muddy cult #5


Title: muddy cult
Author: -Keka-
Chapter: 5
Fandom: Nega
Genre: Angst, Thriller,-- (???)
Rating: R
Note: Chapter sebelumnya ada disini


--chapter 5--




Dahulu semua terasa berwarna. Hidup kami terasa indah dengan ribuan warna yang bahkan kami tak tahu apa namanya. Merah.. jingga.. kuning.. hijau.. biru.. nila.. ungu...

Yah pelangi...

Hidup kami berwarna serupa lengkungan pelangi yang terbentuk indah kala murungnya kelabu awan meneteskan titik demi titik kesejukan yang kembali memberi hidup pada gersangnya bumi, membiaskan cahaya di balik muramnya mendung yang membungkus sang mentari, dan menggantinya dengan laras indah bilur warna-warni.

Kami melukisi hari-hari dengan berjuta warna, membentuk segala sesuatunya sedemikian rupa, hingga kami tak lagi merasa betapa kosongnya dinding hidup kami.

Namun lukisan kami rusak begitu saja.

Tangan-tangan kotor tidak berperasaan melemparinya dengan lumpur-lumpur berbau busuk dan menodainya dengan banyak cipratan merah. Merah yang mereka dapat dari merajam tubuh kami.

Kami terus mengingatnya..

Mengingat saat mereka menampar wajah polos kami, menginjak perut kami yang kosong tanpa segumpal kecil nasi, merantai kami laksana anjing, dan mengukir kulit tubuh kami dengan pahatan keji.

Apa mereka tak pernah berpikir bahwa kami manusia...

Jiwa dan tubuh kami tak selalu kecil seperti itu..

Tekanan menyakitkan membuat kami tak lagi manusiawi. Mereka yang membuat kami begini..

Bukan salah kami...



Bukan salah kami saat kami membuat mereka tak lagi menghirup udara kehidupan, mengkoyak-koyak dan membuat tubuh-tubuh mereka tak lagi menyatu sebagai satu kesatuan, melainkan tercerai berai menjadi beberapa potongan.

Bukan salah kami...

Seharusnya kalian tahu itu bukan salah kami...

==o0o==

Tatapan dan sikap San mendadak lain terhadap Jin. Pemuda itu seperti menjaga jarak dari Jin yang tidak mengerti ada apa dan mengapa San bersikap seperti itu?

Aneh..

Jin merasa San berubah aneh dan ia sama sekali tidak mengerti dengan perubahan itu. San bahkan memintanya untuk pergi tanpa Jin tahu apa alasannya.

Baru saja ia ingin bertanya kenapa dan berusaha mengambil jarak yang tidak terlalu jauh darinya, namun San sudah mengangkat kedua tangannya seperti memberi pengertian kepada Jin agar jangan mendekat padanya.

"Tidak ada apa-apa, Jin. Aku hanya merasa lebih baik dan tidak perlu lagi kau temani. Aku mohon... pergilah kau dari sini... kembali saja ke tempatmu dan jangan pernah berpikir untuk mendekatiku. Setidaknya sampai aku mampu berpikir dengan lebih baik dan kembali bisa menerimamu di sisiku."

==o0o==

Jin membuka mata dan tersadar pada tempat yang ingin ia lupakan keberadaannya. Penerangan yang buruk membuat matanya harus bekerja ekstra keras, terlebih saat serangan bertubi menghantam bagian belakang kepalanya hingga tak pelak membuat pandangannya kabur seketika.

Ada orang lain yang bersamanya. Bukan satu atau dua, melainkan lebih dari itu. Ia tak mampu melihat dengan jelas, namun mereka tampak tidak setara dengan dirinya. Besar dan menakutkan.

Entah darimana perasaan takut itu datang, Jin tidak ingin merasakannya dan berusaha menutupi itu semua dengan ketegaran, meski kenyataan membuatnya ingin menangis, berteriak dan meminta pertolongan.

Salah seorang dari mereka kembali menghantamkan balok kayu berukuran cukup besar pada punggungnya saat ia berusaha bangkit dan ingin menopang tubuhnya dengan kedua kakinya yang juga terluka.

"Bunuh saja anak terkutuk ini!! Kehadirannya sama sekali tidak memberi kita keuntungan!!"

"Tunggu!! Jangan semudah itu menghabisi nyawanya!! Siapa bilang anak ini tidak memberi kita keuntungan?! Lihat dia, kak. Bocah ini memiliki wajah yang sangat baik. Berulang kali kita menghajarnya, tapi ketampanan wajahnya tidak juga berkurang. Bahkan dia terlihat cantik dengan bibirnya yang merah itu. Aku benci sekali melihatnya!! Kenapa kita tidak memiliki wajah setampan dia?!"

"Bodoh kau!!! Wajah ini adalah wajah turunan dari seorang pendosa!!"

Sekali lagi Jin merasakan tamparan berulang pada kedua pipinya. "Anak pelacur!! Ibunya adalah pelacur sialan yang seenaknya tidur dengan ayah-ayah kita!! Wajah tampan ini adalah dosa!! Hei kau dengar bocah sialan!! Ayo balas kami jika kau memang bisa!!"

Salah seorang pria berperawakan besar di hadapannya, mencengkram kerah baju lusuhnya, dan membuat Jin tak mampu bersuara bahkan untuk sekedar mencuri sedikit udara.

"Aku tidak akan puas jika tidak membuatnya menangis! Ayo menangis anak manis!! Dengarkan kakak-kakakmu ini!! Adik tiri brengsek!! Seharusnya kau mati saja bersama ayahmu yang memilih mengakhiri hidup di depan matamu!! Kenapa tidak kau gorok saja sekalian lehermu saat itu hingga kau tak perlu menerima penyiksaan kami begini hah?!! Jawab!! Ayo JAWAB!!!"

Jin tidak menjawab. Ia sendiri bingung dengan ucapan itu. Ia tak mampu menangkap apa maksud dibalik semua ucapan itu. Mengapa ia yang dipersalahkan? Mengapa ia yang harus menerima rasa sakitnya... dan mengapa ia yang harus menjadi tumbalnya...?

Jin hanya mampu diam, termasuk saat beberapa orang diantara mereka kembali menyeretnya. Memasukkannya ke dalam bak mandi, dan menenggelamkannya dalam kubikan air. Jin meronta dengan ketidakberdayaan. Ia diam saja lebih karena sebuah kepercayaan.

Ia percaya jika keterdiaman itu akan membuat orang-orang yang mengaku sebagai kerabatnya akan menghentikan penyiksaan mereka terhadapnya.

Namun ternyata keterdiamannya sama sekali tidak berguna. Ia kembali merasakan rasa sakit itu. Rasa sakit yang membuatnya berpikir bahwa kematian jauh lebih indah.

"Jangan sampai mati begitu saja!! Tidak menarik membuatnya tidak merasakan kekejaman lain yang ada di dunia. Lucuti pakaiannya!"

Tangan-tangan kejam itu menariknya keluar dari kubikan air yang nyaris merusak syaraf otaknya, merobek pakaian lusuh yang ia dapat dari sedikit rasa belas kasih mereka, meski Jin tahu pakaian itu tidak lebih dari sebuah hinaan padanya.

Tubuhnya kurus tentu saja. Tidak ada cukup makanan layak yang ia terima untuk sekedar membuat perutnya sedikit memiliki cadangan lemak. Namun ia tahu bahwa mata-mata itu terpesona oleh rupa indahnya. Yah tentu saja tidak ada satupun yang mampu menyangkalnya. Jin lahir dengan anugerah wajah yang indah. Menggemaskan seperti bocah wanita.

Ia ingat betapa seringnya wanita yang ia sebut sebagai ibu, memakaikannya pakaian yang lebih cocok untuk bocah wanita. Namun seiring bertambahnya usia, Jin tumbuh menjadi bocah dengan rupa tampan yang sempurna dan membuat iri saudara-saudara tirinya.

Ayah kandungnya meninggal bunuh diri di hadapannya karena rasa sakit pada ibunya yang memilih menikah dengan pria yang lebih kaya. Jin akan baik-baik saja seandainya wanita itu tidak membawanya tinggal serta bersama keluarga dari suami barunya.

Mereka tidak menyukai Jin tentu saja. Terlebih karena mereka menganggap Jin adalah anak pelacur yang tidur dengan ayah-ayah dari orang yang kini kerap menyiksanya.

"Ibu-ibu kami menderita karena ulah ibumu yang murahan itu!! Beruntung sekali jasad ibumu habis terbakar dalam kecelakaan! Seharusnya kau ikut saja bersamanya!! Mengapa masih saja kau hidup?!!"

Jin menggeleng dan menunjukkan penyesalannya. Ia tidak tahu. Ia sendiri selalu menanyakan hal yang sama seperti itu.

Mengapa ia masih hidup bila nyatanya tak seorang pun yang menginginkan keberadaannya.

Tubuhnya dicampakkan begitu saja di atas keras dan dinginnya ubin kamar mandi. Jin tidak tahu lagi apa yang akan diterimanya kali ini. Berapa kali lagi pukulan keras yang akan mendarat pada wajah dan tubuhnya? Berapa banyak cabikan yang akan diterimanya? Tidak cukupkah hanya satu, dua atau bahkan lima?!

Tidak.

Saat ini ia tidak hanya menerima pukulan, cambukan, cakaran dan sayatan pada tubuhnya, melainkan lebih dari itu.

Kakak-kakak tirinya yang kejam telah mempecundangi tubuhnya secara bergantian. Memaksa masuk bagian laknat dari tubuh mereka ke dalam tubuhnya. Menyisakan rasa sakit dan jeritan yang sudah tidak mampu lagi ia tahan. Jin menjerit kesakitan meski ia tahu itu membuat kakak-kakak tirinya besar kepala karena rasa senang dan kepuasaan karena berhasil menarik sisi cengeng dan lemah dari dirinya.

Jin mengejang dengan perasaan yang tidak tergambarkan. Darah tidak hanya mengucur dari dahi yang sebelumnya telah mereka hantamkan pada ubin lantai, melainkan juga dari bagian lain tubuhnya. Beberapa kukunya patah dan terkoyak tercabut dari jemari tangannya karena ia mencakar-cakar ubin lantai sebagai efek dari pelampiasan rasa sakit yang ia terima selama saudara-saudara tirinya sibuk mempecundangi tubuhnya.

"Ingatlah ini adik kami yang manis!! Ingatlah bagaimana rasanya!! Kami akan buat dirimu tumbuh dewasa tanpa nafsu terhadap wanita!! Ayo rasakan!! Rasakan bagaimana milik kami menghujam tubuhmu!! Mati saja tak akan kami ijinkan bila kau sungguh memberi kami kesenangan seperti ini!! Bagus!! Ayo menjerit saja!! Lebih keras lagi!!!"

Meski tak mendengar atau sengaja mengabaikan perintah itu, namun Jin tetap saja berteriak kesakitan. Sesak yang ia terima di bagian bawah tubuhnya bercampur dengan rasa sakit seperti batang tombak yang mengikir duburnya.

Sesuatu yang sangat ingin ia lupakan meski naas hal itu kembali teringat melalui mimpi-mimpi dalam tidur panjangnya.

Jin terjaga pada malam hari dengan peluh yang membasahi kening hingga sekujur tubuhnya. Kemeja tidurnya kebas dan membuatnya berpikir ingin mandi dan berganti pakaian, meski ia mendapati sekelilingnya begitu berbeda.

Ia tidak tidur di dalam kamarnya, melainkan di kamar lain yang tidak ia ketahui milik siapa.

Jin baru saja ingin mencari tahu hal itu saat sosok itu muncul di hadapannya.

Sosok dari pria yang belakangan ini selalu memenuhi ruang pikirnya.

~ ~ ~

t. b. Kontiyut~

0 komentar:

Posting Komentar