Last Vampire -One Nightmare-


Title: Last Vampire -One Nightmare-
Author: -Keka-
Chapter: 1 Shot
Fandom: Jrock - 新興宗教楽団NoGoD
Genre: Thriller & Fantasy

* * *

Derap langkah terdengar samar, perlahan-lahan namun semakin cepat.. cepat... dan cepat. Seperti menghindari sesuatu, gelisah dan tertekan oleh sebuah ketakutan abstrak.

Langkah-langkah itu tak lagi terdengar samar. Jelas bagaikan menggema di telinganya. Ia menerawang sekelilingnya, keadaan yang asing, susunan bangunan kokoh, namun tak terawat.

Dimana ia berada saat ini?

Langkah-langkah itu bukan langkahnya. Ada orang lain di sana. Bukan satu melainkan dua.

Langkah pertama berusaha menghindari langkah-langkah lainnya.

Dimana?

Ia menajamkan pandangannya, telinganya dan indera lain dari tubuhnya. Mengitari bangunan itu, bangunan yang nampak seperti sebuah mansion tak terawat dengan keadaan yang sudah tak layak. Penerangan dari bulan purnama di malam hari menyorot masuk melalui jendela-jendela yang terbuka sebagian karena rusak. Plester tembok nampak terkelupas, retak dan ubin lantai hancur di beberapa bagian.

Berhati-hati sekali ia melangkahkan kakinya menaiki tangga. Keadaan mansion itu memaksanya tidak bisa terburu-buru. Ada banyak ruangan disana dan keadaan lorong-lorong yang gelap memaksa matanya bekerja ekstra keras.

Namun ia tak bisa lebih lambat lagi dari ini. Teriakan panjang memohon pertolongan, memaksanya mempercepat langkah.

Matanya mulai terbiasa dalam kegelapan, namun ia tetap tak mampu melangkahkan kaki dengan baik. Keadaan asing itu membuanya tak tahu harus kemana. Hanya insting alaminya yang bekerja, mencari sumber suara yang tak kunjung ditemukannya.

Seberapa luas dan besar mansion ini?
Mengapa ia serasa berputar-putar saja dan tak kunjung menemukan pemilik teriakan panjang dan langkah-langkah ketakutan itu?

Sekali lagi ia mempercepat langkahnya, lebih cepat lagi saat suara-suara teriakan itu terdengar semakin jelas di telinganya. Namun langkahnya terhenti saat sesuatu membuatnya tersandung jatuh. Sesuatu yang cukup besar. Ia meraba-raba sesuatu itu dalam kegelapan, dan merasakan bahwa sesuatu itu adalah sekujur tubuh yang mulai kaku, masih hangat, namun nafasnya tak lagi terdengar.

Ada cairan kental yang tersentuh tangannya. Ia tak mampu melihat lebih jelas, hanya dapat merasakan tajam bau anyir itu saat merasuk ke dalam indera penciumannya.

Darah.
Ia baru saja menyentuh darah.

Darah yang masih terasa segar. Darah itu milik tubuh yang saat ini terbujur kaku di hadapannya. Ia masih berusaha tenang, namun tentu saja tetap tak mampu menyembunyikan paras ketakutannya. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Ia harus pergi dari tempat ini, mungkin ada sesuatu yang berbahaya akan menghadangnya. Namun sifat ingin tahu dan jiwa kemanusiannya, memaksanya untuk tetap tinggal dan kembali bangkit menapak pada lorong-lorong mansion.

Nafasnya semakin memburu. Ia bisa merasakan itu... ketakutan itu.. ketakutan dari seorang wanita dalam keputusasaan yang mendalam.

Aku harus menemukannya.

Tekad itu ia tanamkan dalam hati. Ia meraba sekelilingnya dan menemukan sebuah lentera kecil. Dengan keragu-raguan ia mencari sesuatu di saku baju, celana dan jaketnya.

Ada. Ternyata aku masih membawa ini di saku jaketku.

Sebuah zippo.
Ia mencoba menyalakan api dari benda itu setelah berkali-kali menemui kegagalan, namun untunglah... Untunglah masih menyala. Lentera kecil itu kini menjadi satu-satunya penerangan untuknya. Dengan langkah tertatih-tatih ia berjalan, mendekati sebuah ruangan yang ia yakini adalah tempat dari segala sumber suara teriakan yang ia dengar. Ruangan itu sudah dekat.. makin dekat... dekat... dan sekarang ada di hadapannya. Ia mendorong pintunya yang tidak tertutup rapat, berharap tidak ada sesuatu yang gawat.

Namun rintihan pilu itu tak mungkin pertanda baik. Ia mendengar seseorang seperti memohon pengampunan dalam ketakutan dan keputusasaan. Jantungnya memompa darah lebih cepat saat pintu yang di dorongnya mulai terbuka perlahan dan membuatnya mampu melihat keadaan ruangan itu.

Seperti sebuah kamar. Dan di kamar itu, ia melihatnya...

Bayangan sosok berpakaian hitam dalam kegelapan dengan taring yang tajam, menancapkan taring-taringnya pada leher seorang wanita dan menghisap darahnya, lalu merobek perut wanita itu dengan kuku jarinya yang tajam dan menarik keluar isi perutnya sambil terus menegak darah wanita itu dengan penuh kenikmatan.

Jantungnya berhenti mendadak melihat pemandangan itu. Ia mundur dari posisinya dan nyaris merosot dari posisinya yang masih berdiri memegang lentera kecil di tangannya. Berusaha tetap sadar dan mencerna dengan akal sehat apa yang akan dilakukannya setelah ini.

Lari dan pergi dari tempat itu.

Namun belum sempat ia melakukannya, sosok mahkluk itu telah menolehkan wajahnya dan mengarahkan sorot matanya yang tajam menyala pada dirinya.

Seperti tertusuk sesuatu yang tajam, ia tertohok terkejut dan spontan menjatuhkan lentera di tangannya. Hanya dalam sekejap mata, api dari lentera itu membesar dan membakar apapun yang ada di hadapannya. Sosok berpakaian hitam itu masih terlihat diantara jilatan api. Meskipun tampak samar, namun ia yakin tidak ada ketakutan yang ditunjukkannya. Pria berpakaian hitam itu hanya menyeringai dingin tanpa menunjukkan wajahnya secara keseluruhan. Rambut panjangnya yang hitam berkilau dengan sempurna menutupi sebagian wajahnya.

Ia seperti mengenali sosok itu...

Tapi siapa...

Dengan keras ia berusaha mengingat, namun kobaran dari jilatan lidah api itu membuatnya merasakan panas yang menusuk dan menyengat membakar kulitnya. Ia gelisah dalam ketakutan dan bergerak secara berlebihan hingga ia merasakan sentuhan hangat itu di wajahnya.

"Kyrie...

Sadarlah...

Kau baik-baik saja kan?!"

Kedua matanya terbuka nyaris melotot.

Tidak ada api.
Tidak ada mahkluk berjubah hitam itu.

Ia berada di kamarnya sendiri.
Lebih tepatnya berbaring di ranjangnya.

Sosok itu memandangnya dengan kebingungan. Matanya membulat besar dengan tangan yang coba ia lambai-lambaikan di hadapan wajahnya.

"Kyrie..."

Karin menyapanya dan masih berusaha menariknya lagi dalam kenyataan.

"Warui no Yume desu ne?!"

Hanya anggukan kecil yang coba Kyrie lakukan untuk menjawab pertanyaan Karin.

"Tenang... itu hanya mimpi buruk.. tidurlah lagi. Ini masih pukul 3 pagi. Aku gelisah sekali mendengarmu berteriak dalam tidur. Memangnya kau bermimpi apa?"

Kyrie tidak serta merta langsung menjawab. Ia masih terlalu bingung, terlebih karena mimpinya terasa nyata sekali.

"Baiklah, ceritanya nanti saja kalau kau sudah tenang. Sekarang tidur saja lagi. Oyasuminasai Kyrie." Karin mencium kening sahabatnya itu dan kembali menuju tempat tidurnya sendiri.

Kyrie masih mematung di tempatnya. Ia tidak yakin apa masih bisa melanjutkan tidur setelah mengalami mimpi yang tadi.

Siapa dia... Aku yakin aku mengenalnya... Tapi siapa...?

* * *

Kyrie baru saja akan pergi saat K datang dan membawa surat kabar terbaru pagi ini.

"Buru-buru sekali. Kau mau kemana pagi-pagi begini?" Tanya K pada Kyrie.

Kyrie hanya menunjukkan modul-modul tebal yang menunjukkan bahwa ia akan pergi ke kampus pagi ini.

"Repot ya anak kuliahan.."

"Tidak juga. Setidaknya tidak serepot dirimu yang harus mengantar surat kabar setiap pagi."

"Kau menyindir pekerjaanku Kyrie-kun?! Ini kan hanya sampingan. Lagipula aku butuh banyak uang untuk hidup."

Kyrie tersenyum pada sahabatnya itu. "Aku hargai kerja kerasmu K. Kemarikan surat kabar itu, aku ingin membacanya sebelum berangkat ke kampus dan melakukan presentasi makalah penelitianku."

K menyerahkannya, namun belum sempat Kyrie membaca, Shinno telah datang dan memaksanya cepat-cepat menuju kampus.

"Tinggalkan surat kabar itu, Kyrie! Ada kejadian heboh yang mengguncang kampus kita."

Kyrie baru ingin bertanya 'apa?' namun Shinno sudah menarik tangannya dan tidak memberi kesempatan baginya untuk bertanya.

"Mereka buru-buru sekali, apa tidak ingin sarapan terlebih dulu.."

"Biarkan saja Karin-chan. Sini berikan sarapan itu padaku, aku lapar sekali." Tanpa mendengar persetujuan Karin, K sudah menarik nampan sarapan dari tangan Karin dan menghabiskannya dalam hitungan beberapa menit saja.

* * *

"Mengerikan. Gadis itu mati dalam keadaan mengenaskan seperti itu di semak-semak belakang kampus ini setelah dua hari perkiraan waktu kematiannya. Menurutmu apa yang menyebabkan kematiannya?"

Kyrie menggeleng. "Entahlah Shinno. Mungkin dia dibunuh."

"Itu sudah pasti!! Tapi bagaimana cara pembunuhnya membunuh gadis itu?? Itulah yang harus kita pikirkan!!"

"Untuk apa? Gadis itu tidak ada hubungannya dengan kita."

"Yah kau benar sih... tapi.. sebenarnya.. beberapa waktu yang lalu gadis itu datang kepadaku."

Kyrie sedikit penasaran. "Datang kepadamu? Untuk apa?"

"Mencarimu."

* * *

Kyrie berjalan lunglai menuju rumahnya, rumah yang telah ia tempati bersama-sama Karin dan Danchou sejak dua tahun yang lalu. Kadangkala Shinno dan K juga ikut menginap disana -terutama setiap akhir pekan- sekedar untuk menghabiskan waktu dan mengobrol bersama.

"Tadaima Kyrie-kun... kau lupa mengucapkannya... kau tidak boleh masuk rumah jika tidak mengucapkannya!!" Danchou mendorongnya keluar dan kembali menutup pintunya dengan keras.

Kyrie menghela nafas. Selalu saja seperti ini. Gumamnya dalam hati.

Danchou adalah sepupu Karin yang dari lahir telah mengalami cacat mental dan sering bertingkah aneh. Bila tidak sabar-sabar, Kyrie kadang ingin sekali mencekiknya, meskipun sesungguhnya ia sangat sayang pada bocah itu.

"Danchou tolong buka pintunya! Aku ingin masuk."

"Tidak bisa Kyrie-kun. Kau harus mengucapkan mantranya bila ingin masuk."

"Baiklah.. tapi kau janji akan membukanya kan?!"

Danchou tidak menjawab, namun Kyrie bisa menebak bahwa di balik pintu itu Danchou telah menganggukkan kepalanya.

"T a d a i m a..."

Pintu pun terbuka lebar seiring dengan lebarnya senyum yang diulaskan Danchou pada wajahnya.

"Okaerinasai Kyrie-kun... kau bawa oleh-oleh yang aku minta padamu kemarin sore kan?!"

Kyrie mengangguk dan menyerahkan bungkusan yang berisi action figure gundam di dalamnya. "Susunlah dengan benar dan jangan kau rusak lagi untuk kedua kalinya."

Danchou mengangguk girang dan langsung berlari-lari mengitari Karin yang baru saja keluar dari dapur dan membawa nampan puding yang nampak lezat.

"Danchou berhentilah bersikap seperti ini. Kau bisa menumpahkan puding yang baru ku buat ini."

Danchou seperti biasa.. tidak mendengarkan ucapan Karin dan terus berlari-lari mengitarinya. Ia menunggu dalam diam sampai Danchou puas mengitarinya, lalu pergi meninggalkannya dan kembali ke kamarnya sendiri untuk menyusun action figure Gundam yang diberikan Kyrie sebagai oleh-oleh untuknya.

"Bagaimana presentasimu hari ini?" Tanya Karin setelah yakin Danchou tidak lagi menguji kesabarannya.

Kyrie hanya mengangguk untuk memberitahu Karin bahwa presentasinya lancar.

"Apa ada masalah lain Kyrie-kun?" Karin mampu menangkap kegundahan itu dari wajah sahabatnya.

Kyrie tidak langsung menjawab. Ia hanya mengambil surat kabar yang pagi tadi baru saja ingin dibacanya. Tidak perlu membalik-balik halaman surat kabar itu terlalu lama untuk membuatnya merasa tertarik dengan salah satu berita yang ada di dalamnya.

"Kematian karena vampire?? Hah apa-apaan itu?! Memangnya ada vampire di jaman seperti ini?!!" Karin turut serta membaca apa yang saat ini sedang dibaca Kyrie.

"Gadis yang diberitakan dalam surat kabar ini adalah salah satu mahasiswi di kampusku dan Shinno."

"Hontou?!! Wah tragis sekali." Karin memaksa mengambil surat kabar itu dari tangan Kyrie dan membacanya sendiri. "Kau mengenalnya Kyrie?!"

Kyrie menggeleng. Ia memang sama sekali tidak mengenalnya, namun Shinno memberitahunya bahwa sehari sebelum kematian gadis itu, gadis itu sempat mencarinya.

Untuk apa?

* * *

"Kau yakin tidak mengenal gadis itu Kyrie-kun?"

Kyrie menggeleng. "Bertemu saja rasanya tidak pernah." Ucapnya menjawab pertanyaan Karin.

"Tapi gadis itu manis sekali lho. Dia bilang padaku ingin bertemu denganmu karena kau telah meninggalkan jaketmu di apartemennya. Bagaimana mungkin kau bisa meninggalkan jaketmu di apartemennya bila bertemu dengannya saja kau tidak pernah?" Shinno bertanya bingung.

"Aku juga tidak tahu Shinno dan tidak mau terlalu memikirkannya." Ucap Kyrie acuh sambil terus memperhatikan buku yang sedang dibacanya.

"Tadi siang aku sempat melakukan sedikit penyelidikan. Menurut keterangan yang aku dapat, gadis itu ternyata memang bukan gadis baik-baik. Ia kerap berhubungan dengan banyak pria hanya demi kepuasan dan uang. Maka dari itu ia bisa tinggal di apartemen yang mewah meskipun statusnya hanya sebagai seorang mahasiswi."

"Kau niat sekali sampai menyelidiki latar belakang gadis itu." Karin tertawa kecil sambil menyuapi Danchou semangkuk sup miso.

"Habis aku penasaran sekali. Terutama karena gadis itu cukup terkenal dikalangan pria kampus kita. Ini aku punya foto wajahnya." Shinno baru saja ingin menyerahkan selembar foto itu pada Karin dan Kyrie, namun Danchou sudah lebih dulu merebutnya.

"Aaahh... obachu!!" Danchou mencium selembar foto itu. "Aku rindu sekali padamu obachu... kapan kau datang lagi dan bermain-main denganku."

Karin, Kyrie dan Shinno hanya memandang satu sama lain dan bingung dengan sikap Danchou itu.

"Hei Danchou... mengapa kau panggil orang ini obachu? dan kapan kau bertemu dengannya?" Tanya Karin.

Danchou seperti mengingat-ingat sesuatu dengan mata membelalak lebar ke atas dan mulut terbuka.

"Jangan bertanya apa-apa padanya Karin, dia ini kan memang suka mengada-ada." Kyrie memukulkan pelan bukunya pada kepala Danchou dan berusaha mengambil selembar foto itu dari tangan bocah autis tersebut, namun Danchou tidak mengijinkannya dan malah menggigit punggung tangan Kyrie.

"Jangan sentuh!! Kyrie-kun jahat karena telah membuat obachu menangis beberapa waktu yang lalu."

Kyrie semakin tidak mengerti ucapan Danchou. "Apa maksudmu?"

"Jangan berpura-pura... aku melihat semuanya... Kyrie-kun telah membuat obachu ini menangis."

Kali ini Karin dan Shinno yang menatap bingung kearah Kyrie, berusaha mendapat jawaban dari pemuda berambut panjang itu. Meskipun autis dan bodoh, namun Danchou tentu tidak berbohong saat mengatakan Kyrie telah membuat gadis yang terbunuh itu menangis beberapa waktu yang lalu.

* * *

Sudah agak siang saat K datang dan membawa sebuah surat kabar seperti biasanya.

"Berita kematian lagi. Korban ditemukan setelah empat hari tewas di sebuah mansion tua yang sudah tidak terpakai. Jika tidak ada bau busuk yang menyengat, kemungkinan masyarakat sekitar tidak tahu jika ada mayat di mansion tua itu." K membaca salah satu headline news di hadapan Karin.

"Lanjutkan K."

K menggeleng dan malah melempar surat kabar itu ke tangan Karin. "Baca saja sendiri. Oh iya Danchou mana? Aku ingin mengajaknya menyusun action figure."

"Dia di ruang tengah sedang bermain dengan kereta apinya."

K bersiap kesana, namun langkahnya terhenti saat ia mendapati selembar foto yang diletakkan diatas meja.

"Gadis ini kekasihnya Kyrie ya?? Dia sering sekali kemari mencari Kyrie."

"Hah?!! Apa kau bilang?? Gadis ini pernah kemari?? Ke rumah ini?!!" Tanya Karin seperti tidak percaya.

K mengangguk. "Kalo tidak salah ingat... sepertinya tiga kali aku melihatnya disini."

"Kapan?? Kenapa aku tidak pernah tahu?!!"

"Kau tidak tahu?!! Aku pikir kau tahu karena gadis ini sering sekali menemani Danchou bermain. Aku pikir dia ini kekasih Kyrie karena aku sempat melihatnya berbicara serius dengan Kyrie."

Karin terdiam dan mencoba berpikir. Ia memang tidak selalu berada di rumah karena harus bekerja sebagai pelayan kafe. Mungkin di saat-saat itulah gadis itu datang dan menemani Danchou bermain.

Pantas Danchou seperti sangat mengenalnya.
Lalu kenapa Kyrie bersikap seperti tidak mengenal gadis ini padahal nyatanya ia tahu?

* * *

Aneh. Mengapa mereka sama sekali tidak percaya saat Kyrie mengatakan bahwa ia sungguh-sungguh tidak mengenali gadis yang terbunuh itu?

Melihatnya saja rasanya tidak pernah.

Ia bahkan berani bersumpah dengan ucapannya. Lagipula jika misalnya ia memang mengenal gadis itu -namun lupa- toh tidak ada pengaruhnya apa-apa dengan berita kematiannya.

Namun Kyrie tetap saja ikut merasa aneh. Bukan hanya Shinno yang mengatakan bahwa gadis itu mengenal Kyrie, tapi Danchou dan K juga demikian. Bahkan K mengatakan bahwa ia pernah melihat dari kejauhan saat gadis itu berbicara dengannya.

Kyrie betul-betul tidak mengerti.
Bagaimana ia bisa sangat lupa mengenai gadis itu...

Saat berusaha mengingat, Kyrie malah menatap sesuatu yang nyaris di lupakannya. Dalam sebuah frame foto di salah satu meja di kamarnya, tampak sebuah foto bahagia ia bersama keluarganya, berdiri di depan bangunan kokoh yang tidak lain adalah rumahnya beberapa tahun yang lalu.

Saat itu Kyrie masih berusia sekitar tujuh tahun. Ia anak tunggal dari pasangan suami istri yang kaya, mereka hidup bahagia. Sampai kemudian kedua orang tuanya di temukan tewas dengan keadaan pucat seperti kehabisan darah. Kyrie tidak mengingat apa-apa saat itu. Ia hanya berdiri kaku dan tidak bisa menjawab apa-apa ketika polisi berulang kali menanyakan perihal kematian orang tuanya. Hari-harinya dipenuhi mimpi buruk setelah itu, ia seolah melihat sesosok pria yang sama yang selalu memenuhi tidur-tidur panjangnya di malam hari.

Kyrie tiba-tiba saja rindu pada kedua orang tuanya. Ia pun mengambil beberapa album kenangan dan membalik-balik isinya. Ia betul-betul lupa bagaimana wajah ayah dan ibunya. Bahkan ia tidak ingat bagaimana kehidupannya saat masih kanak-kanak, juga tidak ingat dimana ia tinggal saat itu. Yang diingatnya adalah saat ia tinggal dengan kakeknya, pria tua yang sangat menyayanginya. Pria itu telah meninggal tiga tahun yang lalu, dan setelahnya Kyrie memutuskan pergi dan hidup mandiri. Bertemu Karin, teman semasa SMAnya dan tinggal bersama di rumahnya.

Kyrie menatap foto-foto itu, ia lupa jika dulu ia tinggal di sebuah mansion yang sangat besar. Dan rasanya mansion itu tidak asing dalam ingatannya. Ia pernah melihatnya baru-baru ini meskipun keadaannya sungguh berbeda.

* * *

"Untuk apa kau mengajakku ke tempat ini? Bukankah ini mansion berhantu yang sangat terkenal di wilayah ini?! Aku pernah dengar kabarnya suami istri pemilik mansion ini meninggal kehabisan darah 15 tahun yang lalu. Mungkin ada vampire yang hidup di sini.."

"Tidak ada. Kau tidak perlu takut karena aku disini bersamamu."

Pemuda itu mendekap gadis di sampingnya dengan lebih erat, membuat wajah gadis itu bersemu merah dan malu-malu.

"Kau sungguh-sungguh mencintaiku?"

"Iya tentu saja. Aku bahkan sudah menyiapkan hadiah spesial yang ku simpan di tempat ini untukmu."

"Benarkah?! Kalau aku boleh tahu... apa hadiah spesial itu?"

"Tunggu saja sampai kau melihatnya nanti."

Gadis itu nampak sangat penasaran, meskipun ia tidak bertanya lebih jauh dan hanya terus mengikuti kemana pemuda yang bersamanya itu mengajaknya pergi melewati lorong-lorong gelap dengan bantuan sebuah lentera kecil saja.

"Sudah sampai. Lihatlah... ini hadiah yang kujanjikan padamu." Cahaya lentera kecil menyinari permukaan benda itu. Memanjang dengan kain putih berbecak merah yang menutupinya.

"A- apa itu? Kau yakin itu hadiah yang ingin kau berikan padaku..."

"Iya. Buka saja dan lihatlah apa ini.."

Pemuda itu mundur seperti mempersilahkan gadis yang berdiri dengan tubuh bergetar di hadapannya untuk melihat apa yang ingin ditunjukkannya.

Ragu-ragu gadis itu berjalan merendahkan tubuhnya dan mencoba membuka kain putih yang telah disentuhnya. Perasaannya menjadi semakin tidak nyaman. Apa sebenarnya ini? Ia bertanya-tanya dan mencoba membuang jauh pikiran negatifnya.

Tidak mungkin sesuatu yang buruk. Pasti ini memang benar-benar kejutan.

Dan tentu saja itu kejutan besar baginya.

Di hadapannya terbaring sesosok tubuh dari orang yang dikenalnya. Terikat tak berdaya dengan mulut tertutup lakban dan luka penganiayaan yang bisa dibilang tidak sedikit di sekujur tubuhnya.

Gadis itu menutupi mulutnya karena terkejut, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"A- apa ini?? Mengapa kau lakukan ini padanya?? Lepaskan dia!!"

"Dia kekasihmu kan?! Kau mengkhianatiku dan berkencan dengan pria ini. Kau menipuku!!"

Kali ini gadis itu menggeleng. "A- aku tidak bermaksud seperti itu... A- aku hanya mencintaimu... tapi kau jarang sekali memperhatikanku.."

"Lalu kau memilih mengkhianatiku dengan pria ini?!" Pemuda itu menendang pria yang terbaring di bawah kakinya.

"Maafkan aku... kau tidak perlu terlalu berlebihan seperti itu."

"Berlebihan? Kau sebut ini berlebihan?! Kaulah yang berlebihan. Janin yang kau kandung di perutmu bukan anakku.. benar begitu kan?! Kau hanya menjebakku agar aku bertanggung jawab atas janin itu. Kau tahu dengan sangat pasti bahwa aku tidak pernah menyentuhmu meskipun hanya satu kali. Itu mungkin anak dari pria brengsek ini atau orang lain yang aku tidak tahu siapa."

Gadis itu menundukkan kepalanya dan tampak tidak bisa menahan air matanya. Tubuhnya semakin bergetar hebat, lebih hebat daripada sebelumnya.

"Baiklah, aku mengaku... janin di perutku ini memang bukan anakmu. Tapi aku sungguh-sungguh saat aku mengatakan bahwa aku mencintaimu. Aku ingin hidup bersamamu.."

"Tapi sayang sekali aku tidak mau... kau bukan wanita yang aku inginkan. Kau tidak mengenalku. Aku bukan diriku. Sosokku yang sekarang bukan sosok yang selama ini kau ketahui. Aku hanya memanfaatkanmu seperti kau yang memanfaatkanku." Pemuda itu tampak menyeringai dingin. Ada yang berbeda dengan penampilannya. Ia tetap sosok yang tampan, hanya saja tampak lebih mengerikan.

Taring tajam tampak menghiasi senyumnya, membuat siapapun yang melihatnya akan bergidik ngeri atau mungkin terpikat dengan ketampanannya.

"Si- siapa kau sebenarnya??" Tanya gadis itu dengan wajah ketakutan.

"Aku... keturunan terakhir dari bangsa vampire yang hidup di negri ini. Ibuku berdarah murni vampire, sedangkan ayahku adalah manusia biasa. Aku terlahir dan dibesarkan seperti manusia pada umumnya. Aku tidak minum darah saat aku memang benar-benar tidak menginginkannya, aku nyaris tidak punya ingatan. Ingatanku sebagai vampire akan hilang saat aku terjaga dari tidur."

"Jadi cerita itu benar... penghuni rumah ini mati karena kau??"

Pemuda itu menggeleng. "Mereka orang tuaku. Aku tidak mungkin menghisap darah mereka. Tapi keadaan memaksaku seperti itu. Tubuhku lemah dan sakit-sakitan. Sebagai seorang manusia, orang tuaku tidak pernah mengijinkan naluriku sebagai vampire untuk berkembang. Aku lemah sebagai manusia dan nyaris mati... sampai akhirnya ibuku mengorbankan diri dengan merelakan darahnya untuk kuhisap. Ayah yang melihat itu menjadi marah dan ingin membunuhku, tapi naluriku sebagai vampire lebih besar dan memaksaku mengahibisi nyawanya. Setelah itu.. aku menjadi sangat ketakutan dan tidak ingat dengan apa yang baru saja kulakukan. Aku hanya menangis seperti layaknya anak kecil yang kehilangan orang tuanya. Kakek datang dan memelukku, mengatakan bahwa semua bukan salahku. Itu insting alamiku sebagai seorang vampire, meskipun aku masih tidak ingat apa-apa dengan apa yang terjadi. Semua terasa samar dan abu-abu."

"La- lalu... sekarang... a- apa yang ingin kau lakukan pada kami? Ja- jangan katakan bahwa saat ini kau sangat haus darah..."

Lagi-lagi pemuda itu menyeringai.

"Kau benar... aku sangat haus darah... Selama ini saat insting vampire-ku muncul, aku selalu bisa menahannya karena kakek sebagai pemilik rumah sakit besar selalu menyuplai kebutuhan darah segar untukku. Tapi sejak kakek meninggal tiga tahun yang lalu, aku menjadi kesulitan menemukan darah segar dan terpaksa mencuri kantung-kantung darah dari bank darah di rumah sakit peninggalan kakek yang diwariskan kepadaku. Aku tidak bisa terus melakukan itu karena pengawasan rumah sakit yang semakin ketat. Karena itu aku butuh darah segar saat ini. Aku mencari wanita-wanita jalang sepertimu sebagai target makananku. Dan pria busuk ini sebagai bonusnya." Pemuda itu merendahkan tubuhnya, menyentuh pria yang terbaring dengan sekujur luka di lantai yang dingin. Pria itu masih bernafas dan sadar dengan mata melotot tajam. Hanya saja ia tak mampu bersuara karena mulutnya yang tertutup lakban.

Taring-taring tajam masuk dan menembus kulit lehernya. Mengalirkan darah-darah segar yang masuk melewati bibir dan kerongkongannya.

Pemandangan itu membuat gadis itu lemas seketika. Tidak percaya bahwa apa yang dilihatnya sungguh nyata. Ia tidak boleh terus terpaku, ia harus lari dan pergi sebelum menjadi mangsa berikutnya.

Namun semua itu terlambat.

Pemuda itu kembali menajamkan matanya dan menatapnya dengan penuh hasrat. Angin yang tiba-tiba masuk ke lorong ruangan itu membuat cahaya api dari lentera kecil menjadi padam. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya langkah-langkah ketakutan yang terus berlari dan teriakan panjang mengharap pertolongan itu teredam oleh kesunyian malam.

Ia memeluk wanita itu dalam dekapan hangatnya, membiarkan tangannya menari dalam lekukan indah tubuh sang gadis, membisikinya kata-kata yang bagai hipnotis dan membuatnya tenggelam dalam gelora asmara mendalam. Memberi kecupan akhir yang begitu hangat hingga akhirnya ia membenamkan taringnya pada leher sang gadis dan menghisap darah segar itu sebagai pengobat dahaganya yang selama ini tertahan.

Tidak sampai disitu saja. Ia menggerayangi perut sang gadis jalang. Ada kehidupan kecil disana. Kehidupan yang sia-sia dari sebuah perbuatan dosa yang terasa manis namun menjijikan. Entah siapa ayah dari janin itu. Ia tidak peduli, dan hanya merasa kecewa karena gadis jalang bermain-main dengan perasaannya. Membuat perasaannya terluka dan membuat kebenciannya tumbuh.

Kuku-kuku tajam itu mencuat begitu saja, begitu cepat hingga akhirnya menembus melewati perut itu. Mengorek-ngorek isi di dalamnya dan menarik apa yang diinginkannya.

Nafas terakhir berhembus dengan berat dan detak jantung itu berhenti seketika, seiring dengan hilangnya 3/4 darah dari tubuhnya.

Gadis jalang kehilangan nyawanya.

Ia tewas dalam dekapan tubuh sang pemuda vampire.

Kyrie melihat itu semua. Secara jelas dan nyata. Termasuk saat pemuda vampire itu menoleh padanya dan menunjukkan wajahnya.

Kyrie tidak percaya...

Yang dilihatnya sedang berdiri di hadapannya saat ini ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah...

Dirinya sendiri.

Ia terperanjat dan terjaga dari tidurnya dengan nafas memburu kencang.

Ia baru saja mengalami satu mimpi buruk.

Mimpi sejenis yang akhir-akhir ini sering dialaminya.

Apa sebenarnya yang terjadi??

Mengapa lagi-lagi ia tidak ingat segalanya??

Bahkan mimpi buruk itu hanyalah tinggal mimpi buruk...

Mimpi buruk yang akan segera dilupakannya setelah ia kembali terlelap dan terjaga pada keesokan harinya.


-FiniSh-

Sun Flowers

Title: Sun Flowers
Author: EmirU
Chapter: 1 shot
Fandom: J-Rock ~the GazettE~
Genre: Drama Shounen ai
Finished: May 21, 2008
Pairing: err.. I don’t like this.. but, yaa.. RukixReita ==;; *garuk garuk tembok*

Note: fiksi fiksi dan fiksi.. gak ada hubungannya sama kehidupan para the GazettE. Bayangkanlah beberapa dari memba the GazettE sedang menjalani masa2 remaja dan menghadapi rutinitas sekolah mereka.



Enjoy~



~ ~ ~



Seperti sun flowers..
Aku hanya bisa memujamu..

Seperti sun flowers..
Aku hanya bisa mengharap cahayamu..

Seperti sun flowers..
Aku hanya bisa terus memandangmu..
Tanpa aku bisa mengatakan sesuatu..
Tanpa aku bisa mengungkapkan perasaanku..

Dan seperti sun flowers..

Kelak aku akan mati tanpa kau tahu apa arti diriku dalam hidupmu..



* * *



Hari yang sama, kelelahan yang sama, rutinitas yang sama, dan kebosanan yang sama. Reita mulai lelah dengan itu semua. tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengikuti alur yang sama itu dalam kehidupannya.



Hidupnya membosankan. Sangat sangat membosankan. Sekali-kali ia ingin seperti Uruha. Teman sepermainannya itu selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Meski ia tidak mencoba mendekati gadis-gadis, tapi entah mengapa gadis-gadis aneh itu lah yang mendekatinya. Reita juga ingin sekali-kali mendapatkan keberuntungan seperti itu.



Tapi untuk apa?



Ia sebenarnya sudah merasa cukup nyaman dengan kesendiriannya.



“Hari ini kau mau menginap di rumahku?” Tanya Uruha pada Reita saat mereka berada di depan locker masing-masing.



Reita membuka locker itu sedikit sebelum akhirnya menjawab. “ya sepertinya begitu.”



Uruha menatap sekilas kearahnya. Ada yang aneh dengan temannya itu. Reita seperti tidak bersemangat. Begitu pikir Uruha. Lalu tanpa bisa mencegahnya, Uruha pun bertanya.



“Kau kenapa Rei?”



Reita terdiam seperti tidak mendengar pertanyaan Uruha. Ia hanya terus menatap ke dalam locker kecilnya. Ada sesuatu disana yang belakangan ini sering kali ia lihat di dalam lockernya.



“Kau ini kenapa Rei??” Sekali lagi Uruha bertanya dan kali ini Reita tersadar dari lamunan kecilnya saat menatap sesuatu di dalam lockernya itu.



“ng.. Uru, apa kau tahu siapa orang iseng yang meletakkan bunga matahari ini di lockerku?” Tanya Reita sambil memperlihatkan setangkai bunga matahari yang ia ambil dari dalam lockernya.



Uruha menggeleng. “Yang jelas itu bukan aku.”



“Ya aku tahu itu. maksudku orang lain.”



“Ah entahlah. Mungkin penggemar rahasiamu.” Uruha tersenyum simpul dan membuat Reita.. yah sedikit berbunga-bunga.



Tapi akhirnya ia membuang bunga matahari itu ke tempat sampah terdekat.



“Kenapa kau buang Rei?” Tanya Uruha bingung.



“Memangnya untuk apa? Aku tidak memerlukan hal yang seperti itu.”



“Tapi mungkin saja ada orang yang kecewa melihatmu membuang bunga matahari itu.”



Reita acuh, meskipun sesungguhnya ia penasaran dengan orang yang meletakkan bunga matahari itu di lockernya. Bukan kali ini saja bunga itu ada disana, melainkan berkali-kali dan setiap hari. yah tepatnya sejak seminggu yang lalu. Rasanya aneh jika bunga itu diletakkan dalam lockernya hanya karena ada orang iseng yang ingin mengerjainya.



Meskipun penasaran, namun Reita dengan cepat melupakan hal itu dan berjalan menuju kelasnya bersama Uruha. Tanpa ia sadari, ternyata memang ada seseorang yang kecewa karena ia membuang bunga matahari itu.



Tangan pucatnya gemetar memungut bunga matahari itu dari tempat sampah. Ia menatap punggung orang itu, punggung orang yang mencampakkan bunga mataharinya. Punggung itu telah pergi menjauh dan ia hanya bisa menatapnya tanpa berbuat apa-apa.



~ ~ ~



Keesokan harinya,

Hal itu kembali berulang. Reita kembali mendapati bunga matahari itu di lockernya. Dan seperti biasa, ia kembali membuang bunga itu ke tempat sampah.



Lalu hari-hari berikutnya pun demikian.

Reita semakin muak dengan itu semua. Ia bosan melihat bunga matahari yang berbeda namun sama setiap hari di lockernya.



Keinginannya untuk mengetahui siapa orang iseng yang mengerjainya itu semakin besar.



“Apa salah bunga matahari itu? Apa kau kesal karena setiap pagi harus membuang bunga itu?” Tanya Uruha sambil memainkan bola dengan kakinya.



“Aku hanya ingin tahu siapa orang itu.”



“Hanya itu? Lalu apa yang akan kau lakukan jika sudah mengetahui siapa orang itu?”



“Entahlah, tapi mungkin aku akan menanyakan apa alasannya meletakkan bunga itu di lockerku.”



“Baiklah, kalau begitu kita tangkap basah saja orang itu.”



“Caranya?”



Uruha tampak berpikir sejenak sampai akhirnya ia membisiki Reita sesuatu.



~ ~ ~



Hari berikutnya, seperti yang direncanakan Uruha..



Reita dan Uruha sudah tiba di sekolah pagi-pagi sekali, saat semua siswa masih berpikir untuk melanjutkan tidur mereka.



Sesuai dugaan Uruha, locker Reita masih belum terjamah. Orang itu belum datang untuk meletakkan bunga mataharinya.



“Hooaaaahmm.. orang itu betul-betul mengesalkan. Gara-gara dia aku harus bangun pagi-pagi buta dan merayap ke sekolah ini.” keluh Reita sembari menguap lebar dan tampak bermalas-malasan.



“Kau sendiri kan yang ingin tahu siapa orang itu?!!”



“Iya sih, tapi kan...”



Reita terdiam saat mendengar langkah kaki seseorang. Uruha dengan cepat menariknya untuk bersembunyi. Dari tempat mereka bersembunyi, mereka masih bisa melihat kearah locker itu. dan tentu saja beberapa saat lagi mereka bisa mengetahui siapa orang misterius yang selalu menyelipkan setangkai bunga matahari di locker Reita.



Ada seseorang yang datang.



Apa mungkin itu dia? Tanya Reita dalam hati.



Tapi sosok itu berbeda dengan apa yang ada di pikiran Reita selama ini.



“Laki laki?!!!!”



Uruha membekap mulut Reita sebelum temannya itu bersuara lagi. “Diamlah Reita! Belum tentu itu dia.”



Reita menuruti ucapan Uruha dan kemudian mereka terus memperhatikan laki-laki itu. tubuhnya tidak terlalu besar, bahkan terlihat sangat kecil dan tampak rapuh. Wajahnya tidak tampak karena ia menutupi kepalanya dengan jamper. Tubuhnya tampak tenggelam dalam pakaiannya. Dan ia memakai syal tebal. Padahal saat ini belum masuk musim dingin. Bahkan masih terlalu jauh untuk itu.



Ia berhenti di depan locker yang Uruha dan Reita ketahui adalah milik Reita. Sesaat ia tampak menolehkan kepalanya kesana kemari, mencoba memastikan bahwa tidak ada siapa pun yang ada di sekitar itu. lalu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya. Sesuatu itu adalah bunga matahari yang masih tampak segar.



Laki-laki kecil itu membuka locker Reita lalu meletakkan bunga matahari itu disana.



Ia kemudian tampak menghela dan menghembuskan nafas dengan panjang. Lalu ia menunduk seperti orang yang sedang membuat permohonan. Dan setelahnya, ia menutup locker itu lalu bersiap untuk pergi.



Reita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Ia harus tahu siapa orang itu dan apa maksudnya. Tanpa menggubris Uruha yang berusaha mencegahnya, Reita keluar dari persembunyiannya dan memanggil laki-laki itu.



“Hei kau!!”



Laki-laki itu menolehkan wajahnya sekilas dan tampak terkejut mengetahui siapa orang yang memanggilnya. Ia menunduk dan semakin menutupi kepala dan wajahnya dengan jamper. Dengan segera ia mempercepat langkahnya bahkan mulai berlari. Reita pun mengejarnya dan begitu ia berhasil menyusul laki-laki itu, ia dengan segera dan agak kasar menarik tangan dingin dan menghempaskan tubuh mungil itu ke dinding. Ia mendesak laki-laki itu hingga tidak bisa bergerak. Reita sendiri pun tidak mengerti mengapa ia bisa melakukan tindakan yang berlebihan seperti itu.



Reita memaksa menarik kerah jaket dan syal laki-laki itu, lalu berusaha menatap wajahnya meskipun laki-laki itu bersikeras tidak ingin Reita melihat wajahnya.



“Kau yang meletakkan bunga matahari itu di lockerku?!”



Laki-laki itu diam tidak menjawab. Dan Reita tetap tidak bisa melihat jelas wajahnya. Lalu Reita menarik tudung jamper laki-laki itu dan menatap wajah di baliknya.



Wajah yang sangat lemah.



Melihat itu Reita jadi tidak tega ingin menyakitinya. Dan Reita sadar jika tindakannya terlalu berlebihan. Ia melepaskan cengkraman tangannya dari kerah laki-laki itu dan entah mengapa ia malah meminta maaf.



Laki-laki itu terbatuk dan tampak memegangi dadanya seperti orang yang kesakitan. Lalu seperti seorang pencuri kecil yang ketahuan aksinya, ia pergi dari hadapan Reita dengan langkah yang cepat. Kali ini Reita tidak berniat mengejarnya dan membiarkannya pergi begitu saja.



Uruha datang menghampirinya dan bertanya padanya.



“Apa kau mengenal anak itu Reita?”



Reita menggeleng. “Entahlah, sepertinya aku pernah melihatnya tapi aku tidak tahu dimana dan kapan. Tapi yang jelas aku tidak mengenalnya.”



“Aneh, aku juga tidak tahu ada anak seperti itu yang bersekolah disini. Lagipula kau lihat tadi, dia tidak berseragam.”



Reita mengangguk. “Lalu untuk apa dia terus menyelipkan bunga matahari itu di lockerku? Ini sudah dua minggu.”



Uruha mengangkat bahunya. “Mungkin kita perlu bertanya pada seseorang. Penjaga sekolah ini pasti tahu sesuatu tentang anak itu.”



~ ~ ~



Reita menghampiri laki-laki paruh baya itu. orang itu ia ketahui adalah penjaga sekolahnya.



“Matsumoto-san, apa anda tahu tentang seorang anak laki-laki berusia sekitar setahun di bawah kami yang sering datang ke sekolah ini pagi-pagi sekali?” Tanya Reita berusaha mendapatkan jawaban.



Laki-laki itu tampak berpikir. Terlalu banyak anak laki-laki di sekolah itu dan ia tidak mungkin bisa mengingatnya.



“Dia tidak memakai seragam.” Tambah Uruha.



Laki-laki itu kembali berpikir. Sepertinya ia mengingat sesuatu, namun akhirnya ia menggeleng pelan. Dan beberapa saat setelahnya, ia pun menjawab.



“Kurasa tidak ada anak laki-laki yang seperti kalian sebutkan.”



Reita tampak kecewa. Padahal sebelumnya Reita yakin kalau penjaga sekolah itu tahu sesuatu tentang anak itu. Ekspresi wajahnya yang menggambarkan itu. Namun akhirnya ia mengucapkan terima kasih dan bersiap untuk menuju kelasnya. Ia ingat belum mengerjakan tugas sekolahnya dan berniat menyalinnya dari milik Uruha.



Saat ingin meninggalkan tempat itu, Reita melihat di sudut belakang, di tempat yang agak tersembunyi, sebuah kebun kecil yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Kebun itu dipenuhi bunga matahari yang mekar indah dan menatap kearah datangnya sinar sang surya.



“Matsumoto-san.. bunga matahari itu..”



Laki-laki itu menoleh kearah belakang, tepat pada sesuatu yang ditunjukkan oleh Reita.



“Oh.. kebun itu ditanami oleh anak laki-lakiku. Aku sendiri tidak mengerti alasannya lebih memilih menanam bunga matahari, padahal aku lebih menyarankan untuk menanaminya dengan bunga mawar.”



“Anak laki-laki anda?! Dimana dia sekarang??” Tanya Reita tidak sabar.



Laki-laki itu tersenyum dengan wajah yang nampak sedih.



“Sudah sebulan ini dia dirawat di rumah sakit. Dari kecil tubuhnya memang lemah. Sebenarnya kami sekeluarga tidak punya biaya untuk merawatnya disana, tapi tidak ada pilihan lain. Jika terus dirawat dirumah, tubuhnya akan semakin lemah. Beruntunglah pihak yayasan sekolah ini berbaik hati dan mau membiayai semua biaya rumah sakitnya. Tapi Takanori tetap belum bisa sembuh sebelum menjalani operasi itu. sedangkan operasi itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kami tidak bisa terus-terusan mengandalkan pihak yayasan yang sudah begitu baik.”



Reita tertegun mendengar ucapan laki-laki paruh baya itu. ia sebelumnya tidak pernah tahu jika orang yang ada di hadapannya saat ini memiliki seorang anak laki-laki yang sedang menderita sakit.



“Ah maaf, kalian jadi mendengar keluhan orang tua ini.” ucap laki-laki itu sambil mengulaskan senyumnya kembali. “Sudah hampir jam delapan. Sebaiknya kalian segera menuju kelas.”



Reita dan Uruha mengangguk bersamaan. Mereka pun akhirnya meninggalkan penjaga sekolah itu dan menuju kelas mereka.



~ ~ ~



Tiga hari setelah itu,

Reita sudah tidak pernah menemukan setangkai bunga matahari pun di lockernya dan ia terus memikirkan sesuatu.



“Tidak mungkin seperti itu Rei, kau dengar sendiri kan kalau anak itu sudah dirawat selama sebulan?! Mana mungkin dia keluar dari rumah sakit dengan kondisi lemah hanya untuk meletakkan setangkai bunga matahari di lockermu.”



Reita pun paham dengan ucapan Uruha itu, tapi ia masih saja terus berpikir seperti itu.



“Kenapa sekarang kau malah memusingkan hal itu? seharusnya kau senang karena tidak ada lagi orang iseng yang meletakkan setangkai bunga matahari di lockermu. Bukannya itu yang kau inginkan?!”



“Iya benar, tapi.. aku masih penasaran. Aku yakin pernah melihatnya.. tapi aku lupa. Lalu kenapa dia tidak meletakkan bunga matahari itu lagi?”



“Jawabannya sudah jelas. Kau ini bodoh Rei, anak itu pasti ketakutan dengan tindakanmu yang berlebihan waktu itu.”



Reita lagi-lagi membenarkan ucapan Uruha. Tindakannya memang berlebihan. Ia bersikap seolah-olah anak itu telah mencuri sesuatu darinya. Padahal ia tidak lebih hanya meletakkan setangkai bunga matahari yang entah mengapa akhir-akhir ini malah Reita rindukan kemunculannya. Wajah anak laki-laki itu juga terus terbayang di matanya. Wajah pucat dengan bibir mungil kemerahan, mata serta hidung yang sempurna. Seandainya ia bukan anak laki-laki, Reita pasti sudah menyebutnya sangat manis dan menggemaskan. Sekarang pun saat mengetahui anak itu adalah anak laki-laki, ia juga tidak keberatan mengatakan bahwa wajahnya sangat manis.



Lalu ia pun mengambil keputusan.



“Aku akan pergi melihat anak laki-laki matsumoto-san itu.” ucapnya pada Uruha.



“Untuk apa?” Tanya Uruha bingung.



“Hanya untuk membuktikan rasa penasaranku.”



~ ~ ~



Pukul empat sore,

Uruha akhirnya menemani Reita pergi ke rumah sakit, tempat dimana anak laki-laki Matsumoto-san dirawat.



Nyaris saja mereka berdua tidak diijinkan masuk, tapi Reita terus memaksa dan mengatakan pada perawat bahwa ia dan Uruha adalah sahabat karib dari orang yang ingin mereka jenguk. Dan perawat itu akhirnya memberi ijin.



Reita dan Uruha memasuki kamar itu. mereka sebenarnya alergi dengan suasana rumah sakit. Bau obat yang sangat menusuk menjadikan alasan tersendiri mengapa mereka sampai tidak suka dengan suasana rumah sakit.



Lalu Reita menatap tempat tidur itu. ada seseorang yang terbaring disana. Selang infus, oksigen dan segala peralatan medis memakunya di tempat tidur itu. Reita menatap lebih dekat kepadanya dan ia nyaris membelalakkan matanya. Itu memang dia. orang yang meletakkan bunga matahari di lockernya.



“Apa kau yakin?” Tanya Uruha seperti tidak percaya.



Wajar saja, karena Reita sendiri pun sebenarnya tidak percaya. Tubuh itu tampak sekarat dan rasanya meskipun hanya sedikit, tubuh itu tidak mungkin mampu berjalan.



“Tapi memang anak ini. aku sangat ingat wajahnya. Wajah ini yang aku lihat waktu itu.” Reita bersikeras. Tanpa mereka sadari, laki-laki paruh baya itu sudah berada di ruangan itu.



“Kalian?! Sedang apa disini?” Tanyanya bingung.



“Ah Matsumoto-san, kami hanya ingin mengunjungi putra anda.” Ucap Uruha sopan.



Laki-laki itu pun tersenyum. “Terima kasih. Kalau anakku tahu, dia pasti senang karena ada yang mengunjunginya. Sebenarnya dia juga ingin sekolah, tapi dengan kondisinya yang seperti ini rasanya sulit. Setiap harinya dia hanya bisa datang ke sekolah dan melihat kalian dari jauh sambil terus merawat bunga-bunga matahari di kebun belakang itu.”



“Ng.. Matsumoto-san.. apa dua minggu terakhir ini anak anda pergi dari rumah sakit dan datang ke sekolah pagi-pagi sekali?” Tanya Reita penasaran. Ia tidak bisa membendung rasa ingin tahunya.



Matsumoto-san tertawa kecil. “Tidak mungkin. Itu mustahil. Justru dua minggu ini keadaannya semakin memburuk. Sebelumnya dia masih bisa membuka mata dan berbicara, tapi sekarang dia hanya bisa tertidur seperti ini.”



~ ~ ~



Reita menggaruk-garuk kepalanya.



“Aaaakkh!! Aku yakin itu memang dia. aku menyentuhnya dan dia nyata.” Ucap Reita seperti orang yang sedang frustasi.



“Tapi kau lihat sendiri kan kalau anak itu sedang sekarat?!”



“Iya Uru, aku tahu itu.. tapi.. mungkin saja...”



“Mungkin saja apa? Kau mau bilang jika spirit anak itu yang datang dan meletakkan setangkai bunga matahari setiap harinya di lockermu begitu?!”



“Yah mungkin saja begitu.. tapi kau juga melihatnya kan?! Sosok anak itu?!!”



“Iya aku memang melihatnya, tapi yang melihat wajahnya hanya dirimu. Lagipula aku masih penasaran jika memang dia... menurutmu apa alasannya selalu meletakkan bunga matahari di lockermu?”



Reita mengangkat bahunya. “Aku juga penasaran dengan itu. Aku memang merasa pernah melihat anak itu, tapi aku rasa... aku tidak memiliki hubungan apapun dengannya.”



“Cobalah kau ingat-ingat.. mungkin saja kau pernah berbuat satu kebaikan yang selalu diingatnya dan membuatnya bersimpati kepadamu.”



Reita mengikuti saran Uruha. Ia pun mengingat-ingat apa pernah ia berbuat sesuatu hal yang bisa membuat spirit anak laki-laki itu datang untuk meletakkan setangkai bunga matahari setiap hari di locker sekolahnya..



Tapi semakin ia mengingat, semakin ia lupa sama sekali dengan itu semua. Dan kepalanya dipusingkan dengan hal itu.



“Hei, kau mau kemana Rei?” Tanya Uruha saat menatap kepergian Reita.



“Cari angin.” Ucap Reita datar.



~ ~ ~



Reita baru saja duduk beberapa menit di bangku taman itu saat seseorang datang menghampirinya.



“Kau suka menatap bunga itu?” Tanya orang itu.



Reita menoleh padanya. Ia ragu, namun akhirnya menjawab.



“Tadinya tidak terlalu suka, bahkan sempat membencinya. Tapi sekarang aku menyukainya.” Ucap Reita.



Laki-laki itu tersenyum. “Adikku entah mengapa sangat menyukainya. Dia bilang kalau bunga matahari itu melambangkan pengharapan. Bunga matahari selalu menatap ke arah datangnya sinar matahari, bunga itu selalu berharap pada matahari yang selalu memberinya kehidupan. Dan tanpa matahari itu.. mungkin dia akan segera menghadapi kematian.”



Reita sedikit tidak mengerti dengan ucapan laki-laki itu. Ia sendiri tidak kenal siapa dia.



“Kau Reita kan?!”



Reita terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu?”



“Dari adikku. Entahlah, sepertinya dia mengagumimu.”



“Adikmu? Siapa??”



“Taka-chan. Dia adikku. Kemarin aku melihatmu dan seorang temanmu yang lain mengunjunginya di rumah sakit.”



“Jadi anak itu adikmu?!” Tanya Reita seperti tidak yakin.



“Iya dia adikku. Mungkin kau tidak ingat, tapi kau pernah menolongnya saat beberapa orang memaksa ingin merebut sesuatu darinya. Setelah itu kau menggendongnya di punggungmu.”



Reita memutar ingatannya. Dan setelah cukup kepayahan, akhirnya ia mengingat juga kejadian itu.



Kejadian yang berlangsung di tahun pertamanya memasuki bangku SMA.



Saat pulang dari sekolah, Reita melihat segerombolan anak-anak SMA nakal bertampang preman yang mengelilingi seorang remaja laki-laki berwajah pucat yang sepertinya sedang menderita sakit.



Reita ingin mengacuhkan hal itu. Karena ia tidak mau mencampuri urusan orang lain, mencampuri sama saja dengan melibatkannya dalam masalah. Tapi entah kenapa ia malah menolong remaja itu dan akhirnya mendapat banyak luka di sekujur tubuhnya.



Dalam keadaan terluka seperti itu, Reita melihat remaja laki-laki yang ditolongnya. Wajah pucatnya menatap Reita dengan iba, lalu saat ia ingin memberikan sapu tangannya, ia malah jatuh berlutut sambil memegangi dadanya dan hidungnya tampak mengeluarkan darah. Reita memapah dan menggendong remaja laki-laki itu di punggungnya, lalu mengantarkannya pulang. Sesampai di rumahnya, remaja laki-laki itu langsung pingsan tak sadarkan diri. Reita hanya mendapat ucapan terima kasih dari wanita separuh baya yang sepertinya adalah ibu dari remaja laki-laki itu.



Hanya itu.



Reita tidak menganggap itu spesial,

Tapi sepertinya remaja itu menganggpnya begitu spesial.



“Taka-chan selalu mengingat kebaikanmu. Dan setelah itu, dia selalu ingin mencarimu untuk mengucapkan terima kasih. Tapi dia tidak pernah menemukanmu sampai pada suatu hari dia melihatmu di sekolah itu, tempat dimana ayah kami bekerja sebagai penjaga sekolah. Dia ingin mengucapkan terima kasih, tapi sayangnya dia tidak punya keberanian untuk itu. dia hanya terus bisa memandangmu seperti bunga matahari yang hanya bisa terus memandang mataharinya. Sekarang ini dia sudah cukup sekarat. Sebagai kakaknya, aku mungkin hanya bisa mengucapkan terima kasih padamu sebagai pengganti dirinya.”



“Apa adikmu tidak bisa diselamatkan?” Tanya Reita.



“Entahlah, mungkin saja masih bisa. Tapi biayanya akan sangat besar. Dia harus menjalani operasi dan mendapatkan donor jantung secepatnya. Jantung untuknya sudah tersedia, tapi kami tidak sanggup membayarnya. Bahkan dengan seluruh harta yang kami miliki sekalipun, kami tetap tidak bisa menebus jantung itu untuknya.”



Reita pun tampak iba. Lalu dengan terburu-buru ia pamit dari hadapan laki-laki yang duduk di sampingnya.



“Maaf, aku harus pergi. Dan kalau boleh... aku ingin meminta ijin untuk menjenguk adikmu sekali lagi.”



Laki-laki itu mengangguk. Dan tentu ia sangat senang dengan ucapan Reita itu.



~ ~ ~



Kali ini Reita hanya sendirian. Ia tidak ditemani Uruha. Bukan karena Uruha terlalu sibuk sampai tidak bisa menemaninya, tapi ia memang hanya ingin sendirian.



Reita kembali ke kamar perawatan remaja laki-laki yang ia ketahui bernama Matsumoto Takanori. Sebelum itu, ia sempat pergi ke kuil untuk berdoa dan menulis permohonan. Reita memohon agar remaja laki-laki yang terbaring sakit di hadapannya ini, bisa sekali lagi diberikan kesempatan untuk hidup.



“Aku ingin menjadi sahabatmu jika kau bisa terus hidup sampai berpuluh-puluh tahun mendatang.” Ucap Reita sambil memegang tangan dingin yang memucat itu.



Reita menatap wajahnya. Bahkan dalam keadaan sekarat seperti itu, wajahnya terlihat sangat manis dan membuat Reita ingin menyentuhnya.



Sedikit saja Reita menyentuh wajah mulus itu. ia ingin sedikit saja bisa mengalirkan kehangatan tangannya pada remaja laki-laki itu.



Setelah itu ia menggenggam tangannya dengan sangat erat. Ia ingin tangan dingin itu kembali hangat. Dan ia ingin sekali saja remaja laki-laki itu membuka mata dan melihat padanya. Bukankah itu yang ia inginkan selama ini. ia ingin selalu menatap mataharinya. Dan Reita merasa tersanjung karena remaja laki-laki yang begitu manis itu menganggapnya sebagai sang matahari.



Lalu entah bagaimana, tanpa Reita sadari, Reita sudah mengecup bibir mungil itu. bibir yang sangat lembut, bibir yang entah mengapa semakin ia kecup.. semakin ingin ia rasakan lebih dalam.



“Maaf ya.. aku sudah lancang melakukan ini padamu.” Ucap Reita lembut. “Kau bukan putri tidur, tapi aku berharap dengan ciuman kecil ini... kau bisa terbangun dari tidurmu...”



Reita tulus mengatakannya. Ia ingin perasaannya tersampaikan pada remaja laki-laki yang perlahan mulai ia sayangi itu. Reita mulai takut kehilangan dirinya, padahal sebelumnya ia belum banyak berinteraksi bahkan mengenal sosok itu.



Tapi Reita terus berharap..



Ia berharap.. Matsumoto Takanori bisa terbangun dari tidur panjangnya dan menemani hari-harinya.



~ ~ ~



Musim mulai memasuki dingin. Salju-salju mulai menumpuk dan membuat Reita enggan melangkahkan kakinya keluar rumah bahkan untuk pergi ke sekolah. Aktivitas sekolahnya semakin menumpuk mengingat tahun ini adalah tahun terakhirnya di SMA. Reita harus memutuskan ingin melanjutkan kemana, ia bingung dan akhirnya malah sempat berpikir untuk membentuk sebuah band bersama Uruha.



Sebuah keputusan yang bisa dibilang bodoh. Di Jepang setiap tahunnya selalu bermunculan band-band baru yang belum tentu akan menemui kesuksusen. Misalkan band itu bertahan sekalipun, kemunculannya tidak akan lebih diakui daripada sekumpulan remaja-remaja yang menari dan menyanyi di sebuah panggung hiburan seni.



Reita ingin bertaruh dengan itu semua. apalagi ia yakin kalau bersama Uru semuanya akan menjadi lebih mudah. Uruha tentu saja aset yang bisa menarik massa dan rasanya itu sudah cukup menjadi modal utama.



Reita berjalan menuju kelasnya dengan langkah gontai. Ia seperti tidak memperhatikan sekelilingnya, termasuk saat ia mulai menabrak seseorang di hadapannya.



“Ah maaf.” Ucap orang itu dengan suara yang cukup khas.



Reita menengadahkan wajah dan menatapnya. Lalu seketika itu juga ia menjadi terkejut.



“Kau Takanori kan?!”



Orang itu lalu cepat-cepat menundukkan wajahnya dengan malu-malu. “Ba- bagaimana kau tahu..”



“Hah jadi benar?!!! Kau sudah sembuh rupanya.. aku senang sekali melihatmu lagi Takanori..”



“La- lagi? Maksudmu..”



“Kau lupa ya... aku kan yang waktu itu menolongmu dari bocah-bocah preman dan menggendongmu sampai ke rumah.”



Orang yang tidak lain adalah Takanori itu memberanikan diri untuk menatap Reita. “Jadi kau masih ingat dengan itu..”



“Ng.. ya tentu saja..” Reita berbohong. Sebenarnya ia lupa dan baru mengingatnya setelah kakak dari Takanori itu membuatnya teringat dengan kejadian itu. “Kau anak paman Matsumoto kan?!! Aku tahu dari ayahmu kalau kau sakit. Bahkan aku sempat beberapa kali mengunjungimu di rumah sakit.” Ucap Reita antusias.



“Benarkah?!” Tanya Takanori seperti tidak percaya.



“Iya, aku bahkan sudah menciu..”



Reita buru-buru menghentikan kalimatnya.



“Menci apa??” Tanya Takanori bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya



Reita buru-buru mengalihkannya. “Ah bukan apa-apa. Sudah lupakan saja.. oh ya.. kalau kau punya waktu.. bagaimana kalau sekarang kita ngobrol-ngobrol.”



“Tapi bukannya ini kita sudah ngobrol-ngobrol?!!”



“Iya maksudku.. ah apa kau salah satu siswa disini?” Tanya Reita saat menatap seragam Takanori.



“Iya, aku baru masuk hari ini. sebelumnya aku hampir tidak bisa bersekolah karena sakit. Untungnya ada orang dermawan yang mau membiayai operasi jantungku. Dan sekarang aku sudah sehat dan bisa bersekolah lagi.”



Reita tampak menarik nafas lega. “Syukurlah... ternyata doaku terkabul.”



“Doa?? Kau berdoa apa??”



“Ah bukan apa-apa.” Lagi-lagi Reita berusaha mengalihkan pembicaran. “Ah Uruha, wooi Uru..” Reita memanggil temannya itu saat ia ingin pergi ke ruang kelasnya.



“Kau disini Rei?! Sedang apa??”



“Lihat siapa ini Uru.. ini anak paman Matsumoto. Sekarang dia sudah sembuh.”



Uruha menatap orang yang bersama Reita. Sesaat ia juga sangat terkejut. Tidak percaya bisa melihat tubuh yang sebelumnya terbaring sekarat itu bisa berdiri di hadapannya saat ini. “Wah.. kau ternyata sudah sembuh ya..” hanya itu kalimat garing yang bisa Uruha katakan.



“I- iya.. maaf.. tapi bagaimana kalian bisa.. mengenalku seperti ini?”



Reita dan Uruha saling tersenyum.



“Kalau kau tidak iseng meletakkan sun flowers di locker laki-laki berhidung pesek ini, mungkin kami tidak akan pernah berusaha untuk mengenalmu.”



Reita menyikut perut Uruha saat teman laki-lakinya itu berkata seperti itu.



“Ma- maksud kalian apa? Seingatku.. aku tidak pernah meletakkan sun flowers di locker siapa pun..”



“Ah sudahlah Takanori.. Uruha ini memang sering mengigau. Kau tidak usah memikirkan ucapannya. Oh ya.. kau di kelas berapa?”



“2 D.” Jawab Takanori singkat.



“Berarti kau adik kelas kami. Wah, selamat menempuh kehidupan membosankan di sekolah ini Takanori...” Reita menepuk punggung teman kecilnya itu dengan lagak sok akrab.



“Iya arigatou..” ada perasaan lega saat ia mengucapkan itu. sudah sejak lama ia ingin mengucapkan kata singkat itu pada laki-laki yang ada di hadapannya.



“Ng.. maaf.. apa aku boleh memanggilmu Reita saja?” Tanyanya dengan ragu-ragu.



“Yah tentu.. aku juga akan merasa lebih nyaman mendengarmu memanggilku begitu..”



“Kalau begitu.. panggil aku Ruki saja.. rasanya panggilan Takanori itu terlalu panjang untukku.”



“Kau juga merasa begitu?!! Hahaa.. aku juga sebenarnya tidak terlalu suka memanggilmu Takanori. Ya sudah Ruki-chan.. hajimemashite.. kalau kau butuh sesuatu.. aku siap membantumu.”



“Doumo Arigatou.. Reita-kun...” Ruki membungkuk dalam seraya tersenyum kearahnya.



Dan rasanya, hari yang dingin ini menjadi sangat hangat bagi Reita berkat pertemuannya dengan Ruki.



Sun flowers mungilnya itu akan terus hidup... karena Reita akan terus menyiraminya dengan cahaya.



Sekarang.. jangan hanya sekedar menatapku Ruki..

Sampaikanlah perasaanmu.. karena mataharimu ini akan selalu mendengar dan melindungimu...



Sun Flowers ~Finish~



Comment please...

I'm sick, b'coz luv u.


Title: I'm sick, b'coz luv u.
Author: Emiru
Chapter: 1 shot
Fandom: J-rock - lynch.
Disclaimer: I'm sick, b'coz luv u. not my own but lynch.'s own
1st Publish: May 21, '09 (on multiply)


* * *

Wangi alkohol menyeruak keras memenuhi seisi ruangan seolah tidak menyisakan celah sedikit pun untuk dapat memberi ruang lebih lapang kepada seseorang untuk menghirup udara yang lebih pantas. Keputusasaan itu bagaikan seutas tali yang siap menjerat dan tertarik keras mencekik dengan angkuhnya menutup semua akses udara hingga melumpuhkan syaraf dan menghentikan lajur darah.

Tidak sanggup hanya sekedar ingin mencintai jika perasaan yang setulus dan selembut mahkota mawar yang baru merekah ini menyakiti diri bagai ujung mata pisau yang menari-nari indah mengguratkan torehan luka sampai pada titik terdalam dan tersiram oleh kepekatan air garam.

Begitu rapuh dan memalukan hanya karena seberkas keindahan itu yang lalu terbang melayang tak terengkuh oleh tangan, menjadi luluh dalam genggaman seseorang.

Tidak.
Rasanya bukan karena itu.

Sakit itu, perasaan perih yang ia rasakan itu lebih disebabkan karena kebencian dirinya atas kebahagian yang tidak pernah ia peroleh. Ia mengharap sesuatu yang kosong, sesuatu yang berlindung dalam rupa kepolosan dan ketidaktahuan dalam ketidakpekaan yang begitu manis oleh seberkas pahatan indah bernama senyuman.

Hanya bisa melihatnya tersenyum dan tertawa dalam keriangan, apa itu sudah bisa membuatnya bahagia?

Yah.. ia bahagia..
Namun kebahagian itu membawa luka yang lebih dalam saat kenyataan singkat dari sejumput kecil kebahagian itu ternyata hanyalah lukisan semu yang akan segera hilang saat seseorang menyiramnya dengan beberapa tangkup air mata kesedihan.

Aku.. apa aku pantas meratap seperti ini.. seperti seseorang yang tidak pernah hidup dalam ketegaran..
Seperti seseorang yang akan mati hanya karena tertohok dalam sensitivitas perasaan yang begitu dalam..
Perasaan yang tak kan pernah terbalas..
Perasaan yang hanya akan melayang terombang-ambing tertiup angin dalam ketidakpastian

Sakit..

Mengapa rasanya sesakit ini bila hanya mencintai..
Matipun rasanya aku sudi jika rasa sakit ini bisa segera hilang dan tergantikan oleh kebekuan indah dalam keabadian yang tidak berperasaan.

Hanya melihatnya.. selalu melihatnya.. dan ia tidak tahu.. ia beku dalam kepolosannya.. beku dalam ketidaktahuannya.. dan ia beku dalam ketidakmengertiannya.


Aku yang bodoh.. ataukah aku yang memang dengan tololnya membiarkan ia bersama yang lain..

I wish you, I just hate on myself because I love you..

Dan ia memilih untuk menyakiti dirinya sendiri berulang-ulang dalam intensivitas yang nyaris tanpa batas. Memilih untuk berkubang dalam lumpur kepedihan sampai ia tidak tahu mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Jarum-jarum yang kaku itu menembus kulitnya, mengguratkan lukisan dalam bentuk, rupa, warna dan tulisan di sepanjang lengannya. Rasa sakit itu tidak ada artinya, itu hanyalah bagian kecil yang bahkan sangat kecil hingga ia tak merasakannya.

Ini lebih tidak terasa sakit dibandingkan perasaan sakitku saat mencintaimu..

I sick you, I just hate on myself because I love you.


Sekarang dan sampai detik ini.. aku masih selalu mencintaimu.. ingin memilikimu dalam hati.. jiwa.. dan rengkuhan tubuhku..

Namun mengapa aku tidak mampu melakukan itu..

Kau.. kau bagai satu hal sia-sia yang takkan mungkin bisa kujadikan harapan hidupku.. kau semu bagai segumpal kabut yang menghalangi pandangan namun tak dapat kusingkirkan.

Tidak... aku salah.. aku bertahan hingga detik ini karena dirimu.. kau tumpuan harapanku..


Aku masih ingin melihat senyumanmu..


Karena itulah aku bertahan meski sesakit dan seperih apapun aku rasakan saat kau bersama dirinya..

Saat ini pikirannya tertawan dalam bayang-bayang cairan memabukkan hingga ia tidak tahu dimana dan bagaimana keadaannya sekarang. Menyedihkan kah.. memalukan kah.. ataukah sungguh menjijikan...

Ia tidak peduli dengan itu asalkan rasa sakit yang ia rasakan sedikit hilang atau paling tidak terbias dalam ketidaksadaran. Tubuhnya sangat lemah, tapi tidak selemah hatinya yang kecil dan rapuh karena cinta. Sungguh memalukan.

Sentuhan lembut dari tangan yang begitu hangat merayap membelai wajahnya. Ini mimpi.. ia yakin ia sedang bermimpi. Tidak mungkin sentuhan itu adalah sentuhan yang nyata. Mengharapkan itu nyata sama mustahilnya saat mengharap seekor keledai bodoh mempunyai sayap dan terbang bagai seekor pegasus yang indah dalam kegagahannya. Namun itu memang nyata.

Sama nyatanya saat suara lembut yang begitu hangat mengalun menyapa telinganya. Begitu nyaman bagai tiupan angin sepoi-sepoi yang memberi kesejukan dari seberkas kepekatan rasa ketidaknyamanan dalam kesesakan rasa pengab yang nyaris mencekiknya.

Hazuki... buka matamu...
Apakah kau mendengarkanku...

Suara itu.. lagi-lagi suara itu..
Mengapa saat ia tak ingin mendengarnya karena takut akan kembali merasa sakit beribu-ribu kali lipat dari perasaan sakit sebelumnya, suara itu justru kembali...

Jangan lagi... kumohon jangan lagi...
Jangan sapa aku lagi dengan sapaan polos dan senyum indah ketidakmengertian itu..

Kau menyakitiku karena itu..
Kau menusukku dengan jutaan belati dan menenggelamkanku dalam kubikan air garam yang membakar lukaku.

Aku menderita karenamu...
Aku korban dari ketidakmengertianmu..

Apakah kau tahu itu?!!
Seharusnya aku tidak perlu merasa sesakit ini, tidak perlu merasakan kepahitan ini, dan tidak perlu menjadi korban dalam kebahagian kalian. Seharusnya aku bisa menjadi lebih egois atau bahkan lebih kejam, merengkuhmu dengan paksa, memaksamu dengan siksa dan membelenggumu dalam egoku.

Tapi aku tak sanggup menyentuhmu. Kau terlalu rapuh dan berharga untuk kusakiti hanya demi seonggok ego dari perasaan cinta yang tak terbalas.

I'm sick because love you? Apakah memang seperti itu?
Bodoh sekali aku seperti itu...

Sungguh-sungguh bodoh.. bahkan lebih bodoh dari seekor keledai yang jatuh pada lubang yang sama.
Aku seorang Hazuki.. aku tak mungkin seperti ini.. aku harus menatap kenyataan.. menghadapinya dengan ketegaran.. dan membiarkan semuanya berjalan sesuai apa yang semestinya.

Matanya terbuka nyaris seperti keajaiban. Menatap dalam kesamaran perlahan apa yang ada di hadapannya. Ia melihat senyum indah itu. Memang menyakitkan baginya, tapi tekadnya untuk menghadapi kenyataan mengalahkan rasa keterpurukan dan kesakitan yang ia rasakan saat ini.

"Syukurlah kau sudah sadar." Wanita itu menatapnya dengan kelegaan. Ia tidak tahu apa-apa, tak tahu bahwa saat ini Hazuki sebenarnya lebih memilih tak pernah sadar daripada harus melihat keindahan yang tak pernah bisa dimilikinya.

Renggut dia Hazuki..
Kau pantas mendapatkannya..
Kau tahu itu kan..

Tunggu apa lagi... ambil paksa dirinya... katakan bahwa kau mencintainya.. katakan bahwa kau ingin memilikinya.. katakan bahwa kau sakit karena mencintainya..

Jangan pedulikan apa pendapatnya.. Jangan pedulikan hal lain.. cukup pikirkan perasaanmu.. jangan biarkan dirimu lebih sakit karena ini..

Dengarkanlah apa kata hatimu Hazuki...

Tidak!!

Hazuki kembali menutup mata dan membuang semua bisikan di kepalanya. Ia tidak mungkin melakukan itu. Tidak mau lebih egois dari ini. Sudah cukup ia merasa egois karena memiliki perasaan pada kekasih sahabatnya.

Asanao mendekatinya, menepuk pelan pundaknya dan menyadarkan Hazuki kembali. Ia menatap sahabatnya itu. Keramahan senyum ia tampakkan.

"Kau baik-baik saja kan?!"

Hazuki mengangguk meskipun sebenarnya ia enggan. Ia berharap semoga Asanao tak melihat keputusasaan dalam dirinya yang begitu rapuh. Ia tak tahu harus menjawab apa saat sahabatnya itu kembali bertanya kenapa, ada apa atau bagaimana kau bisa seperti ini?

"Hazuki bersemangatlah! Aku punya berita bagus yang ingin kusampaikan." Asanao mengerling padanya, menarik lembut tangan wanita itu, wanita yang seharusnya menjadi miliknya, menjadi milik Hazuki karena Hazuki mencintainya dalam keegoisan perasaan yang tak kunjung berbalas.

"Kami akan segera menikah Hazuki.. kau dengar.... kami akan segera menikah.. wanita cantik ini menerima lamaranku.. itu karena kau.. karena kau yang memberiku semangat untuk memberanikan diri melamarnya."

Hazuki berusaha tersenyum. Berusaha turut bahagia saat mendengarnya. Namun apakah mereka tahu bahwa saat ini ia sangat menderita...

Inilah yang sangat ia takutkan..
Ia sangat takut mengorbankan perasaannya.. seutuhnya.. ia harus mengubur semua itu dalam galian lubang terdalam lalu menimbunnya dengan bongkahan senyuman dan kegembiraan tak nyata dalam kepura-puraan.

"Benarkah?! Aku sungguh senang mendengarnya.. a- akhirnya.. kalian..." Hazuki kehabisan kata-kata. Asanao mungkin berpikir bahwa kata-katanya habis karena Hazuki begitu sangat gembira sampai tak sanggup berkata-kata.

Namun yang terjadi malah sebaliknya. Hazuki saat ini merasa tertikam dengan kata-kata Asanao yang terasa bagai sembilu mengkoyak-koyak perutnya. Begitu sakit dan perih tak terelakkan sampai rasanya ia tak ingin merasakan apa-apa lagi termasuk merasakan udara yang memberinya kehidupan.

Asanao memeluk Hazuki, pelukan dari seorang sahabat yang diliputi rasa kebahagian. Terasa begitu hangat dan tak sanggup ia lepaskan serta ia rusak dengan keegoisannya sendiri.

Berbahagialah Asanao...

Hazuki berharap itu.. lebih daripada itu, ia berharap Asanao bisa membahagiakan wanita yang dicintainya, wanita yang tak dapat dimilikinya, dan wanita itulah yang telah membuatnya sakit karena cinta.

"Aku ingin memeluk wanitamu Asanao.. kau tidak keberatan dengan itu kan.. aku ingin dia tahu.. aku sangat berbahagia atas kebahagian kalian."

Asanao mengangguk. Ia menoleh pada wanita itu, wanita cantik dengan segala kepolosan dan ketidakmengertian yang dimilikinya. Wanita itu memeluknya dalam dekapan hangat. Wangi tubuhnya tak sanggup ia elak untuk tak direngguk dalam sukma terdalamnya. Begitu lembut hingga ia merasa tak rela untuk melepasnya.

Sekali ini saja...
Ijinkan aku memelukmu lebih lama...

Kau yang tak mungkin ku miliki...
Kau yang tak sanggup ku sakiti... dan kau yang dengan ketidakmengertianmu akhirnya membuatku sakit karena cinta..


Aku mencintaimu...
Biarlah perasaanku sakit karena cinta ini... biarlah aku membenci diri sendiri karena cinta ini.. dan biarlah aku terpuruk karena cinta ini..


Namun aku akan selalu mencintaimu... hingga detik ini.. hingga hembusan nafas ini.. dan hingga detakan jantung ini..
Selamanya aku akan mencintaimu.. tak terukur pada batasan waktu... dan tak terbatas pada satu dekapan semu.

I'm sick, b'coz luv u.

-F I N I S H-

Memories

Title: Memories

Chapter: Long 1 Shot :D

Author: Emiru & Keka

Genre: Drama BL Romance

Rating: 15+

Fandom: J-Rock ~the GazettE~

Pairing: hehehee.. pecinta Reituki berbahagialah XDD

1st Publish: HERE on multiply (28 Dec 2008)





~ ~ ~




Satu tahun terlewati sejak aku kehilangan segalanya. Kecelakaan. Semua itu terjadi karena sebuah kecelakaan yang membuatku kehilangan sebagian besar ingatanku.



Aku tidak tahu siapa diriku sampai laki-laki bertubuh kecil itu hadir dalam hidupku.



Ia mengenalkan diri dengan nama Ruki.



Dan hal mengejutkan pertama yang kuterima darinya adalah kenyataan bahwa kami adalah sepasang kekasih.



Gila. aku pikir ia sedang gila ataukah memang dulunya kami sama-sama gila.



Aku seorang laki-laki mempunyai kekasih yang juga seorang laki-laki! Apa itu tidak disebut gila?!



Mungkin Tuhan membuatku hilang ingatan untuk memberiku kesempatan yang kedua agar aku bisa menjalani kehidupan yang normal.



Yah tentu saja awalnya, begitu aku sadar dari koma setelah mengalami kecelakaan itu, aku menganggap Ruki tidak lebih dari sekedar orang asing yang baru ku kenal beberapa detik yang lalu. Ia tampak kecewa dan bersedih mengetahui bahwa aku tidak ingat apa-apa tentang dirinya. Tapi laki-laki itu tetap tersenyum manis dan menggenggam tanganku. Aku merasakan kehangatan dari tangannya, namun aku merasa asing dan risih dengan sentuhan itu. Wajahnya terlihat makin sedih dan kecewa saat aku meminta melepaskan gengamannya dari tanganku.



Ia meminta maaf dan berjanji tidak akan berani berbuat lancang lagi.



Entah mengapa saat itu justru aku yang merasa sangat bersalah. Aku merasa sangat bersalah karena membuatnya meminta maaf padaku dan aku merasa bersalah karena membuatnya harus menorehkan wajah kekecewaan di atas rupa indahnya yang begitu lembut.



Bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa menganggapnya begitu manis? Ya aku tahu dia itu laki-laki, tapi saat itu pandanganku sangat objektif. Aku menganggapnya manis bukan karena aku menyukainya, tapi ia memang manis menurut pandangan objektifku. Sama halnya seperti melihat sebuah lukisan. Aku akan mengatakan sebuah lukisan tampak indah karena kenyataannya memang sangat indah dan tidak mungkin aku berbohong mengatakan lukisan itu buruk semata karena aku tidak suka dengan pelukisnya.



Setelah aku keluar dari rumah sakit, Ruki membawaku ke sebuah apartemen yang tidak terlalu besar. Ia mengatakan bahwa sudah tiga tahun kami tinggal bersama dan tidak ada orang lain yang aku miliki selain dirinya.



Aku tidak tahu apakah aku harus sedih atau bahagia mendengar itu. tapi aku menerima saja karena toh aku memang sudah tidak ingat apa-apa.



Ruki sangat perhatian. Ia mencoba membantuku mengingat segalanya meskipun aku tetap tidak ingat apa-apa. Ia menunjukkan foto-foto kenangan kita bersama. Begitu banyak dan semuanya terlihat menyenangkan. Sepertinya aku yang dulu sangat mencintai laki-laki itu karena wajahku yang tergambar di foto-foto itu terlihat begitu bahagia saat bersamanya.



Entahlah, tapi aku merasakan ada satu keganjilan. Meskipun Ruki mengatakan bahwa kami adalah sepasang kekasih dan sering kali ia menunjukkan sifat manjanya padaku, tapi entah mengapa ia malah memilih tidur di kamar yang berbeda.



Bukannya aku mengharapkan bisa tidur di kamar dan ranjang yang sama dengannya, tapi aku hanya merasa aneh. Jika dulu ia memang benar kekasihku dan kami tinggal bersama, tentunya kami juga akan tidur di kamar yang sama. Tapi Ruki mengatakan bahwa kami memang tidur di kamar yang berbeda.



Bodoh. Lagi-lagi aku berpikiran bodoh. Untuk apa aku harus memikirkan itu? Toh seharusnya aku senang karena laki-laki itu tidak menempel padaku dan membuatku merasa risih dengan sifat manjanya.



Yah dulu aku merasa terganggu dengan sifat manjanya. Tapi setelah setahun terlewati, sekarang aku merasa betah dengan sifat manjanya yang menggemaskan itu.



Namun aku merasa ada yang berubah. Sedikit demi sedikit Ruki mengurangi sifat manjanya padaku dan cenderung seperti menjauhkan diri dariku. Aku tidak tahu kenapa.



Sepertinya berulang kali juga ia ingin menyampaikan sesuatu padaku meskipun ia selalu mengurungkan niatnya.



Aku menatap cermin di hadapanku. Bayangan wajahku yang kusut terpantul di cermin itu. ada bekas luka di hidungku yang membuatku harus menutupinya dengan selembar kain. Kadang orang-orang sering melihatku seperti orang bodoh dengan penutup hidung itu. Tapi Ruki mengatakan bahwa aku terlihat keren dengan itu. entahlah apa itu ia ucapkan hanya untuk membesarkan hatiku atau bagaimana. Tapi aku senang mendengar ucapannya itu dan berjanji akan terus memakai penutup hidung itu.



Sudah hampir larut malam. Entah mengapa akhir-akhir ini Ruki semakin sering pulang larut malam. Ia bilang itu karena pekerjaan yang menuntutnya harus selalu pulang larut malam. Terkadang aku merasa kasihan melihatnya memikul beban sendiri.



Aku merasa seperti benalu karena aku hanya bisa menggantungkan hidupku padanya dan tidak bisa membantunya apa-apa. Yang bisa kulakukan hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak untuknya.



Apakah itu cukup?



Ruki memang tidak pernah mengeluh, ia bahkan pernah marah saat aku mengatakan bahwa aku ingin mencari pekerjaan. Meskipun mungkin tujuannya baik, tapi aku merasa kesal diperlakukan seperti itu. secara tidak langsung Ruki memperlakukanku seperti orang cacat yang tidak bisa melakukan apa-apa dengan baik.



Saat aku mengatakan itu, ia kembali menunjukkan wajah sedihnya yang membuatku selalu tidak tega mengatakan hal yang buruk padanya. Ruki seperti malaikat kecil rapuh yang entah bagaimana memiliki aura yang kuat untuk membuatku selalu ingin melindunginya. Aku akan merasa sakit jika melihatnya sakit, dan aku akan terluka jika melihatnya terluka.



Saat itu aku langsung saja memeluknya tanpa memikirkan apa-apa. Ruki terdiam dalam pelukanku dan itu membuatku ingin melakukan hal yang lebih. Aku ingin mengecup bibirnya yang manis. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melakukannya. Yang jelas sejak aku mengalami kecelakaan dan hilang ingatan, kami tidak pernah melakukan itu. aku bahkan tidak pernah memeluk atau sekedar mencium keningnya. Dan hubungan kami tidak lebih hanya seperti sepasang sahabat. Di luar dari sifat manjanya padaku, aku sampai tidak yakin apa dulu Ruki memang benar-benar kekasihku.



Ruki menghindar saat aku mencoba mencium bibirnya. Ia bahkan melepaskan diri dari pelukanku dengan jalan mendorong tubuhku. Ia terlihat tidak suka dengan perlakuanku dan memutuskan cepat-cepat kembali ke kamarnya setelah mengucapkan oyasumi padaku.



Aku merasa itu aneh.



Ruki benar-benar aneh.



~ ~ ~



Pukul dua dini hari. sudah terlalu larut untuk tiba di rumah. Reita pasti sudah tertidur. Yah aku berharap seperti itu. aku tidak ingin melihatnya semalaman menunggu kepulanganku. Aku tidak ingin menatap matanya yang menyimpan banyak tanda tanya tentangku. Dan aku tidak ingin ia bertanya mengapa aku baru pulang atau apakah aku lelah.



Aku ingin tiba di rumah tanpa perlu mendengar itu.



Maaf Reita. Aku bersalah padamu.



Aku melakukan dua kali kesalahan yang membuatku sangat menyesalinya.



Waktu berlalu begitu cepat dan segalanya menjadi berubah karena hal itu.



Aku ingat saat pertama kali kita bertemu.



Ruki ini hanyalah seorang pemalu yang tidak pandai bergaul dengan orang lain. Aku hanyalah kouhai mu yang begitu sangat mengagumimu. Mungkin kau tidak ingat bahwa dulu kau menjadi idola diantara para gadis-gadis di sekolah kita. Sedangkan aku hanyalah Ruki pemalu yang sering menjadi korban kejahilan para senpai yang lain.



Kau menolongku saat aku menjadi bulan-bulanan para senpai itu. menurutku kau terlihat begitu keren seperti seorang hero saat menghajar mereka satu-persatu. Yah meskipun akhirnya kau yang babak belur dan kita berdua harus berakhir menjadi penunggu gudang selama semalam karena mereka mengunci kita secara paksa disana.



Itu kenangan yang cukup manis bagiku. Karena sejak saat itu aku menjadi semakin dekat denganmu dan entah bagaimana akhirnya kita malah menjadi sepasang kekasih.



Lucu bila harus mengingatnya. Terutama saat aku dan kau harus merahasiakan hubungan aneh itu pada teman-teman kita, orang tua dan pada orang-orang lain di sekitar kita. Rasanya itu sangat berat. Saat itu aku betul-betul sangat mencintaimu Reita. Aku tidak ingin menutupinya karena bila itu kulakukan, itu sama saja dengan membohongi perasaanku sendiri. Kau juga mengerti hal itu. dan itu yang membuat kita tidak bisa tetap diam merahasiakan semuanya.



Kau memberitahukan hubungan kita pada orang tuamu dan orang tuaku. Tentunya mereka menjadi sangat marah dan akhirnya mengusir kita berdua. Mungkin bagi mereka kita ini hanya anak yang tidak berguna dan memalukan. Tapi aku tidak peduli asalkan aku tetap terus bersamamu.



Reita...



Apa perasaanmu padaku sungguh begitu besar?



Sampai-sampai saat kehilangan ingatan, kau masih bisa mencintaiku untuk yang kedua kalinya.



Padahal apakah kau tahu kalau aku sudah sangat banyak menyakiti hatimu?!



Aku yang membuatmu seperti ini. aku yang membuatmu mengalami kecelakaan itu dan aku juga yang menyebabkanmu harus kehilangan ingatan.



Tapi kau tetap setia padaku.



Aku memandang Reita yang tertidur dengan bersandar pada salah satu dinding di dekat pintu masuk. Aku menyentuh pipinya yang dingin. Entah sudah berapa lama ia tertidur disitu dan aku khawatir ia akan jatuh sakit.



Aku tidak tahu harus membangunkannya bagaimana. Dulu hal itu sangat mudah. Aku cukup mengecup bibirnya yang lembut agar ia terbangun dan akhirnya balas mengecup bibirku.



Tapi sekarang atau lebih tepatnya sejak dua tahun yang lalu aku tidak pernah lagi melakukan hal itu.



Reita bukan lagi orang yang kucintai.



Ada orang lain yang lebih kucintai dan itu membuatku harus mengkhianatinya.



Itu kesalahan pertamaku padanya. Setelah apa yang telah banyak ia perbuat untuk membahagiakanku, aku dengan begitu mudahnya berpaling dan mengkhianatinya.



“Gomenasai...”



Aku berbisik lirih, tapi itu sudah cukup membuatnya terbangun.



Reita tidak berubah. Meskipun ia melupakan segalanya, tapi ia tetap terbangun meskipun aku hanya sekedar berucap lirih padanya. Ia selalu peka dan menyadari keberadaanku. Lebih daripada itu, ia selalu paham dengan keinginanku dan bisa mengabulkannya dengan mudah. Reita itulah yang dulu sangat aku cintai. Seandainya saja orang itu tidak datang diantara kami, mungkin perasaanku padanya tidak akan pernah berubah.



“Ruki... kau sudah pulang..”



Aku mengangguk pelan di hadapannya. Reita bodoh. Ia selalu tidak bisa menggunakan kata-kata dengan benar. Kata-kata itu seharusnya ia ucapkan jika aku sudah tiba di rumah sepuluh jam yang lalu, dan bukannya saat aku pulang selarut ini.



“Kau tidak bertanya mengapa aku pulang selarut ini?” Tanyaku padanya.



Reita menggeleng dan tersenyum. “Kau sudah cukup lelah dan aku tidak mau membuatmu semakin lelah karena harus menjawab pertanyaan itu.”



Aku balas tersenyum padanya. Ada sesuatu yang menggeliat dalam perutku saat aku mendengar kata-kata tulus Reita itu. senyumku terulas palsu dan lebih seperti menertawakan diri sendiri. Mengapa aku harus mengkhianati laki-laki baik seperti dirinya..



Tanpa sadar aku memeluknya. Aku tahu saat itu Reita bingung dengan sikapku, tapi ia balas memelukku dan aku kembali bisa merasakan betapa hangat pelukannya dan membuatku sangat merindukannya.



~ ~ ~



Untuk pertama kalinya setelah aku kehilangan ingatanku, akhirnya tadi malam Ruki tidur bersamaku. Jangan pikirkan hal yang macam-macam. Kami hanya tidur bersebelahan tanpa melakukan apa-apa. Aku bahkan merasa tidak cukup pantas untuk menyentuhnya. Melihatnya ada di sampingku, itu sudah membuatku sangat bahagia.



Terlebih saat tadi malam kami mengobrol banyak hal. Ia menceritakan bagaimana aku ketika masih SMA. Dan menurutku ceritanya sedikit berlebihan. Aku tidak percaya saat ia mengatakan aku adalah idola para gadis-gadis. Mana mungkin aku yang seperti ini disukai para gadis. Tapi Ruki bersikeras mengatakan bahwa ia tidak berbohong. Wajahnya terlihat lucu sekali saat mencoba meyakinkanku.



“Kalau begitu kau beruntung karena akhirnya aku memilihmu.” Aku mengucapkannya sambil bercanda, tapi entah mengapa raut wajah Ruki berubah saat itu. seperti ada penyesalan yang tersirat dan hal lain yang aku tidak tahu pasti bagaimana harus menggambarkannya. Apa Ruki memang menyesal karena akhirnya memilih hidup bersamaku?



Mungkin sebelumnya ia telah banyak meninggalkan banyak hal dan itu semua ia lakukan semata karena aku. Lalu sekarang ia menyesal dan ingin lepas dariku tapi tidak tahu bagaimana caranya.



Tidak. aku rasa tidak seperti itu.



Kalau ia menyesal seharusnya ia sudah meninggalkanku sejak setahun yang lalu saat aku tidak ingat apa-apa termasuk tentang dirinya. Tapi toh ia tidak melakukan itu dan tetap menemani serta berusaha mengembalikan ingatanku.



“Reita.. kau tidak mendengarkanku ya..”



“Ah iya Ruki.. kau bicara apa tadi?” Tanyaku saat sadar bahwa sejak tadi Ruki sedang berbicara padaku.



Ruki memanyunkan bibirnya dan itu membuatnya nampak semakin menggemaskan.



“Tidak biasanya kau mengacuhkanku begini.”



“Hei, kau marah??” Godaku sambil mengacak rambutnya.



Ruki berusaha menghindar tapi akhirnya malah membiarkanku merangkul pundaknya dan membuat kepalanya bersandar pada bahuku.



“Kau mau kan menemaniku ke taman hiburan?! Sudah lama aku tidak kesana.”



“Taman Hiburan?? Kau mau kita kesana hari ini?!”



Ruki mengangguk. Dan wajahnya yang penuh permohonan seperti itu sama sekali tidak bisa aku tolak. Lagipula aku juga tidak ingat bagaimana rasanya pergi ke taman hiburan. Tidak ada salahnya aku kembali mencobanya untuk menyegarkan ingatanku.



~ ~ ~



Aku bahagia hari ini. entah sudah berapa lama aku tidak merasakan perasaan seperti ini. berada di samping Reita dan melakukan hal-hal menyenangkan bersamanya.



Sungguh aku tidak menyangka bahwa aku kembali bisa merasakannya. Meskipun mungkin ini untuk yang terakhir kalinya.



Hari ini aku harus memberitahu Reita semuanya. Tentang perasaanku dan tentang orang lain di hatiku.



Tapi apakah aku cukup yakin dengan itu?



Apakah perasaanku ini tidak salah?



Lalu apakah nantinya Reita akan menerima?



Aku tidak mau kejadian setahun yang lalu itu kembali terulang. Aku menyayangi Reita meskipun mungkin aku sudah tidak mencintainya.



Tapi mengapa hari ini aku begitu sangat bahagia?



Perasaan bahagiaku ini beda dengan perasaan bahagia saat aku bersama orang itu.



Aku merasa ini lebih membahagiakan dan memang sejak dulu hanya Reita yang bisa membuatku tertawa lepas dan bahagia.



Kalau saja waktu itu ia tidak sibuk dan mengacuhkanku karena pekerjaannya, mungkin aku tidak akan pernah berpaling darinya. Aku kesepian saat itu. ia selalu pulang larut malam dan mengabaikanku karena lelah dengan pekerjaannya. Lalu orang itu muncul di hadapanku. Ia laki-laki baik yang sangat pengertian meskipun kesan awalnya seperti laki-laki pemarah yang kurang baik tabiatnya.



Tapi ia selalu bisa memberi perhatian tanpa banyak berkata-kata. Ia laki-laki hangat yang kuakui lebih hebat dari Reita dalam urusan bercumbu. Aku selalu terpuaskan olehnya meskipun setelah melakukannya aku merasa sangat menyesal dan bersalah pada Reita yang mencintaiku sepenuh hati.



Aku tahu Reita bekerja keras demi aku agar aku bisa mendapatkan apa saja yang aku inginkan tanpa merasa kekurangan. Dan hasilnya masih bisa aku rasakan sekarang. Selama ini aku hidup bukan dari bekerja melainkan dari uang tabungan Reita yang ia kumpulkan selama bekerja sebelum akhirnya ia mengalami kecelakaan.



Aku bekerja sebagai model salah satu brand punk style hanya untuk kepuasan batinku semata. Lagipula orang itu juga ikut membiayai hidupku karena aku adalah kekasihnya. Ia tahu tentang aku dan Reita.



Dan karena ia sangat pengertian makanya ia memberiku waktu untuk tidak buru-buru lepas dari Reita. Setidaknya sampai ingatan Reita kembali.



Tapi sekarang ia tidak bisa lagi menunggu dan memaksaku untuk cepat-cepat memberitahu Reita tentang segalanya. Sepertinya ia tahu bahwa Reita kembali mencintaiku untuk yang kedua kalinya. Dan orang itu menyalahkanku karena menurutnya akulah yang menyebabkan Reita seperti itu. Reita tidak akan kembali mencintaiku seandainya aku tidak memberikan perhatian yang terlalu besar kepadanya.



Yah aku memang salah.



Seharusnya saat ia lupa padaku, aku tidak mengenalkan diri sebagai Ruki kekasihnya melainkan sebagai sahabat atau mungkin adiknya saja.



Tapi saat itu kata-kata itu spontan keluar begitu saja.



Saat Reita tersadar dan bertanya aku ini siapa, aku spontan menjawab bahwa aku adalah Ruki.. kekasihnya selama ini.



Entahlah, tapi aku selalu bahagia mengatakan bahwa aku adalah kekasih dari seorang Reita.



Lalu kenapa saat ini aku ingin berpisah darinya?

Padahal aku cukup bahagia bahkan sangat bahagia saat bersama dengannya.



Aku bingung dengan perasaanku sendiri.



Mungkin aku egois karena aku ingin mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari dua laki-laki sekaligus.



Walaupun sekarang aku harus memilih salah satu diantara mereka.



Dan aku sudah mengambil keputusan itu.



Tentang siapa yang akan aku pilih..



~ ~ ~



Lagi-lagi Ruki bersikap aneh.

Hari ini ia begitu bersemangat mengajakku ke taman hiburan.



Dan setelah melewati beberapa rangkaian kegiatan yang menyenangkan, ia kembali menjadi orang yang dipenuhi kebingungan.



Entah apa yang ia pikirkan.

Apa ia tidak bahagia pergi bersamaku hari ini?

Ataukah ada hal lain yang mengganggu pikirannya saat ini?



Aku ingin bertanya langsung, tapi aku tidak punya keberanian untuk itu. yang bisa kulakukan hanyalah menunggu sampai ia mengungkapkannya sendiri kepadaku.



Sesaat aku melihat Ruki seperti letih dan berjalan gontai dengan menyeret kakinya. Aku tahu ia tidak bisa berjalan terlalu lama karena tidak biasa melakukan itu. tidak ada yang bisa kulakukan selain meminjamkan punggungku padanya. Aku terbiasa menggendongnya dari lift apartemen sampai menuju apartemen kami dan berakhir di kamarnya.



Ruki menjatuhkan kepala dan menempelkan wajahnya di pundakku. Biasanya ia berkata bahwa ia bisa merasakan detak jantungku saat berada sangat dekat seperti itu. dan aku pun merasakan detak jantungnya. Hal itu sangat menyenangkan bagiku dan aku berharap ia juga merasakan hal yang sama.



Kami tiba di depan pintu apartemen saat laki-laki itu berdiri tidak jauh dari sana. Seorang laki-laki berwajah tenang dan sangat dewasa. Entahlah, tapi sepertinya aku pernah tahu siapa laki-laki itu.



Ruki menjadi gugup saat melihatnya dan memaksa turun dari punggungku. Aku masih tidak tahu mengapa ia bersikap seperti itu. dan laki-laki itu..



“A.. Aoi.. kau disini?!” Ruki berkata gugup.



“Iya aku menunggu kalian. Ini sudah waktunya, Ruki.”



Aku tidak mengerti ucapan laki-laki bernama Aoi itu. meskipun aku masih tidak ingat siapa dia, tapi aku merasakan firasat aneh bahwa sesuatu akan terambil dariku untuk selamanya.



~ ~ ~



Aoi?! Ia ada di situ! Bagaimana mungkin?!

Padahal aku sudah berkata padanya bahwa jangan temui aku di apartemen Reita, tapi ia malah menampakkan diri disana. Tepat saat aku sedang bahagia menikmati punggung hangat dan lebar milik Reita.



Ia berkata bahwa ia menungguku dan Reita. Aku tahu apa yang dimaksudnya. Tapi bukan ini yang aku harapkan. Aku ingin berbicara sendiri pada Reita tanpa perlu ia hadir di antara kami.



Ah sudahlah, mungkin ini memang sudah jalannya.



Reita membuka pintu apartemen dan mempersilahkan kami masuk. Sesaat baik aku, Aoi dan Reita sendiri bersikap sangat kaku seperti orang yang belum saling mengenal.



Reita menatap Aoi dengan sedikit bingung.



Yah aku tahu apa yang ada di pikirannya. Ia pasti bertanya-tanya siapa Aoi.



“Ng.. Rei.. ini Aoi.” Aku berusaha mengenalkan Aoi padanya. Ia tersenyum dan mengulurkan tangannya dengan bersahabat.



Aoi balas menjabat tangannya dengan senyumnya yang entah bagaimana, antara berusaha ramah namun juga tidak terlihat tulus. Aku tahu Aoi tidak membenci Reita. Tapi mungkin karena aku, ia menjadi tidak terlalu suka dengannya. Selama ini bahkan akhir-akhir ini aku menjadi lebih banyak membicarakan tentang Reita saat kami bersama. Aku tahu seharusnya aku tidak membicarakan orang lain yang bisa membuat Aoi cemburu. Tapi aku tidak sadar telah melakukan itu. aku tidak sadar bahwa aku sedang membicarakan Reita di depan Aoi dan seolah-olah menganggap Reita adalah segalanya.



“Rei.. Aoi ini.. temanku.”



Entahlah apa yang Aoi pikirkan saat aku berkata seperti itu. aku tidak berani menoleh hanya sekedar untuk menatap wajahnya. Aku hanya bisa mengalihkan tatapanku pada hal-hal lain.



“Iya aku tahu.” Reita berkata ringkas. “Tunggulah disini, aku akan menyiapkan makanan kecil dan minuman agar kita bisa mengobrol lebih akrab.”



Oh Rei.. pikiranmu sangat polos saat ini. aku tidak tahu apakah obrolan kita nantinya akan membuat kita menjadi lebih akrab atau malah sebaliknya.



~ ~ ~



Sepertinya laki-laki itu, Aoi adalah teman dekat Ruki. Aku masih tidak ingat ia siapa, tapi aku yakin dulu aku cukup mengenalnya.



Ah sudahlah, mungkin seiring berjalannya waktu aku akan kembali mengingat semuanya.



Tapi ada yang aneh dengan sikap Ruki. Yah, belakangan ini ia memang aneh, tapi sikapnya menjadi lebih aneh saat Aoi muncul di hadapan kami.



Dan laki-laki itu, Aoi terus menatapnya. Bukannya aku tidak suka jika ada orang lain yang menatap Ruki seperti itu, tapi aku hanya merasa takut untuk hal-hal yang aku sendiri tidak tahu apa.



Oh sial. Tidak ada satupun yang aku temukan di kulkas saat ini. aku harus membeli sesuatu di mini market, walaupun sebenarnya aku tidak ingin pergi saat ini.



“hanya sebentar Ruki.” Ucapku padanya.



Ruki seperti tidak mengijinkan. Tapi aku menatapnya dalam. Tanpa berkata apa-apa. Ruki lebih mengerti saat aku menatapnya daripada aku harus berkata padanya. Ia mengerti bahasa tubuhku yang begitu minimalis, seolah kami bicara dari hati ke hati. Dan ia pun mengangguk pelan, melepaskan genggamannya dari tanganku.



Tenanglah Ruki, aku tidak akan meninggalkanmu.



Setidaknya bukan untuk saat ini.



Saat aku betul-betul sangat mencintaimu.



Mungkin ini untuk yang kedua kalinya.



Aku tidak akan pernah melupakanmu seperti dulu lagi.



~ ~ ~



Entah apa yang Aoi pikirkan saat aku tidak mengijinkan Reita pergi dan terus menggenggam tangannya.



Apakah aku menyakitimu Aoi?



Tapi saat ini aku lebih sakit karena mengetahui Reita lebih banyak tersakiti karena ulah kita. Aku ingin mengakhiri semuanya Aoi. Entah aku harus mulai darimana. Semuanya terasa manis. Tapi aku tidak bisa terus menjalaninya.



“Ruki.. kau ini kenapa?”



“Kenapa bagaimana?” Aku balik bertanya pada laki-laki itu.



“Kau terus-terusan memberi perhatian padanya. Padahal kita sudah membicarakan ini sebelumnya.”



“Aku tahu itu Aoi.”



“Lalu sekarang bagaimana? Semuanya kembali seperti semula. Aku tahu laki-laki itu kembali mencintaimu. Tatapan matanya padamu yang memberitahuku.”



Iya Aoi. Kau memang benar. Itulah kesalahan kedua yang kulakukan pada Reita. Aku membiarkan perasaan laki-laki itu kembali tumbuh padaku.



Dan sekarang aku harus menebangnya.



Tidak.



Itu terlalu tidak adil untuk Reita.



Aku menyemai benih cinta padanya, menyirami benih itu hingga tumbuh menjadi pohon subur berdaun rimbun yang melindungiku dari sengatan matahari yang kejam. Tapi aku harus menebang pohon itu karena menghalangi pandangan dan jalanku.



Apakah aku harus dua kali melakukan hal yang kejam seperti itu. aku tidak bisa meninggalkan Reita.



“Aoi maafkan aku..” Ucapku lemah.



Aku tahu Aoi bisa menangkap apa maksudku.



“Tidak Ruki. Ini sudah terlalu lama. Aku sudah cukup bosan menunggumu. Apa kau tahu bagaimana perasaanku saat aku yang begitu mencintaimu harus merelakan kau disini bersama dia?!”



Aku menggeleng. Bukannya aku tidak paham dengan perasaan Aoi itu. justru karena aku paham makanya aku mengerti bahwa saat itu Reita sangat tersakiti.



Dua tahun yang lalu aku mengenal Aoi. Kami menjadi sangat sering bertemu karena bekerja di tempat yang sama. Aoi memberiku perhatian lebih disaat aku sangat membutuhkan perhatian dari Reita yang saat itu lebih sibuk dengan pekerjaannya. Aoi bisa menggantikan posisi Reita dengan baik dengan caranya sendiri. Dan karena itu aku perlahan mulai mencintainya dan perasaanku pada Reita menjadi luntur.



Awalnya aku merahasiakan itu dari Reita. Tapi seiring berjalannya waktu, Reita menyadari ada yang berubah denganku. Dan akhirnya ia tahu hubunganku dengan Aoi.



Sebenarnya saat itu aku berharap ia marah padaku. Tapi ia tidak marah dan hanya diam.



Aku semakin tidak tahan dengannya. Sikapnya yang menggantungku membuatku semakin ingin pergi darinya dan hidup bersama dengan Aoi. Aku mengutarakan niat itu, aku ingin pergi dari apartemennya dan pindah ke apartemen Aoi seperti yang selama ini Aoi dan aku inginkan.



Tapi Reita memohon hingga bersujud padaku.



“Jangan pergi Ruki... kau boleh mengacuhkanku, menganggapku tidak ada, tapi tetaplah disini bersamaku.. aku mohon..”



Tidak ada yang bisa aku katakan saat itu. Reita bodoh. Bagaimana aku bisa mengacuhkannya jika aku tetap tinggal bersamanya.



“Aku akan tidur di kamar lain jika kau tidak suka aku tidur di sampingmu, tapi kumohon jangan pergi dari sini..”



Baiklah Reita, aku mengabulkan keinginanmu itu. mungkin kita bukan lagi sepasang kekasih, tapi aku tetap menyayangimu dan berharap bisa terus menyambung hubungan sebagai sahabatmu.



Sejak saat itu kehidupanku sedikit berubah. Aku memang tinggal bersama Reita, tapi hubungan kami menjadi sangat kaku, tidak akrab lagi seperti dulu. Aku tidak bisa bercanda lepas dengannya dan aku merasakan kehilangan sesuatu.



Aoi sering datang mengunjungiku di tempat Reita. Kami bahkan tidak segan-segan melakukan banyak hal termasuk bercinta disana. Tadinya kami bisa mengontrol dan melakukannya saat Reita sedang tidak ada, tapi semakin lama kami makin seenaknya. Aku yang terlalu asik dengan Aoi tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Reita yang sebenarnya. Aku terlalu disibukkan dengan Aoi dan lupa bahwa Reita masih sangat mencintaiku.



Saat itu Reita masuk ke dalam apartemen saat aku dan Aoi tengah bercumbu dengan penuh nafsu. Reita meminta maaf karena kedatangannya membuat kami terganggu. Lalu ia pergi begitu saja dengan kehampaan. Aku merasa semakin kehilangan dirinya yang begitu hangat dan selalu dipenuhi canda tawa.



Perasaanku menjadi semakin tidak enak saat Reita pergi begitu saja. Aku merasa seperti mengusirnya dari rumahnya sendiri. Dan karena itu aku kehilangan mood untuk bercinta dengan Aoi. Aku memintanya untuk pulang saja. Aku tahu saat itu Aoi kesal.



Sama seperti saat ini.



“Ruki kau tidak mendengarkanku.” Ucap Aoi menyadarkanku dari lamunan kenangan masa lalu.



“Maaf Aoi. Tapi aku belum bisa memutuskan sekarang. Aku butuh waktu.”



“Lagi?!! Sampai berapa lama?!! Kau tahu hasilnya akan sama saja dan akan lebih menyakitkan.”



Aku menundukkan wajah di hadapan Aoi. Terlalu takut jika ia sampai membaca isi hatiku.



“Ruki.. kau.. jangan-jangan...”



Yah Aoi. Aku tahu kau mulai menyadarinya.



Aoi mengepalkan tangannya dan meninju udara kosong. Ia kesal. Aku tahu itu.



Beberapa detik setelahnya, ia menyentuh kedua pundakku dengan kedua tangannya yang besar dan hangat. Ia menghadapkanku menatapnya, menyentuh kedua pipiku dan mendongakkan wajahku. Tatapan sama yang sering dilakukan Reita padaku. Hanya dengan tatapan itu aku tahu ia bisa menelanjangi isi hatiku dan membacanya dengan mudah. Aku tidak pernah berhasil menyembunyikan perasaanku dan itulah kelemahanku.



“Kau tahu kalau aku mencintaimu kan Ruki..”



Aku mengangguk.



“Lebih besar daripada apapun juga..”



Lagi-lagi aku kembali mengangguk.



Dan aku merasa bersalah karena itu. aku menyakiti hati dua orang yang sangat aku cintai. Kau dan Reita. Aoi maafkan aku...



Saat itu aku tidak bisa mencegah saat Aoi mulai mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku dengan sangat dalam. Bodoh, kenapa aku bisa begitu bodoh??



Tidak seharusnya aku membiarkan itu terjadi. Disini. Di tempat Reita. Dan saat Reita telah kembali membawa bungkusan belanjaan berisi minuman dan makanan kecil.



Reita melihat saat Aoi menciumku.



Matanya yang dipenuhi tanda tanya dan keterkejutan itu membuatku tidak bisa mengatakan apa-apa.



Reita mundur dari posisinya berdiri. Aku tahu apa yang ia pikirkan saat ini.



Tidak Reita.



Ini tidak seperti yang kau lihat..



Kumohon jangan pergi Reita...



Aku terus memohon itu dalam hatiku.

Namun sosok itu sudah menghilang dari hadapanku sebelum aku sempat berkata apa-apa.



~ ~ ~



“Kau tahu kalau aku mencintaimu kan Ruki..”



“Lebih besar daripada apapun juga..”



Aku mendengar suara itu. suara Aoi.



Kata-kata yang begitu jelas itu tidak serta merta membuatku sadar pada kenyataan sampai aku melihat semuanya. Melihat saat mereka berciuman mesra.



Aku sudah pernah melihat hal itu. sering kali. Dulu. Dulu saat aku belum kehilangan ingatanku. Aku mengingatnya meskipun belum seluruhnya.



Karena keterkejutan itu aku memutuskan pergi. Aku ingin menyendiri dan berusaha menyusun puzzle-puzzle memoriku. Aku ingin mengetahui kebenarannya tentang siapa aku, Ruki dan laki-laki itu.



Aku kembali ke tempat itu. Tempat dimana aku dan Ruki sering menghabiskan waktu bersama sejak kami masih sama-sama di SMA. Aku mengingatnya dengan cukup jelas. Ayunan dan papan perosotan yang sama. Kami sering duduk di salah satu bangku dan memperhatikan bocah-bocah kecil bermain dengan alat-alat permainan itu. tidak jarang Ruki ikut bermain bersama mereka dan memaksaku juga ikut menemaninya.



Saat itu aku betul-betul menyukaimu Ruki. Perasaan cintaku tumbuh karena rasa sayang dan suka yang begitu besar. dan itu tidak berubah. Sampai sekarang, meskipun aku sempat melupakanmu, tapi aku tidak bisa menghilangkan rasa ini darimu.



Ingatan itu bukan hilang dariku. Aku hanya berusaha menguburnya Ruki. Aku menguburnya karena aku tidak ingin mengingatnya. Mengingatmu meninggalkanku karena Aoi, mengingatmu lebih mencintai dia daripada aku, mengingatnya menyentuhmu dengan seenaknya dan mengetahui betapa kau sangat menikmati hal itu. itu ingatan yang menyakitkan dan aku berusaha melupakannya. Aku hanya ingin mengingat bahwa kau Ruki kekasihku, milikku dan satu-satunya harta yang paling berharga bagiku.



Ruki... mengapa kau lakukan ini padaku? Seharusnya tidak kau tumbuhkan kembali cintaku padamu setelah aku berhasil kehilangan ingatan tentangmu bila akhirnya kau akan kembali menjatuhkanku. Kau tetap miliknya. Bukan lagi kekasihku. Seharusnya aku tahu itu dan membiarkanmu pergi bersamanya.



Aku tidak perlu menahanmu tinggal bersamaku. Itu menyakitkan. Menyakitkan saat aku hanya bisa melihat wajahmu yang polos saat sedang tertidur. Aku ingin menyentuhmu saat itu, tapi aku merasa sudah tidak berhak lagi atas dirimu.



Semua memang salahku. Aku terlalu sibuk dan mengabaikanmu hingga kau berpaling padanya. Wajar saja bila aku harus kehilangan cintamu. Ruki.. aku tidak pantas menyalahkanmu atas semua ini. akulah yang bersalah dan aku pantas menerima akibatnya.



Aku sudah mengingat semuanya Ruki. Semuanya..



Kenangan manis kita dan saat-saat indah kita. Aku bisa mengingatnya sebaik saat aku mengingat saat dimana kau mulai berubah dan meninggalkanku.



Seandainya perasaan manusia bisa kekal. Seandainya aku bisa membuatmu tetap mencintaiku...



Ruki... aku sudah tidak punya siapa-siapa yang membuatku bertahan di dunia ini.



Aku lemah. Saat itu aku tidak mengalami kecelakaan melainkan membiarkan diriku memang celaka. Aku berharap aku bisa secepatnya meninggalkan dunia dan melupakanmu. Tapi mengapa takdir berkata lain? Aku selamat dan tetap bersamamu. Kau begitu memperhatikanku sampai aku harus mencintaimu untuk kedua kalinya.



Tidak Ruki. Aku tidak bisa lagi menahan rasa sakit dengan lebih lama. Percuma aku bertahan bila akhirnya kau akan tetap pergi meninggalkanku.



Selamat tinggal Ruki...



Aku sungguh mencintaimu...



~ ~ ~



Kumohon Reita..

Jangan lakukan hal bodoh lagi seperti waktu itu.



Aku menyadari kesalahanku dan perasaanku.



Aku hanya mencintaimu Reita..



Kau cinta sejatiku.



Aoi hanya cinta sesaatku. Aku mencintainya karena ia muncul di saat aku kehilangan sosok dirimu. Dan sekarang aku tidak mau lagi harus kehilanganmu.



Dimana kau Reita? Kembalilah...



Aku akan menyalahkan diri sendiri jika hal yang buruk kembali terjadi padamu.



“REITAAAAA..!!!!!!”



Aku berteriak saat melihat sosok itu berdiri di ambang pagar jembatan tinggi yang di bawahnya adalah pusaran air laut dari sebuah teluk.



Tidak. jangan pergi Reita.



Aku akan melakukan hal yang sama jika kau melakukannya.



“REITAAAAAAAAAAAAAA..!!!!!”



Kali ini aku berteriak lebih keras. Ia mendengar teriakanku dan menoleh.



Aku hanya menatapnya. Bahasa tubuh yang sangat minimalis namun lebih bisa menyampaikan perasaanku daripada sekedar kata-kata.



Reita menggeleng.



“Pergi Ruki!! Jangan dekati aku!! Kembali saja padanya!!”



“Tidak mau!! Aku mencintaimu Reita!! Sama seperti waktu itu!! Tidak berubah!!”



Tidak. Ruki berbohong. Aku tahu ia berbohong. Ia mengatakan itu semata karena tidak mau melihatku melakukan hal bodoh dengan menghilangkan nyawaku. Maaf Ruki.. tapi aku sudah mengambil keputusan.



Aku berharap kau akan bahagia dengan laki-laki itu.



Bodoh. Reita bodoh. Dan aku juga bodoh karena mencintai laki-laki bodoh seperti itu. tapi karena ia bodoh makanya aku semakin mencintainya.



Reita, kalau kau memang bersikeras melakukan itu.. aku juga akan melakukan hal yang sama.



“Rei, lihatlah ini Rei!!! Aku juga akan ikut mati bersamamu!!!”



Aku pucat melihatnya. Ruki apa yang kau lakukan?? Mengapa kau ingin melakukan hal sama seperti yang ingin aku lakukan? Jangan Ruki. Air laut itu dingin dan akan menyakiti tubuh mungilmu bila kau terjatuh di dalamnya. Air laut itu akan membuatmu kehilangan nafas saat mulai berpusar dan menenggelamkan tubuhmu di dasarnya. Aku tidak mau itu terjadi.



“Ruki jangan lakukan itu!!!”



“Tidak! Aku tetap akan begini kalau kau juga tidak mengurungkan niatmu!!”



“Apa kau sungguh-sungguh?!!”



“Tentu saja bodoh. Memangnya aku terlihat bercanda saat ini?!!”



Ruki memberiku pilihan yang sulit. Jika ia serius ingin melakukan ini, apakah ucapannya yang tadi juga serius??



Tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. aku harus mengurungkan niatku dan menariknya dari pinggir jembatan tempat dimana ia berdiri dan bersiap melompat saat ini.



Ruki tersenyum saat melihatku mengurungkan niat untuk mengakhiri hidup. Kau menang Ruki. Aku selalu luluh dengan ucapanmu. Laki-laki manis itu baru saja akan melakukan hal yang sama sepertiku. Ia ingin memanjat pagar pembatas jembatan, namun karena tidak hati-hati akhirnya ia terpeleset. Ya aku melihatnya seperti itu. dan reflek saja setelahnya aku yang sudah berada dekat dengannya langsung meraih tangannya.



Untunglah berhasil tertangkap.



Meskipun saat ini posisi kami sama sekali tidak menguntungkan. Ruki bergelantungan di pinggir jembatan dengan diriku berusaha menarik tubuhnya dengan kedua tangan. Rasanya sangat berat dan pegangan tanganku padanya menjadi sangat licin. Aku tidak mau kehilangan dirimu Ruki...



“Rei.. jangan lepaskan aku.. aku takut..”



“Tenanglah Ruki, aku akan terus memegangmu dan menarikmu dari sini. Bertahanlah sebentar..”



“Aku tidak mau mati sekarang Rei... aku masih ingin terus bersamamu... aku mencintaimu.. maafkan aku...”



“Sudah jangan ucapkan apa-apa. Aku tahu itu.” Aku berusaha mati-matian menarik tubuhnya. Aku juga tidak mau kehilangan dirinya. Tidak untuk saat ini. aku masih ingin hidup dengannya sampai beberapa puluh tahun lagi.



Meskipun aku berusaha mati-matian, namun ini tetap sulit. Aku sudah tidak bisa menahannya. Aku terlalu lapar dan kehilangan banyak tenaga karena tadi terus berlari. Kumohon... jangan ambil dia dariku.. aku mohon...



Saat itulah sosok itu hadir dan mengulurkan tangannya yang besar untuk ikut menarik tubuh Ruki.



Ruki tertolong. Dan aku bersyukur karena itu.



Namun kebahagian itu mungkin tidak akan berlangsung lama. Sosok itu ada diantara kami. Dan sebentar lagi aku akan tahu sebenarnya siapa yang akan Ruki pilih.



Aku lepas dari jerat maut. Baru kusadari bahwa berada diambang kematian itu sama sekali tidak menyenangkan. Kenyataan bahwa kita akan kehilangan segalanya membuatku merasa sangat takut. Hal yang kutakutkan pertama kali adalah jika aku harus berpisah dari dirinya..



Reita dan Aoi berdiri di hadapanku. Mereka bekerjasama untuk menolongku. Aku tahu mereka memiliki perasaan yang sama besar padaku. Tapi aku harus memilih satu diantara mereka.



Aoi menatapku, wajah yang penuh pengharapan. Namun tidak demikian dengan Reita, ia berpaling dariku.



Meskipun demikian, aku tahu perasaan Reita semakin dalam padaku.



“Aoi... maaf...”



Hanya dengan sedikit kata itu sepertinya Aoi sudah cukup mengerti meskipun ia tidak bisa menyembunyikan kekecewaan di wajahnya.



Reita tetap berpaling padaku. Kau manis saat bersikap seperti itu Rei..



Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak memeluknya.



Terserah ia ingin berpikir apa saat ini.



“Aku hanya mencintaimu..”



Aku.. apa aku masih tidak percaya dengan ini..

Ruki mengacuhkan Aoi dan memilih untuk memelukku. Sesaat aku hanya terdiam tanpa membalas memeluknya.



Namun ia terus memelukku dan mengatakan bahwa ia mencintaiku..



Apa aku tidak bermimpi??



Tidak.. ini nyata.

Ruki terasa sangat nyata. Tubuh, wangi tubuhnya, hembusan nafas dan detak jantungnya. Ini memang Rukiku. Ruki yang selalu aku cintai.



Aku balas memeluknya lebih erat. Tidak sanggup berkata apa-apa. Atau aku tidak ingin berkata apa-apa karena tidak ingin kehilangan moment untuk terus memeluknya.



Sepasang mata tajam itu menatap kami. Tentunya ia merasa kecewa, tapi sepertinya ia bisa merelakan itu bila itu yang terbaik dan membuat Ruki yang dicintainya bahagia.



Aoi menepuk pundakku dan berbisik di telingaku.



“Jaga dia baik-baik.. aku akan sangat berterimakasih karena itu. dan buatlah Ruki selalu tersenyum.”



Aku mengedipkan mata dan tersenyum padanya. Membiarkannya pergi sementara aku masih terus memeluk Ruki.



Wajar saja jika Ruki sempat mencintainya. Laki-laki itu memang tulus mencintainya dan lebih rela mengorbankan perasaannya jika itu membuat Ruki bahagia.



Tapi mulai saat ini aku berjanji pada diriku sendiri, Aoi. Aku akan terus membuat Ruki mencintaiku dan tidak akan membiarkannya kembali mencintaimu.



Karena rasa cintaku padanya lebih besar daripada rasa cintamu terhadapnya.



Memories

~Finish~



Hkahkahkahkaa… 1 Shot yg panjang ya…. XDD



Komen sangat amat diharapkan ^^/



Uruha: Kok aku gak ada ya... gak adil!!!! Aku yang bohay keak gini gak dimasukin dlm cerita. Ciih, gak seru!!

Kai: Aku jugak gak ada!!! Tapi mending dirimu Uru. Aku klopun ada dlm fic kakak beradek ini, tapi selalu jadi tokoh penyemarak aja!! Gag pernah jadi tokoh utama T^T

Keka: *eyus2 pipi Kai* nyaa.. kamu kan swami Keka Kai. Masa’ mo dijadiin korban fic yaoi jugak >.<

Kai: ya udah, bikin aku jadi sememu aja. Jangan Tsukasa itu mulu yg jadi sememu!!!! *ngamuk2*

Keka: bisa diatur itu... ^^



Ruki: *baca fic* balada jadi uke... napa selalu aku yg jadi uke na?!!!!!!!!

Rei: terimalah nasibmu hanii..

Aoi: lagi2 aku jadi pria mesum, udah gitu patah hati pulak!! Dasar kakak adek kurang ajyar!! *kirim rudal*

Emiru-Keka: *ngabuuuuuuuuuuuuuuurr*