibeli di kedai pinggir jalan di bawah jembatan penyebrangan. Meskipun murah, tapi ramen itu cukup enak dan membuat mereka puas. Kini Kai dan Yuura sudah dalam perjalanan pulang. Mereka juga tidak mau berlama-lama di luar rumah karena khawatir membuat pemilik rumah marah.

“Apa pemilik rumah mau makan ini?” Tanya Yuura sambil menunjukkan bungkusan okonomiyaki yang tadi dibelinya untuk oleh-oleh pemilik rumah.

Kai tertawa manis dan menggelengkan kepalanya. “Aku juga tidak tau. Orang itu tidak pernah terlihat makan di hadapanku. Mungkin dia memang tidak makan dan hanya menghisap darah.” Ujar Kai bercanda.

Yuura juga ikutan tertawa. “Waktu itu dia marah karena aku masukan banyak wasabi di hidangan sarapan paginya.”

“Kamu nakal Yuura. Bisa-bisa dia mencekikmu.”

“Dia memang mau mencekikku, tapi aku sembunyi di lemari pakaiannya.”

“Dia tidak tau?!”

Yuura mengangguk dan kemudian tertawa lebih keras. “Aku menemukan sesuatu yang menarik.”

“Apa itu?” Tanya Kai penasaran.

Yuura lalu membisikinya sesuatu yang membuat tawa Kai semakin tidak terbendung. “Hontou ne??!” Tanyanya seperti tidak percaya saat Yuura membongkar aib sang pemilik rumah.

“Iya, aku betul-betul melihatnya. Pemilik rumah itu mengkoleksi banyak sekali celana dalam berwarna pink dengan beraneka macam motif. Ada yang bunga-bunga, polka polka, sampai yang berbentuk hati juga ada.” Seru Yuura yang kembali tertawa saat mengingat barang temuannya di lemari pakaian si pemilik rumah.

“Itu hal tergila yang kudengar tentangnya.” Kata Kai di sela-sela tawanya.

Yuura juga masih tertawa sampai akhirnya dia menyadari satu hal. Dia merasa ada yang memperhatikannya. Yuura menatap sekelilingnya. Dia hanya melihat beberapa muda-mudi sedang asik pacaran, dan tidak ada dari mereka yang tampak mencurigakan.

“Yuura, ada apa?” Tanya Kai yang bingung saat Yuura menolehkan wajahnya kesana kemari. Yuura menggeleng dan kembali tersenyum dengan wajah menggemaskan di depan Kai.

“Kai.. gendong.. aku capek jalan terus.” Pintanya dengan manja.

Kai manyun dan memukul Yuura pelan. “Tubuhmu lebih tinggi daripada aku, masa minta gendong!?” ujarnya protes.

“Tapi kakiku sakit Kai..”

“Sudah jalan aja, gak usah banyak ngeluh.”

Yuura yang berganti manyun di hadapan Kai. Dia berdiri diam seperti ngambek dan tidak mau jalan menjajari Kai. Kai tetap mengacuhkannya, Yuura memang sering seperti itu. Toh dia akan menyusul Kai apabila Kai sudah jauh meninggalkannya.

“Ayo Yuura cepat sedikit. Nanti kamu kutinggal.” Seru Kai yang sudah berada beberapa meter jauh di depan Yuura.

Yuura mau tidak mau menyusulnya dan mempercepat langkahnya. Lalu dia kembali terdiam. Dia semakin yakin bahwa ada yang memperhatikan dan mengikutinya. Yuura melepas kacamatanya. Dengan mata telanjangnya, dia selalu sukses melihat hal-hal ajaib yang tidak bisa dilihat mata orang biasa pada umumnya. Yuura juga selalu bisa menangkap sosok yang bersembunyi dengan matanya itu.

Kecelakaan mobil, pembunuhan, perpisahan sepasang kekasih dan tawa-tawa bahagia sekaligus beberapa duka yang Yuura berhasil tangkap dengan matanya. Ada banyak kejadian yang pernah terjadi di persimpangan jalan itu. yuura juga melihat akan ada seorang pemuda yang terjatuh dari sepedanya saat melintasi persimpangan itu, dan itu memang terjadi beberapa saat kemudian. Tapi Yuura tidak melihat seorang pun sedang menguntitnya, dia tidak melihat satu orang pun dengan gelagat mencurigakan.

Kai berjalan mendekatinya dan Yuura buru-buru memakai kacamatanya lagi. Dia tidak mau melihat apapun tentang Kai. Yuura sudah pernah melihat Kai akan celaka, lalu melihat masa lalu Kai yang buruk. Dan dia tidak mau lagi melihat Kai dari sisi pandang yang tidak biasa, dia hanya ingin memandang Kai dengan pandangan normal, meskipun kadang kala Yuura masih mencoba mengintip masa depan Kai dengan matanya. Sejauh dia memastikan bahwa Kai baik-baik saja, Yuura masih merasa lega. Hal yang terburuk yang akan dialami Kai dalam setahun ke depan hanyalah kecelakaan ringan di dapur saat dia sedang memasak.

“Kenapa malah diam? Kamu ini memang menyusahkan. Ayo sini aku gendong. Dasar manja.” Kai mengomel, meskipun akhirnya dia merelakan diri untuk menggendong Yuura yang lebih tinggi beberapa centi dari tubuhnya.

Yuura nyengir kesenangan dan naik ke punggung Kai, padahal dia cuma main-main, tapi Kai malah serius mengiranya memang ingin minta di gendong.

Kai terengah-engah. Meskipun tampak kurus, tapi Kai tidak mengira tubuh Yuura yang digendongnya ternyata berat juga. Kai berusaha menyeimbangkan badannya, tapi dia oleng saat ada seseorang yang terburu-buru tiba-tiba menyenggolnya. Yuura, Kai dan orang itu mundur bersamaan saat mereka saling bertabrakan, untunglah mereka tidak terjatuh.

Kacamata yuura terlepas dan jatuh. Dia berusaha mengambilnya, namun dia malah memungut benda lain yang dijatuhkan oleh orang yang menabraknya tadi.

Yuura terkejut saat memegang benda itu. ada perasaan ketakutan yang dirasakan pemilik benda itu, ketakutan itu juga dirasakan Yuura. Itu bukan ketakutan Yuura, melainkan ketakutan orang lain yang dia lihat dari sebuah benda mungil di tangannya. Yuura tahu siapa orang itu. dia membalik tubuhnya menghadap orang yang tadi menabrak Kai dan dirinya.

“Kanon..” Sapa Yuura mengenali laki-laki yang menabraknya itu.

Kanon tampak bingung dan tidak tahu harus bagaimana. “Yu- Yuura.. maaf. Aku buru-buru.” Kanon berniat pergi, tapi Yuura menghentikannya sejenak.

“Kamu menjatuhkan ini.” Yuura menyerahkan benda yang tadi dipungutnya. “Ini milik Bou kan?!”

Kanon tampak terkejut. “Bagaimana kau tahu?” Tanya Kanon saat mengambil HP milik Bou dari tangan Yuura.

“Terlihat dari warnanya.” Yuura berkata asal, sebenarnya bukan itu yang membuat Yuura tahu bahwa HP itu adalah milik Bou. “Kamu buru-buru Kanon, apa kamu sedang mencari Bou?”

Lagi-lagi Kanon bingung darimana Yuura tahu itu semua. “Iya kau benar. Maaf Yuura aku harus pergi.”

Yuura mengangguk. “Cepatlah Kanon, Bou... sangat membutuhkanmu.” Yuura ragu-ragu mengucapkannya. Kanon tampak mengangguk dan pergi dengan buru-buru.

“Dia temanmu Yuura?” Tanya Kai saat Kanon sudah tidak terlihat lagi dari pandangannya. Yuura mengangguk dan tampak cemas. Kai bisa melihat wajah kecemasannya itu. “Ada apa Yuura?”

Yuura menggeleng dan memakai kacamatanya lagi. “Ayo Kai kita pulang. Kamu harus senang karena aku memutuskan jalan kaki sendiri.”

“Memang sudah seharusnya begitu.” Ucap Kai riang saat merangkul pundak Yuura. Yuura tersenyum walaupun dia masih merasa cemas. Sebenarnya saat dia memegang HP Bou, dia melihat bayangan beberapa waktu lalu saat Bou dibius oleh seseorang dan dibawa entah kemana. Yuura bisa merasakan ketakutan Bou saat dia melihat laki-laki yang kemudian membiusnya itu. dari situ Yuura menyimpulkan bahwa Bou sedang dalam bahaya...

----000----

t.b.c.