Sun Flowers

Title: Sun Flowers
Author: EmirU
Chapter: 1 shot
Fandom: J-Rock ~the GazettE~
Genre: Drama Shounen ai
Finished: May 21, 2008
Pairing: err.. I don’t like this.. but, yaa.. RukixReita ==;; *garuk garuk tembok*

Note: fiksi fiksi dan fiksi.. gak ada hubungannya sama kehidupan para the GazettE. Bayangkanlah beberapa dari memba the GazettE sedang menjalani masa2 remaja dan menghadapi rutinitas sekolah mereka.



Enjoy~



~ ~ ~



Seperti sun flowers..
Aku hanya bisa memujamu..

Seperti sun flowers..
Aku hanya bisa mengharap cahayamu..

Seperti sun flowers..
Aku hanya bisa terus memandangmu..
Tanpa aku bisa mengatakan sesuatu..
Tanpa aku bisa mengungkapkan perasaanku..

Dan seperti sun flowers..

Kelak aku akan mati tanpa kau tahu apa arti diriku dalam hidupmu..



* * *



Hari yang sama, kelelahan yang sama, rutinitas yang sama, dan kebosanan yang sama. Reita mulai lelah dengan itu semua. tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengikuti alur yang sama itu dalam kehidupannya.



Hidupnya membosankan. Sangat sangat membosankan. Sekali-kali ia ingin seperti Uruha. Teman sepermainannya itu selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Meski ia tidak mencoba mendekati gadis-gadis, tapi entah mengapa gadis-gadis aneh itu lah yang mendekatinya. Reita juga ingin sekali-kali mendapatkan keberuntungan seperti itu.



Tapi untuk apa?



Ia sebenarnya sudah merasa cukup nyaman dengan kesendiriannya.



“Hari ini kau mau menginap di rumahku?” Tanya Uruha pada Reita saat mereka berada di depan locker masing-masing.



Reita membuka locker itu sedikit sebelum akhirnya menjawab. “ya sepertinya begitu.”



Uruha menatap sekilas kearahnya. Ada yang aneh dengan temannya itu. Reita seperti tidak bersemangat. Begitu pikir Uruha. Lalu tanpa bisa mencegahnya, Uruha pun bertanya.



“Kau kenapa Rei?”



Reita terdiam seperti tidak mendengar pertanyaan Uruha. Ia hanya terus menatap ke dalam locker kecilnya. Ada sesuatu disana yang belakangan ini sering kali ia lihat di dalam lockernya.



“Kau ini kenapa Rei??” Sekali lagi Uruha bertanya dan kali ini Reita tersadar dari lamunan kecilnya saat menatap sesuatu di dalam lockernya itu.



“ng.. Uru, apa kau tahu siapa orang iseng yang meletakkan bunga matahari ini di lockerku?” Tanya Reita sambil memperlihatkan setangkai bunga matahari yang ia ambil dari dalam lockernya.



Uruha menggeleng. “Yang jelas itu bukan aku.”



“Ya aku tahu itu. maksudku orang lain.”



“Ah entahlah. Mungkin penggemar rahasiamu.” Uruha tersenyum simpul dan membuat Reita.. yah sedikit berbunga-bunga.



Tapi akhirnya ia membuang bunga matahari itu ke tempat sampah terdekat.



“Kenapa kau buang Rei?” Tanya Uruha bingung.



“Memangnya untuk apa? Aku tidak memerlukan hal yang seperti itu.”



“Tapi mungkin saja ada orang yang kecewa melihatmu membuang bunga matahari itu.”



Reita acuh, meskipun sesungguhnya ia penasaran dengan orang yang meletakkan bunga matahari itu di lockernya. Bukan kali ini saja bunga itu ada disana, melainkan berkali-kali dan setiap hari. yah tepatnya sejak seminggu yang lalu. Rasanya aneh jika bunga itu diletakkan dalam lockernya hanya karena ada orang iseng yang ingin mengerjainya.



Meskipun penasaran, namun Reita dengan cepat melupakan hal itu dan berjalan menuju kelasnya bersama Uruha. Tanpa ia sadari, ternyata memang ada seseorang yang kecewa karena ia membuang bunga matahari itu.



Tangan pucatnya gemetar memungut bunga matahari itu dari tempat sampah. Ia menatap punggung orang itu, punggung orang yang mencampakkan bunga mataharinya. Punggung itu telah pergi menjauh dan ia hanya bisa menatapnya tanpa berbuat apa-apa.



~ ~ ~



Keesokan harinya,

Hal itu kembali berulang. Reita kembali mendapati bunga matahari itu di lockernya. Dan seperti biasa, ia kembali membuang bunga itu ke tempat sampah.



Lalu hari-hari berikutnya pun demikian.

Reita semakin muak dengan itu semua. Ia bosan melihat bunga matahari yang berbeda namun sama setiap hari di lockernya.



Keinginannya untuk mengetahui siapa orang iseng yang mengerjainya itu semakin besar.



“Apa salah bunga matahari itu? Apa kau kesal karena setiap pagi harus membuang bunga itu?” Tanya Uruha sambil memainkan bola dengan kakinya.



“Aku hanya ingin tahu siapa orang itu.”



“Hanya itu? Lalu apa yang akan kau lakukan jika sudah mengetahui siapa orang itu?”



“Entahlah, tapi mungkin aku akan menanyakan apa alasannya meletakkan bunga itu di lockerku.”



“Baiklah, kalau begitu kita tangkap basah saja orang itu.”



“Caranya?”



Uruha tampak berpikir sejenak sampai akhirnya ia membisiki Reita sesuatu.



~ ~ ~



Hari berikutnya, seperti yang direncanakan Uruha..



Reita dan Uruha sudah tiba di sekolah pagi-pagi sekali, saat semua siswa masih berpikir untuk melanjutkan tidur mereka.



Sesuai dugaan Uruha, locker Reita masih belum terjamah. Orang itu belum datang untuk meletakkan bunga mataharinya.



“Hooaaaahmm.. orang itu betul-betul mengesalkan. Gara-gara dia aku harus bangun pagi-pagi buta dan merayap ke sekolah ini.” keluh Reita sembari menguap lebar dan tampak bermalas-malasan.



“Kau sendiri kan yang ingin tahu siapa orang itu?!!”



“Iya sih, tapi kan...”



Reita terdiam saat mendengar langkah kaki seseorang. Uruha dengan cepat menariknya untuk bersembunyi. Dari tempat mereka bersembunyi, mereka masih bisa melihat kearah locker itu. dan tentu saja beberapa saat lagi mereka bisa mengetahui siapa orang misterius yang selalu menyelipkan setangkai bunga matahari di locker Reita.



Ada seseorang yang datang.



Apa mungkin itu dia? Tanya Reita dalam hati.



Tapi sosok itu berbeda dengan apa yang ada di pikiran Reita selama ini.



“Laki laki?!!!!”



Uruha membekap mulut Reita sebelum temannya itu bersuara lagi. “Diamlah Reita! Belum tentu itu dia.”



Reita menuruti ucapan Uruha dan kemudian mereka terus memperhatikan laki-laki itu. tubuhnya tidak terlalu besar, bahkan terlihat sangat kecil dan tampak rapuh. Wajahnya tidak tampak karena ia menutupi kepalanya dengan jamper. Tubuhnya tampak tenggelam dalam pakaiannya. Dan ia memakai syal tebal. Padahal saat ini belum masuk musim dingin. Bahkan masih terlalu jauh untuk itu.



Ia berhenti di depan locker yang Uruha dan Reita ketahui adalah milik Reita. Sesaat ia tampak menolehkan kepalanya kesana kemari, mencoba memastikan bahwa tidak ada siapa pun yang ada di sekitar itu. lalu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya. Sesuatu itu adalah bunga matahari yang masih tampak segar.



Laki-laki kecil itu membuka locker Reita lalu meletakkan bunga matahari itu disana.



Ia kemudian tampak menghela dan menghembuskan nafas dengan panjang. Lalu ia menunduk seperti orang yang sedang membuat permohonan. Dan setelahnya, ia menutup locker itu lalu bersiap untuk pergi.



Reita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Ia harus tahu siapa orang itu dan apa maksudnya. Tanpa menggubris Uruha yang berusaha mencegahnya, Reita keluar dari persembunyiannya dan memanggil laki-laki itu.



“Hei kau!!”



Laki-laki itu menolehkan wajahnya sekilas dan tampak terkejut mengetahui siapa orang yang memanggilnya. Ia menunduk dan semakin menutupi kepala dan wajahnya dengan jamper. Dengan segera ia mempercepat langkahnya bahkan mulai berlari. Reita pun mengejarnya dan begitu ia berhasil menyusul laki-laki itu, ia dengan segera dan agak kasar menarik tangan dingin dan menghempaskan tubuh mungil itu ke dinding. Ia mendesak laki-laki itu hingga tidak bisa bergerak. Reita sendiri pun tidak mengerti mengapa ia bisa melakukan tindakan yang berlebihan seperti itu.



Reita memaksa menarik kerah jaket dan syal laki-laki itu, lalu berusaha menatap wajahnya meskipun laki-laki itu bersikeras tidak ingin Reita melihat wajahnya.



“Kau yang meletakkan bunga matahari itu di lockerku?!”



Laki-laki itu diam tidak menjawab. Dan Reita tetap tidak bisa melihat jelas wajahnya. Lalu Reita menarik tudung jamper laki-laki itu dan menatap wajah di baliknya.



Wajah yang sangat lemah.



Melihat itu Reita jadi tidak tega ingin menyakitinya. Dan Reita sadar jika tindakannya terlalu berlebihan. Ia melepaskan cengkraman tangannya dari kerah laki-laki itu dan entah mengapa ia malah meminta maaf.



Laki-laki itu terbatuk dan tampak memegangi dadanya seperti orang yang kesakitan. Lalu seperti seorang pencuri kecil yang ketahuan aksinya, ia pergi dari hadapan Reita dengan langkah yang cepat. Kali ini Reita tidak berniat mengejarnya dan membiarkannya pergi begitu saja.



Uruha datang menghampirinya dan bertanya padanya.



“Apa kau mengenal anak itu Reita?”



Reita menggeleng. “Entahlah, sepertinya aku pernah melihatnya tapi aku tidak tahu dimana dan kapan. Tapi yang jelas aku tidak mengenalnya.”



“Aneh, aku juga tidak tahu ada anak seperti itu yang bersekolah disini. Lagipula kau lihat tadi, dia tidak berseragam.”



Reita mengangguk. “Lalu untuk apa dia terus menyelipkan bunga matahari itu di lockerku? Ini sudah dua minggu.”



Uruha mengangkat bahunya. “Mungkin kita perlu bertanya pada seseorang. Penjaga sekolah ini pasti tahu sesuatu tentang anak itu.”



~ ~ ~



Reita menghampiri laki-laki paruh baya itu. orang itu ia ketahui adalah penjaga sekolahnya.



“Matsumoto-san, apa anda tahu tentang seorang anak laki-laki berusia sekitar setahun di bawah kami yang sering datang ke sekolah ini pagi-pagi sekali?” Tanya Reita berusaha mendapatkan jawaban.



Laki-laki itu tampak berpikir. Terlalu banyak anak laki-laki di sekolah itu dan ia tidak mungkin bisa mengingatnya.



“Dia tidak memakai seragam.” Tambah Uruha.



Laki-laki itu kembali berpikir. Sepertinya ia mengingat sesuatu, namun akhirnya ia menggeleng pelan. Dan beberapa saat setelahnya, ia pun menjawab.



“Kurasa tidak ada anak laki-laki yang seperti kalian sebutkan.”



Reita tampak kecewa. Padahal sebelumnya Reita yakin kalau penjaga sekolah itu tahu sesuatu tentang anak itu. Ekspresi wajahnya yang menggambarkan itu. Namun akhirnya ia mengucapkan terima kasih dan bersiap untuk menuju kelasnya. Ia ingat belum mengerjakan tugas sekolahnya dan berniat menyalinnya dari milik Uruha.



Saat ingin meninggalkan tempat itu, Reita melihat di sudut belakang, di tempat yang agak tersembunyi, sebuah kebun kecil yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Kebun itu dipenuhi bunga matahari yang mekar indah dan menatap kearah datangnya sinar sang surya.



“Matsumoto-san.. bunga matahari itu..”



Laki-laki itu menoleh kearah belakang, tepat pada sesuatu yang ditunjukkan oleh Reita.



“Oh.. kebun itu ditanami oleh anak laki-lakiku. Aku sendiri tidak mengerti alasannya lebih memilih menanam bunga matahari, padahal aku lebih menyarankan untuk menanaminya dengan bunga mawar.”



“Anak laki-laki anda?! Dimana dia sekarang??” Tanya Reita tidak sabar.



Laki-laki itu tersenyum dengan wajah yang nampak sedih.



“Sudah sebulan ini dia dirawat di rumah sakit. Dari kecil tubuhnya memang lemah. Sebenarnya kami sekeluarga tidak punya biaya untuk merawatnya disana, tapi tidak ada pilihan lain. Jika terus dirawat dirumah, tubuhnya akan semakin lemah. Beruntunglah pihak yayasan sekolah ini berbaik hati dan mau membiayai semua biaya rumah sakitnya. Tapi Takanori tetap belum bisa sembuh sebelum menjalani operasi itu. sedangkan operasi itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kami tidak bisa terus-terusan mengandalkan pihak yayasan yang sudah begitu baik.”



Reita tertegun mendengar ucapan laki-laki paruh baya itu. ia sebelumnya tidak pernah tahu jika orang yang ada di hadapannya saat ini memiliki seorang anak laki-laki yang sedang menderita sakit.



“Ah maaf, kalian jadi mendengar keluhan orang tua ini.” ucap laki-laki itu sambil mengulaskan senyumnya kembali. “Sudah hampir jam delapan. Sebaiknya kalian segera menuju kelas.”



Reita dan Uruha mengangguk bersamaan. Mereka pun akhirnya meninggalkan penjaga sekolah itu dan menuju kelas mereka.



~ ~ ~



Tiga hari setelah itu,

Reita sudah tidak pernah menemukan setangkai bunga matahari pun di lockernya dan ia terus memikirkan sesuatu.



“Tidak mungkin seperti itu Rei, kau dengar sendiri kan kalau anak itu sudah dirawat selama sebulan?! Mana mungkin dia keluar dari rumah sakit dengan kondisi lemah hanya untuk meletakkan setangkai bunga matahari di lockermu.”



Reita pun paham dengan ucapan Uruha itu, tapi ia masih saja terus berpikir seperti itu.



“Kenapa sekarang kau malah memusingkan hal itu? seharusnya kau senang karena tidak ada lagi orang iseng yang meletakkan setangkai bunga matahari di lockermu. Bukannya itu yang kau inginkan?!”



“Iya benar, tapi.. aku masih penasaran. Aku yakin pernah melihatnya.. tapi aku lupa. Lalu kenapa dia tidak meletakkan bunga matahari itu lagi?”



“Jawabannya sudah jelas. Kau ini bodoh Rei, anak itu pasti ketakutan dengan tindakanmu yang berlebihan waktu itu.”



Reita lagi-lagi membenarkan ucapan Uruha. Tindakannya memang berlebihan. Ia bersikap seolah-olah anak itu telah mencuri sesuatu darinya. Padahal ia tidak lebih hanya meletakkan setangkai bunga matahari yang entah mengapa akhir-akhir ini malah Reita rindukan kemunculannya. Wajah anak laki-laki itu juga terus terbayang di matanya. Wajah pucat dengan bibir mungil kemerahan, mata serta hidung yang sempurna. Seandainya ia bukan anak laki-laki, Reita pasti sudah menyebutnya sangat manis dan menggemaskan. Sekarang pun saat mengetahui anak itu adalah anak laki-laki, ia juga tidak keberatan mengatakan bahwa wajahnya sangat manis.



Lalu ia pun mengambil keputusan.



“Aku akan pergi melihat anak laki-laki matsumoto-san itu.” ucapnya pada Uruha.



“Untuk apa?” Tanya Uruha bingung.



“Hanya untuk membuktikan rasa penasaranku.”



~ ~ ~



Pukul empat sore,

Uruha akhirnya menemani Reita pergi ke rumah sakit, tempat dimana anak laki-laki Matsumoto-san dirawat.



Nyaris saja mereka berdua tidak diijinkan masuk, tapi Reita terus memaksa dan mengatakan pada perawat bahwa ia dan Uruha adalah sahabat karib dari orang yang ingin mereka jenguk. Dan perawat itu akhirnya memberi ijin.



Reita dan Uruha memasuki kamar itu. mereka sebenarnya alergi dengan suasana rumah sakit. Bau obat yang sangat menusuk menjadikan alasan tersendiri mengapa mereka sampai tidak suka dengan suasana rumah sakit.



Lalu Reita menatap tempat tidur itu. ada seseorang yang terbaring disana. Selang infus, oksigen dan segala peralatan medis memakunya di tempat tidur itu. Reita menatap lebih dekat kepadanya dan ia nyaris membelalakkan matanya. Itu memang dia. orang yang meletakkan bunga matahari di lockernya.



“Apa kau yakin?” Tanya Uruha seperti tidak percaya.



Wajar saja, karena Reita sendiri pun sebenarnya tidak percaya. Tubuh itu tampak sekarat dan rasanya meskipun hanya sedikit, tubuh itu tidak mungkin mampu berjalan.



“Tapi memang anak ini. aku sangat ingat wajahnya. Wajah ini yang aku lihat waktu itu.” Reita bersikeras. Tanpa mereka sadari, laki-laki paruh baya itu sudah berada di ruangan itu.



“Kalian?! Sedang apa disini?” Tanyanya bingung.



“Ah Matsumoto-san, kami hanya ingin mengunjungi putra anda.” Ucap Uruha sopan.



Laki-laki itu pun tersenyum. “Terima kasih. Kalau anakku tahu, dia pasti senang karena ada yang mengunjunginya. Sebenarnya dia juga ingin sekolah, tapi dengan kondisinya yang seperti ini rasanya sulit. Setiap harinya dia hanya bisa datang ke sekolah dan melihat kalian dari jauh sambil terus merawat bunga-bunga matahari di kebun belakang itu.”



“Ng.. Matsumoto-san.. apa dua minggu terakhir ini anak anda pergi dari rumah sakit dan datang ke sekolah pagi-pagi sekali?” Tanya Reita penasaran. Ia tidak bisa membendung rasa ingin tahunya.



Matsumoto-san tertawa kecil. “Tidak mungkin. Itu mustahil. Justru dua minggu ini keadaannya semakin memburuk. Sebelumnya dia masih bisa membuka mata dan berbicara, tapi sekarang dia hanya bisa tertidur seperti ini.”



~ ~ ~



Reita menggaruk-garuk kepalanya.



“Aaaakkh!! Aku yakin itu memang dia. aku menyentuhnya dan dia nyata.” Ucap Reita seperti orang yang sedang frustasi.



“Tapi kau lihat sendiri kan kalau anak itu sedang sekarat?!”



“Iya Uru, aku tahu itu.. tapi.. mungkin saja...”



“Mungkin saja apa? Kau mau bilang jika spirit anak itu yang datang dan meletakkan setangkai bunga matahari setiap harinya di lockermu begitu?!”



“Yah mungkin saja begitu.. tapi kau juga melihatnya kan?! Sosok anak itu?!!”



“Iya aku memang melihatnya, tapi yang melihat wajahnya hanya dirimu. Lagipula aku masih penasaran jika memang dia... menurutmu apa alasannya selalu meletakkan bunga matahari di lockermu?”



Reita mengangkat bahunya. “Aku juga penasaran dengan itu. Aku memang merasa pernah melihat anak itu, tapi aku rasa... aku tidak memiliki hubungan apapun dengannya.”



“Cobalah kau ingat-ingat.. mungkin saja kau pernah berbuat satu kebaikan yang selalu diingatnya dan membuatnya bersimpati kepadamu.”



Reita mengikuti saran Uruha. Ia pun mengingat-ingat apa pernah ia berbuat sesuatu hal yang bisa membuat spirit anak laki-laki itu datang untuk meletakkan setangkai bunga matahari setiap hari di locker sekolahnya..



Tapi semakin ia mengingat, semakin ia lupa sama sekali dengan itu semua. Dan kepalanya dipusingkan dengan hal itu.



“Hei, kau mau kemana Rei?” Tanya Uruha saat menatap kepergian Reita.



“Cari angin.” Ucap Reita datar.



~ ~ ~



Reita baru saja duduk beberapa menit di bangku taman itu saat seseorang datang menghampirinya.



“Kau suka menatap bunga itu?” Tanya orang itu.



Reita menoleh padanya. Ia ragu, namun akhirnya menjawab.



“Tadinya tidak terlalu suka, bahkan sempat membencinya. Tapi sekarang aku menyukainya.” Ucap Reita.



Laki-laki itu tersenyum. “Adikku entah mengapa sangat menyukainya. Dia bilang kalau bunga matahari itu melambangkan pengharapan. Bunga matahari selalu menatap ke arah datangnya sinar matahari, bunga itu selalu berharap pada matahari yang selalu memberinya kehidupan. Dan tanpa matahari itu.. mungkin dia akan segera menghadapi kematian.”



Reita sedikit tidak mengerti dengan ucapan laki-laki itu. Ia sendiri tidak kenal siapa dia.



“Kau Reita kan?!”



Reita terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu?”



“Dari adikku. Entahlah, sepertinya dia mengagumimu.”



“Adikmu? Siapa??”



“Taka-chan. Dia adikku. Kemarin aku melihatmu dan seorang temanmu yang lain mengunjunginya di rumah sakit.”



“Jadi anak itu adikmu?!” Tanya Reita seperti tidak yakin.



“Iya dia adikku. Mungkin kau tidak ingat, tapi kau pernah menolongnya saat beberapa orang memaksa ingin merebut sesuatu darinya. Setelah itu kau menggendongnya di punggungmu.”



Reita memutar ingatannya. Dan setelah cukup kepayahan, akhirnya ia mengingat juga kejadian itu.



Kejadian yang berlangsung di tahun pertamanya memasuki bangku SMA.



Saat pulang dari sekolah, Reita melihat segerombolan anak-anak SMA nakal bertampang preman yang mengelilingi seorang remaja laki-laki berwajah pucat yang sepertinya sedang menderita sakit.



Reita ingin mengacuhkan hal itu. Karena ia tidak mau mencampuri urusan orang lain, mencampuri sama saja dengan melibatkannya dalam masalah. Tapi entah kenapa ia malah menolong remaja itu dan akhirnya mendapat banyak luka di sekujur tubuhnya.



Dalam keadaan terluka seperti itu, Reita melihat remaja laki-laki yang ditolongnya. Wajah pucatnya menatap Reita dengan iba, lalu saat ia ingin memberikan sapu tangannya, ia malah jatuh berlutut sambil memegangi dadanya dan hidungnya tampak mengeluarkan darah. Reita memapah dan menggendong remaja laki-laki itu di punggungnya, lalu mengantarkannya pulang. Sesampai di rumahnya, remaja laki-laki itu langsung pingsan tak sadarkan diri. Reita hanya mendapat ucapan terima kasih dari wanita separuh baya yang sepertinya adalah ibu dari remaja laki-laki itu.



Hanya itu.



Reita tidak menganggap itu spesial,

Tapi sepertinya remaja itu menganggpnya begitu spesial.



“Taka-chan selalu mengingat kebaikanmu. Dan setelah itu, dia selalu ingin mencarimu untuk mengucapkan terima kasih. Tapi dia tidak pernah menemukanmu sampai pada suatu hari dia melihatmu di sekolah itu, tempat dimana ayah kami bekerja sebagai penjaga sekolah. Dia ingin mengucapkan terima kasih, tapi sayangnya dia tidak punya keberanian untuk itu. dia hanya terus bisa memandangmu seperti bunga matahari yang hanya bisa terus memandang mataharinya. Sekarang ini dia sudah cukup sekarat. Sebagai kakaknya, aku mungkin hanya bisa mengucapkan terima kasih padamu sebagai pengganti dirinya.”



“Apa adikmu tidak bisa diselamatkan?” Tanya Reita.



“Entahlah, mungkin saja masih bisa. Tapi biayanya akan sangat besar. Dia harus menjalani operasi dan mendapatkan donor jantung secepatnya. Jantung untuknya sudah tersedia, tapi kami tidak sanggup membayarnya. Bahkan dengan seluruh harta yang kami miliki sekalipun, kami tetap tidak bisa menebus jantung itu untuknya.”



Reita pun tampak iba. Lalu dengan terburu-buru ia pamit dari hadapan laki-laki yang duduk di sampingnya.



“Maaf, aku harus pergi. Dan kalau boleh... aku ingin meminta ijin untuk menjenguk adikmu sekali lagi.”



Laki-laki itu mengangguk. Dan tentu ia sangat senang dengan ucapan Reita itu.



~ ~ ~



Kali ini Reita hanya sendirian. Ia tidak ditemani Uruha. Bukan karena Uruha terlalu sibuk sampai tidak bisa menemaninya, tapi ia memang hanya ingin sendirian.



Reita kembali ke kamar perawatan remaja laki-laki yang ia ketahui bernama Matsumoto Takanori. Sebelum itu, ia sempat pergi ke kuil untuk berdoa dan menulis permohonan. Reita memohon agar remaja laki-laki yang terbaring sakit di hadapannya ini, bisa sekali lagi diberikan kesempatan untuk hidup.



“Aku ingin menjadi sahabatmu jika kau bisa terus hidup sampai berpuluh-puluh tahun mendatang.” Ucap Reita sambil memegang tangan dingin yang memucat itu.



Reita menatap wajahnya. Bahkan dalam keadaan sekarat seperti itu, wajahnya terlihat sangat manis dan membuat Reita ingin menyentuhnya.



Sedikit saja Reita menyentuh wajah mulus itu. ia ingin sedikit saja bisa mengalirkan kehangatan tangannya pada remaja laki-laki itu.



Setelah itu ia menggenggam tangannya dengan sangat erat. Ia ingin tangan dingin itu kembali hangat. Dan ia ingin sekali saja remaja laki-laki itu membuka mata dan melihat padanya. Bukankah itu yang ia inginkan selama ini. ia ingin selalu menatap mataharinya. Dan Reita merasa tersanjung karena remaja laki-laki yang begitu manis itu menganggapnya sebagai sang matahari.



Lalu entah bagaimana, tanpa Reita sadari, Reita sudah mengecup bibir mungil itu. bibir yang sangat lembut, bibir yang entah mengapa semakin ia kecup.. semakin ingin ia rasakan lebih dalam.



“Maaf ya.. aku sudah lancang melakukan ini padamu.” Ucap Reita lembut. “Kau bukan putri tidur, tapi aku berharap dengan ciuman kecil ini... kau bisa terbangun dari tidurmu...”



Reita tulus mengatakannya. Ia ingin perasaannya tersampaikan pada remaja laki-laki yang perlahan mulai ia sayangi itu. Reita mulai takut kehilangan dirinya, padahal sebelumnya ia belum banyak berinteraksi bahkan mengenal sosok itu.



Tapi Reita terus berharap..



Ia berharap.. Matsumoto Takanori bisa terbangun dari tidur panjangnya dan menemani hari-harinya.



~ ~ ~



Musim mulai memasuki dingin. Salju-salju mulai menumpuk dan membuat Reita enggan melangkahkan kakinya keluar rumah bahkan untuk pergi ke sekolah. Aktivitas sekolahnya semakin menumpuk mengingat tahun ini adalah tahun terakhirnya di SMA. Reita harus memutuskan ingin melanjutkan kemana, ia bingung dan akhirnya malah sempat berpikir untuk membentuk sebuah band bersama Uruha.



Sebuah keputusan yang bisa dibilang bodoh. Di Jepang setiap tahunnya selalu bermunculan band-band baru yang belum tentu akan menemui kesuksusen. Misalkan band itu bertahan sekalipun, kemunculannya tidak akan lebih diakui daripada sekumpulan remaja-remaja yang menari dan menyanyi di sebuah panggung hiburan seni.



Reita ingin bertaruh dengan itu semua. apalagi ia yakin kalau bersama Uru semuanya akan menjadi lebih mudah. Uruha tentu saja aset yang bisa menarik massa dan rasanya itu sudah cukup menjadi modal utama.



Reita berjalan menuju kelasnya dengan langkah gontai. Ia seperti tidak memperhatikan sekelilingnya, termasuk saat ia mulai menabrak seseorang di hadapannya.



“Ah maaf.” Ucap orang itu dengan suara yang cukup khas.



Reita menengadahkan wajah dan menatapnya. Lalu seketika itu juga ia menjadi terkejut.



“Kau Takanori kan?!”



Orang itu lalu cepat-cepat menundukkan wajahnya dengan malu-malu. “Ba- bagaimana kau tahu..”



“Hah jadi benar?!!! Kau sudah sembuh rupanya.. aku senang sekali melihatmu lagi Takanori..”



“La- lagi? Maksudmu..”



“Kau lupa ya... aku kan yang waktu itu menolongmu dari bocah-bocah preman dan menggendongmu sampai ke rumah.”



Orang yang tidak lain adalah Takanori itu memberanikan diri untuk menatap Reita. “Jadi kau masih ingat dengan itu..”



“Ng.. ya tentu saja..” Reita berbohong. Sebenarnya ia lupa dan baru mengingatnya setelah kakak dari Takanori itu membuatnya teringat dengan kejadian itu. “Kau anak paman Matsumoto kan?!! Aku tahu dari ayahmu kalau kau sakit. Bahkan aku sempat beberapa kali mengunjungimu di rumah sakit.” Ucap Reita antusias.



“Benarkah?!” Tanya Takanori seperti tidak percaya.



“Iya, aku bahkan sudah menciu..”



Reita buru-buru menghentikan kalimatnya.



“Menci apa??” Tanya Takanori bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya



Reita buru-buru mengalihkannya. “Ah bukan apa-apa. Sudah lupakan saja.. oh ya.. kalau kau punya waktu.. bagaimana kalau sekarang kita ngobrol-ngobrol.”



“Tapi bukannya ini kita sudah ngobrol-ngobrol?!!”



“Iya maksudku.. ah apa kau salah satu siswa disini?” Tanya Reita saat menatap seragam Takanori.



“Iya, aku baru masuk hari ini. sebelumnya aku hampir tidak bisa bersekolah karena sakit. Untungnya ada orang dermawan yang mau membiayai operasi jantungku. Dan sekarang aku sudah sehat dan bisa bersekolah lagi.”



Reita tampak menarik nafas lega. “Syukurlah... ternyata doaku terkabul.”



“Doa?? Kau berdoa apa??”



“Ah bukan apa-apa.” Lagi-lagi Reita berusaha mengalihkan pembicaran. “Ah Uruha, wooi Uru..” Reita memanggil temannya itu saat ia ingin pergi ke ruang kelasnya.



“Kau disini Rei?! Sedang apa??”



“Lihat siapa ini Uru.. ini anak paman Matsumoto. Sekarang dia sudah sembuh.”



Uruha menatap orang yang bersama Reita. Sesaat ia juga sangat terkejut. Tidak percaya bisa melihat tubuh yang sebelumnya terbaring sekarat itu bisa berdiri di hadapannya saat ini. “Wah.. kau ternyata sudah sembuh ya..” hanya itu kalimat garing yang bisa Uruha katakan.



“I- iya.. maaf.. tapi bagaimana kalian bisa.. mengenalku seperti ini?”



Reita dan Uruha saling tersenyum.



“Kalau kau tidak iseng meletakkan sun flowers di locker laki-laki berhidung pesek ini, mungkin kami tidak akan pernah berusaha untuk mengenalmu.”



Reita menyikut perut Uruha saat teman laki-lakinya itu berkata seperti itu.



“Ma- maksud kalian apa? Seingatku.. aku tidak pernah meletakkan sun flowers di locker siapa pun..”



“Ah sudahlah Takanori.. Uruha ini memang sering mengigau. Kau tidak usah memikirkan ucapannya. Oh ya.. kau di kelas berapa?”



“2 D.” Jawab Takanori singkat.



“Berarti kau adik kelas kami. Wah, selamat menempuh kehidupan membosankan di sekolah ini Takanori...” Reita menepuk punggung teman kecilnya itu dengan lagak sok akrab.



“Iya arigatou..” ada perasaan lega saat ia mengucapkan itu. sudah sejak lama ia ingin mengucapkan kata singkat itu pada laki-laki yang ada di hadapannya.



“Ng.. maaf.. apa aku boleh memanggilmu Reita saja?” Tanyanya dengan ragu-ragu.



“Yah tentu.. aku juga akan merasa lebih nyaman mendengarmu memanggilku begitu..”



“Kalau begitu.. panggil aku Ruki saja.. rasanya panggilan Takanori itu terlalu panjang untukku.”



“Kau juga merasa begitu?!! Hahaa.. aku juga sebenarnya tidak terlalu suka memanggilmu Takanori. Ya sudah Ruki-chan.. hajimemashite.. kalau kau butuh sesuatu.. aku siap membantumu.”



“Doumo Arigatou.. Reita-kun...” Ruki membungkuk dalam seraya tersenyum kearahnya.



Dan rasanya, hari yang dingin ini menjadi sangat hangat bagi Reita berkat pertemuannya dengan Ruki.



Sun flowers mungilnya itu akan terus hidup... karena Reita akan terus menyiraminya dengan cahaya.



Sekarang.. jangan hanya sekedar menatapku Ruki..

Sampaikanlah perasaanmu.. karena mataharimu ini akan selalu mendengar dan melindungimu...



Sun Flowers ~Finish~



Comment please...

0 komentar:

Posting Komentar