muddy cult #1

Title: muddy cult
Author: -Keka-
Chapter: 1
Fandom: Nega
Genre: Angst, Thriller,-- (???)
Rating: R
Warning: explicit nudity, extreme violence, too much blood, etc


~ ~ ~



Kegelapan malam yang begitu pekat, sunyi, hampa, dan terasa begitu asing bahkan jauh dari peradaban dunia. Apa masih ada sosok yang terjaga malam ini? dimana? Mengapakah tak terlihat seorang pun juga?

Ia hanya seorang diri, menelusuri lorong panjang yang seolah tak memiliki ujung. Kapan sampainya? Dimana tujuannya? Apa yang ia cari? Ataukah ia hanya tersesat, tak tahu arah dan terasing seorang diri?

Sampai pada suatu ketika, langkah-langkah mengendap terdengar di telinganya. Tidak terlalu jelas. Apakah mengikutinya di belakang, di samping ataukah di hadapannya?

Ia menolehkan pandangan kesana kemari. Tidak ada siapa pun disana. Sama seperti sebelumnya, hanya kesunyian.

Dan pikirannya kosong. Tak ada seberkas memori membekas yang mengingatkannya akan lorong itu, lorong panjang yang tak berujung dan keremangan yang menyamarkan pandangannya.

Ia menghela nafas panjang, kembali membalik badan dan meniatkan diri untuk terus menelusuri lorong itu sampai ia temukan jalan keluar yang akan membawanya kembali pada tempat yang ia ketahui.

Namun niat itu hanyalah seperti kepulan asap yang akan segera hilang saat hembusan angin kencang membuyarkannya.

Ia terkejut kala 3 pasang mata di balik wajah berpenutup aneh itu menatapnya keji, berhasrat, seperti ingin menelanjangi tubuhnya, menyayat kulit mulusnya, merobek perutnya, dan melihat apa saja yang ada di dalamnya, serta mengeluarkannya, lalu melemparkan isi perutnya ke dalam kolam yang penuh berisi piranha-piranha kecil mungil bergigi gergaji.

Ah~ itu berlebihan. Pikiran kalut yang memaksanya berpikir sejauh itu. tidak mungkin seperti itu.

Ia berusaha membuang jauh pikirannya. Terus melangkahkan kakinya maju ke depan. Mengedepankan sisi positif bahwa tidak akan terjadi apa-apa jika ia melewati 3 pasang mata berpenutup wajah aneh dengan tubuh tertutup jubah hitam itu.

Meskipun demikian, setenang apapun ia berusaha, jantungnya tetap saja memompa darah dengan lebih cepat hingga ia merasakan desiran darahnya mengalir begitu cepat ke seluruh tubuhnya. Membuat wajahnya menjadi lebih hangat, namun bagian yang lain terutama telapak tangan dan kakinya menjadi sangat dingin. Nafasnya memburu, berusaha teratur namun tetap sesak. Ia tidak mampu bernafas dengan baik saat melewati 3 orang itu. terlebih saat ia menyadari ada seseorang yang menyentuhnya.

Bukan.
Bukan seseorang melainkan ketiga orang itu.

Dua diantara mereka memegangi masing-masing tangan kiri dan kanannya. Lalu seorang yang lain berdiri di hadapannya, mengeluarkan sesuatu yang kemudian dipakai untuk membekap mulut dan hidungnya. Aroma menusuk masuk ke dalam indera penciumannya, membuat kepalanya seolah berputar, terseret masuk ke dalam dunia bawah sadar. Ia meronta berusaha melepaskan diri dari tekanan yang membuatnya sangat tidak nyaman. Dan diantara perasaan setengah tidak sadar itu, seseorang di hadapannya mengeluarkan kain berwarna hitam pekat lalu membuatnya tenggelam dalam kubangan kegelapan.



~ ~ ~

Apakah ia gila?
Ataukah seseorang yang sangat berbahaya hingga mereka harus mengurungnya, merantai dan memasungnya seperti orang yang betul-betul hina??

Tak ada cahaya kesedihan dalam sorot matanya, hanya tatapan nanar. Sorot pandang yang tak terbaca. Apakah ia membenci posisinya? Ataukah hanya ingin mengutuk manusia kotor tak berperasaan yang membuatnya jadi seperti itu..

Terantai besi dan tak sanggup melarikan diri.

Ia menatap lurus ke depan. Melemparkan pandangan mengutuk pada siapa saja. Tatapan yang seolah berkata...

Lepaskan aku...
Biarkan aku mencungkil matamu!!

Begitu tajam dan menusuk seperti sebilah pisau yang sanggup menorehkan sayatan begitu dalam meski kau tak memberi tekanan yang cukup berarti.

Tamparan keras mendarat di kedua pipinya. Membuatnya merasakan perih yang sangat. Bau anyir tercium saat cairan kental mengalir dari sudut bibirnya,

Sakit.
Sungguh...

Tapi ia tidak merasakan itu. setidaknya ia mencoba mengubur perasaan sakit itu dan membayangkan dirinya meneguk segelas wine yang memabukkan hingga membuatnya terbang melayang.

Lidahnya terjulur keluar, ia menjilat darahnya sendiri. Tidak manis, hanya terasa amis dan masam, namun cukup lezat untuk membuatnya ingin terus merasakan cairan itu.

Ia menggigit bibir bawahnya sendiri, sedemikian rupa hingga ia bisa merasakan darah yang segar semakin mengalir deras di dalam rongga mulutnya. Ia terus menghisapnya, menikmati segalanya, merasakan sensasi tidak wajar saat perih menghujamnya dan cairan yang masam itu menegak masuk ke dalam kerongkongannya.

~ ~ ~

Matahari sudah condong ke barat saat pria itu menapakkan kakinya masuk ke dalam cafe kecil yang nampak sunyi. Hanya ada 1 pengunjung disana, seorang pria dengan sebelah mata yang tertutup oleh helaian rambutnya. Pria itu hanya dihadapkan pada segelas minuman dan sebilah pisau yang ia mainkan. Mengelus salah satu sisinya yang berkilauan tajam, lalu mengelus satu sisinya yang lain dan terus begitu hingga beberapa saat.

“Hei Jin, kau sudah datang rupanya.” Sesosok pria dengan penampilan yang cukup feminis tampak menyapa pria lain yang ia sapa dengan panggilan Jin.

Jin, pria itu mengangguk. “Baru saja, SAN. Maaf aku terlambat dari waktu yang aku janjikan.” Ucapnya pada pria berambut biru yang ia panggil dengan nama SAN.

SAN menatap Jin yang sepertinya tidak fokus berbicara dengannya. Ada hal lain yang diperhatikannya. Dan hal lain itu adalah pria di sudut cafe yang duduk sendiri sembari memainkan pisaunya.

“Ada yang salah, Jin?”

Jin menggeleng. “Tidak. hanya saja sepertinya aku pernah melihat laki-laki yang duduk di sudut sana.”

“Maksudmu Ray?”

“Ah.”
Hanya itu yang keluar dari bibir Jin, ia tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Iya, namanya Ray. Dia pengunjung tetap cafe ini. Tingkahnya memang sedikit aneh.”

“Sedikit kau bilang?! Apa kau tidak takut melihat orang yang memainkan sebilah pisau di cafemu?” Tanya Jin pada SAN dengan suara lebih pelan.

SAN menggeleng. “Dia tidak jahat. Meskipun jarang bersuara, tapi aku tahu dia tidak akan menyakiti siapapun dengan pisau itu.”

Jin kembali mengarahkan tatapan matanya pada pria itu, namun naas baginya karena tatapannya kali ini tertangkap oleh mata pria itu. Ray, begitu SAN menyebutnya, juga menatapnya. Cepat-cepat Jin menarik diri dan menatap hal yang lain.

Saat itu SAN pergi sejenak dan kembali dengan segelas minuman dingin yang diberikannya pada Jin.

“Minumlah ini, tidak usah kau bayar.” Ucapnya dengan senyum ramah.

Jin mengangguk kecil, lalu mengangkat gelas dan menyentuhkan bibir gelas itu pada bibirnya sendiri. Cairan segar yang terasa cukup manis mengalir masuk melewati bibir dan terus meluncur hingga kerongkongannya. Cukup beberapa teguk ia menegaknya, Jin sudah menghentikan hal itu lalu meletakkan gelasnya dan kembali menatap SAN.

“Kau ingin minta bantuan apa dariku?” Tanya Jin tanpa berbelit-belit karena memang itulah tujuannya datang menemui SAN.

SAN tampak menghela nafas sebelum akhirnya menghembuskan nafas itu dengan lebih berat.

“Ini tentang Yu.” Ucapnya kemudian.

“Yu? Memangnya ada apa lagi dengannya?”

“Dia sakit. Kau tahu itu kan?!”

Jin mengangguk singkat. “Tapi apa yang bisa kulakukan?” Tanyanya sedikit bingung.

“Tidak ada, Jin. Aku hanya ingin memintamu menemaniku untuk menjenguknya.”

Jin semakin tidak mengerti. “Kau selalu melakukannya seorang diri kan... maksudku.. Yu tidak mungkin menyakitimu, jadi kau tidak perlu memintaku untuk menemanimu menjenguknya. Bukannya aku tidak mau, hanya saja aku merasa aneh karena tiba-tiba kau..”

“Memang biasanya seperti itu. Tapi akhir-akhir ini Yu...”

SAN tidak melanjutkan ucapannya dan hanya menaikkan lengan bajunya yang panjang lalu menunjukkan bagian dalam tangannya.

Ada luka guratan panjang yang cukup dalam tertoreh disana.

“Yu yang melakukan ini padaku. Dia menyakitiku.”

~ ~ ~

Ruang gelap berdinding kokoh, tanpa ventilasi udara yang memadai dan kerangkeng-kerangkeng besi yang kaku mengurung seseorang seperti ingin membusukkannya disana.

“Kenapa Yu ditempatkan di tempat seperti ini?” Tanya Jin saat mengikuti SAN di sebuah lorong ruang-ruang isolasi rumah sakit jiwa. Banyak pasien yang menjerit disana, meneriakkan kalimat-kalimat yang bahkan tidak senonoh dan membuat bergidik sekaligus sanggup membuat orang waras sekalipun menjadi sakit jiwa jika terus-terusan berada di tempat seperti itu.

“Dokter yang mengharuskannya, walaupun sebenarnya aku tidak setuju.” SAN terlihat sedih sekaligus merasa tidak nyaman dengan sekelilingnya. Pantas saja ia meminta Jin untuk menemaninya. Meskipun beberapa pengawas rumah sakit jiwa turut serta, namun rasanya itu belum cukup jika tidak ada seseorang yang kita kenal baik berada di samping kita saat memasuki tempat yang cukup menyeramkan seperti itu.

Tampak salah seorang pengawas dengan pakaian serba putih mengeluarkan rentengan kunci yang tampaknya cukup berat. Entah berapa jumlahnya, bahkan pengawas itu sendiri pun tidak ingat jelas mana kunci yang harus ia pakai untuk membuka gembok ruang isolasi yang ada di hadapannya. Berulang kali ia salah memasukkan kunci dan barulah setelah memasukkan kunci ke empat, ruang isolasi itu bisa terbuka.

Keadaan di dalamnya cukup gelap. menurut SAN, Yu yang menempati ruang itu tidak terlalu suka dengan cahaya dan akan mengamuk hebat jika ada cahaya menyilaukan yang menyorot matanya.

Ragu-ragu SAN melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang isolasi itu, ada kesan ketakutan yang ditangkap Jin dari diri SAN. Hal itu terasa dari genggaman erat tangan SAN pada lengan Jin, seolah SAN tidak mengijinkan Jin menjauh sedikit pun darinya.

“Jangan terlalu mendekatinya dan sebaiknya kalian tidak memancing emosinya.” Ucap seorang perawat laki-laki sebelum ia dan beberapa perawat lainnya serta pengawas ruang meninggalkan SAN dan Jin bertiga dengan Yu yang tampak menerawang sesuatu dengan sorot mata kosong.

Yu dalam keadaan tidak bisa bergerak saat itu. Kedua tangan serta tubuhnya dililit oleh kain putih dan kakinya dalam keadaan terborgol. Jin berpikir itu terlalu gila. Apa seseorang tidak akan bertambah gila jika diperlakukan seperti itu?!

SAN memberanikan diri mendekati Yu. Tangannya bergetar saat ia mencoba untuk menyentuh pemuda itu.

“Kau baik-baik saja Yu?” Tanyanya.

Tampak sekilas Yu terlihat menggeleng. “Kau ini gila SAN?! Apa kau tidak lihat keadaanku yang seperti ini? Mereka pikir aku ini anjing, dasar keparat bangsat!!”

SAN menundukkan wajahnya. “Maafkan aku.. gara-gara aku.. kau harus seperti ini..”

“Bukan salahmu. Mereka yang salah.. mereka pikir aku ini orang gila. Mereka itu yang gila!! Aku bersumpah akan meludahi potongan tubuh mereka suatu saat kelak, lalu kulemparkan potongan tubuh mereka pada anjing yang kelaparan.”

“Jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Kau tahu itu akan semakin menyulitkanmu.. a- aku tidak mau melihatmu terus-terusan berada di tempat seperti ini..”

“Kalau begitu bebaskan aku sekarang!! Aku ingin keluar dari tempat ini!! Aku ingin bergabung dengannya..”

“Dengannya siapa yang kau maksud itu? Aku selalu mendengarmu mengucapkan sesuatu tentang dia, tapi aku tidak tahu siapa dia.”

“Kau itu naif sekali SAN. Bagaimana mungkin kau melupakan dia?!”

SAN terlihat bingung dan akhirnya malah mengalihkan pembicaraan.
“Yu, lihatlah. Aku datang bersama Jin. Kau ingat dia kan?!”

Pemuda itu mengalihkan pandangannya, menatap Jin yang saat ini mulai melangkahkan kakinya mendekat pada SAN. Ada seringaian kecil di wajah Yu saat melihat Jin. Entah apa yang dipikirkannya. Namun Jin sedikit terganggu dengan tatapan dan senyum menyeringai dari Yu itu. Entahlah, tapi sepertinya Yu senang sekali melihatnya. Padahal seingat Jin, ia tidak pernah bertemu muka dengan pemuda itu. Jin hanya mendengar cerita tentang Yu dari SAN, dan menurut SAN, ia juga sering menceritakan dirinya pada Yu hingga Yu tertarik untuk bertemu dengannya.

“Dia itu yang sering kau ceritakan padaku kan?!” Tanya Yu dengan tatapan yang masih lekat mengarah pada Jin.

SAN mengangguk lalu menarik tangan Jin agar lebih mendekat padanya dan Yu. “Jin banyak membantuku selama ini.”

“Begitu ya...” Seringaian itu lagi-lagi mengembang. Dan kali ini jauh lebih sempurna. Jin merasa saat ini Yu memikirkan sesuatu yang lain tentang dirinya. Dan ia tidak tahu apa itu. Baginya, Yu tidak terlihat seperti orang gila. Justru sangat waras meskipun ada sesuatu yang aneh padanya.

~ ~ ~

“Sejak kapan dia seperti itu?”
Itu hal pertama yang dilontarkan Jin setelah meninggalkan ruang isolasi tempat dimana Yu dikurung.

SAN ragu-ragu menjawab. “Aku tidak ingat jelas, kecelakaan itu membuatku kehilangan separuh dari ingatanku. Aku hanya mengingat Yu dan begitu sadar, ternyata Yu telah dijebloskan ke dalam rumah sakit jiwa.”

“Tapi sepertinya dia tidak gila.”

“Iya kau benar. Tapi menurut dokter, Yu mengalami gangguan mental yang sangat serius. Bukannya aku senang, tapi aku cukup bersyukur karena Yu akhirnya di rawat di rumah sakit jiwa daripada harus mendekam di penjara.”

“Tapi dengan keadaannya yang seperti sekarang, bukannya penjara jauh lebih baik untuknya?”

SAN menghentikan langkahnya dan memilih diam untuk beberapa saat sampai akhirnya ia kembali bersuara.

“Kau benar Jin. Keadaannya yang sekarang bahkan jauh lebih buruk daripada dipenjara. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Yu sering menyakiti dirinya sendiri jika tidak diperlakukan seperti itu. Beberapa waktu yang lalu entah bagaimana caranya dia berhasil mencuri banyak obat-obatan jenis morfin dan jarum suntik. Dia gunakan itu semua untuk menyiksa diri. Dia bahkan berhasil menyembunyikan pisau dari pengawasan para dokter dan suster. Pisau itu yang dia pakai untuk melukaiku dan melukai beberapa suster wanita. Karena itulah sekarang Yu diisolir dan diawasi dengan sangat ketat. Sepertinya masih jauh harapanku untuk bisa membawanya pulang ke rumah.”

Jin menepuk pundak SAN pelan. “Sabarlah, aku yakin tidak akan lama lagi Yu akan sembuh dan keluar dari rumah sakit jiwa itu.” Senyum kaku Jin tertoreh di wajahnya. Saat ini ia tidak tahu bagaimana cara yang lebih baik untuk menghibur SAN. Apa cukup dengan hanya memintanya untuk bersabar? Meskipun tidak cukup, namun sepertinya SAN sudah menganggap itu sebagai dorongan yang bisa membuatnya tersenyum.

~ ~ ~

Malam sudah sangat larut saat langkahnya mendaki jalan menanjak yang menuju petakan kecil rumah kontrakannya. Jin tidak menyangka praktik pembedahan anatomi tubuh itu memakan waktu hingga berjam-jam. Tidak bisa dikatakan menyenangkan saat dirimu harus membedah tubuh manusia mati dan melihat apa saja yang bisa kau lakukan pada organ dalamnya. Tapi itulah resiko yang harus didapatnya karena ia memutuskan menjadi seorang surgeon. Entah mengapa ia memilih jalan itu, padahal awalnya ia hanya ingin menjadi dokter hewan saja. Namun, tawaran beasiswa yang begitu menggiurkan itu tidak bisa ia tolak begitu saja. Dan pilihannya adalah menjadi seorang surgeon.

Menurut orang-orang, ia sangat cocok dalam bidang itu karena tidak memiliki perasaan ngeri jika harus berhadapan dengan darah. Tapi apa mereka tahu bahwa sebenarnya Jin hanya berpura-pura. Ia tidak suka cairan itu karena itu membuatnya mual dan ingin muntah, terutama karena aroma anyir dan amisnya yang begitu pekat. Tapi belakangan ini ia sepertinya sudah mulai bisa beradaptasi dan menikmati aktivitasnya sebagai mahasiswa kedokteran divisi bedah.

Jin membuka pintu rumah kontrakannya yang tampak gelap gulita, lalu menutup pintu rumah itu dan berjalan masuk ke dalamnya tanpa menyalakan penerangan rumahnya. Rumah itu tidak bisa dikatakan sebagai rumah. Hanya seperti sebuah kamar yang sempit tanpa kamar mandi. Meskipun demikian, Jin tetap harus membayar lima belas ribu yen setiap bulannya agar tetap bisa menempati kamar itu.

Ia membaringkan tubuhnya yang lelah begitu saja tanpa memikirkan hal apapun. Pikirannya sudah terlalu lelah jika masih harus dipaksa mengingat kejadian hari ini atau hal yang akan terjadi esok hari. Ia sebenarnya mengalami gangguan tidur karena sering memimpikan hal-hal yang buruk, terlalu sering jika dikatakan sebagai kebetulan. Mimpi yang sama dan terasa menyakitkan tanpa pernah ia ketahui mengapa ia selalu memimpikan hal yang itu.

Baru saja ia larut dalam pekatnya kegelapan kamarnya, saat ia merasakan sesuatu yang halus merayap dari ujung kaki menuju pangkal paha dan menyentuh sesuatu yang sensitif diantara kedua pahanya.

Jin terperangah karena itu. Meskipun ia masih memakai celana jeansnya, namun ia merasa geli dengan sesuatu yang menyentuhnya itu. Jin menegakkan tubuhnya dan bersandar pada salah satu sisi ranjangnya lalu menyalakan lampu kecil di sebelah ranjangnya.

Ia mengejapkan matanya dan menangkap sosok wanita muda berkulit mulus tanpa sehelai benang pun di tubuhnya berada di atas tempat tidurnya dan merangkak mendekatinya.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Jin yang masih terkejut dengan sosok wanita muda itu di kamarnya.

Wanita itu tidak serta merta menjawab. Ia hanya terus menatap Jin dengan pandangan liar lalu menjilati bibirnya sendiri dan semakin merayap mendekati Jin.

Jin tidak langsung menghindar karena itu. Bagaimana pun juga wanita itu adalah wanita yang cantik dan tubuh bugilnya itu sangat menggoda. Jin membiarkan diri saat wanita itu merangkak di atas tubuhnya lalu menyentuh pipinya dan menjilati lehernya.

Jin tahu bahwa saat ini wanita itu sedang bernafsu padanya, tapi ia tidak memiliki perasaan yang sama karena rasa lelah dan perasaan kecewa pada wanita yang saat ini sedang menggodanya.

“Jin... lakukan sesuatu padaku... kau menginginkanku bukan... aku milikmu malam ini. Lakukanlah apa saja yang kau inginkan padaku.. aku sangat menginginkan cumbuanmu.. ayo Jin... lakukan saja.. jilati tubuhku atau apapun yang kau inginkan..”

Bisikan wanita itu membuatnya muak. Jin mendorongnya dengan perasaan jijik dan menyingkirkannya seolah menganggapnya bagai seekor kecoak.

“Jangan menyentuhku!!”

Wanita itu membelalakkan matanya seperti tidak menyangka bahwa seseorang telah menolaknya.

“Kenapa? Apa aku tidak terlihat menarik lagi di matamu?”

Jin makin jijik dengan itu. “Kau yang meludahkanku lalu kau yang datang lagi padaku seolah ingin menjilat ludahmu sendiri. Apa kau tidak malu dengan itu?”

Wanita itu kembali mendekati Jin lalu berusaha mencium bibirnya. Dan kali ini Jin menolak tegas dengan jalan mendorong wanita itu lebih keras dari sebelumnya.

“Kenapa Jin? Kau tidak mencintaiku lagi??”

“Kau tanya apa aku tidak mencintaimu lagi?! Tentu jawabannya tidak!! Kau pikir siapa yang mengkhianatiku dan membuatku jadi muak terhadapmu?!! Kau sendiri kan?!!”

“Maafkan aku Jin... aku tahu aku salah... ta- tapi.. aku menyadari kesalahanku dan aku ingin kembali padamu.”

“Dengan cara seperti ini?! Kau pikir setiap laki-laki akan tergoda dengan tubuhmu?!! Kau terlalu murah! Aku tidak suka wanita sepertimu!!”

Ucapan Jin itu lebih dari sekedar tamparan bagi wanita itu. selama ini ia tidak pernah mendengar kata penolakan dan ucapan ‘murah’ itu baginya adalah sebuah penghinaan.

“Kau akan menyesal Jin. Aku bersumpah akan membuatmu merangkak dan menjilati kotoran di kakiku lalu meminta maaf padaku karena perlakuanmu ini! Ingat itu Jin!!”

Jin menatapnya datar seolah wanita itu tidak mengucapkan satu patah kata pun yang berarti hanya sekedar untuk didengarnya. Buru-buru wanita itu memakai kembali pakaianya yang berceceran di lantai kamar Jin, lalu meninggalkan kamar itu begitu saja. Jin makin lelah dengan ini. selalu saja wanita-wanita itu mengkhianatinya dan datang kembali padanya dengan cara yang sama seperti ini.

Benar-benar tidak berharga.

Jin muak dengan wanita. Semua wanita menurutnya sama. Hanya memikirkan kesenangan tanpa memikirkan perasaannya. Jin bahkan membenci ibunya sendiri yang seperti pelacur. Menjual dirinya hanya demi sejumlah uang dan mengkhianati ayahnya yang miskin hingga ayahnya itu memilih mengakhiri hidup dengan jalan bunuh diri.

Jin mengalami trauma berkepanjangan karena sang ayah bunuh diri di depan matanya. Mengambil pisau dapur lalu manyayat sendiri lehernya hingga urat nadinya putus.

Jin kecil yang masih belum bisa berpikir banyak hanya bisa berteriak hingga ia kehabisan suara dan sempat tidak bisa bersuara hingga beberapa tahun ke depan.

Ia tidak bisa tersenyum, berperasaan dingin dan tidak tahu bagaimana caranya bersosialisasi dengan orang lain, hingga SAN datang dan mengulurkan tangannya dengan senyuman.

SAN lah yang membuat Jin kembali bisa bersuara dan berperasaan layaknya sebagai manusia. SAN membuat Jin merasa bahwa ia masih hidup sebagai mahkluk yang perlu bersosialisasi dengan orang lain. SAN adalah orang yang paling dipercayanya saat ini.

~ ~ ~



Mata itu.
Ia kembali melihat mata itu.
Tatapan yang begitu dalam dan tidak pernah bisa dilupakannya begitu saja.

Saat itu ia tahu mata itu tidak mengingat siapa dirinya. Bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Hanya bersembunyi di balik sosok polos yang tidak memiliki prasangka apa-apa.

Apakah sosok yang seperti itu adalah sosok yang beruntung ataukah malah menyedihkan?

Pria itu hanya tersenyum lalu mengangkat gelas bening berisi cairan berwarna merah pekat yang kilaunya begitu indah.

“Kau memang melupakan siapa dirimu...

tapi kau tetaplah seperti darah ini yang akan selalu terlihat indah dengan kilauan warna merahnya...

Kau akan kembali pada dirimu yang haus ingin mengalirkan darah..

Aku menunggumu disini...

Menunggumu kembali mengorbankan satu nyawa untuk pemujaan kotor kita.”

~ ~ ~

Tu bi kontinyut~

0 komentar:

Posting Komentar