muddy cult #6

Title: muddy cult
Author: -Keka-
Chapter: 6
Fandom: Nega
Genre: Angst, Thriller,-- (???)
Rating: R









--chapter 6--



Kini mereka hanya berdua, saling menatap tanpa mengutarakan sepatah atau dua patah kata. Jin tak tahu apa yang dipikirkan oleh pria yang ada di hadapannya, namun nampaknya pria yang ada di hadapannya mampu membaca semua jalan pikiran dan kegelisahannya. Jin menelan air liurnya sekali lagi, kata-katanya tercekat seperti mencekik batang tenggorokannya, membuat pita suaranya susah bergetar hanya untuk mengucapkan satu ucapan sederhana yang terasa begitu rumit untuk ia ungkapkan.

"Selamat datang di kediamanku. Kau tentu bertanya bagaimana kau bisa berada disini?!"

Jin mengangguk saat pria yang bersamanya mengucapkan hal itu. Meski sepenuhnya ia tidak ingin melakukan itu, namun entah mengapa tubuhnya bekerja lebih cepat daripada otak yang memberinya perintah.

Pria yang ada di hadapannya kini semakin memperpendek jaraknya dari pria lain yang diliputi rasa kecemasan dari sesuatu yang ia sendiri tak tahu dimana dan apa yang harus ia cemaskan. Jin tidak melempar tatapannya kearah lain saat pria itu menatap lekat kearahnya, termasuk saat pria itu membelai wajahnya. Meski akhirnya Jin tertunduk dan memegangi dahinya karena rasa sakit yang begitu hebat menyerang sebagian besar kepalanya dan membuat penglihatannya kabur karena menjadi satu dengan penglihatan nyata dan ingatan-ingatan masa lalu dari sesuatu yang paling tidak ingin ia ingat kembali.


"Kau datang mencari keberadaanku, karena itu sekarang kau berada disini bersamaku. Sakit sekali bukan?! Kau tahu apa arti di balik rasa rasa sakit itu?"

Jin tidak menjawab, tidak juga menggeleng meski ia sangat ingin melakukan itu.

Ia tidak mengerti atas ucapan yang dilontarkan oleh pria yang ada di hadapannya. Arti dari rasa sakit... apalah arti dari semua itu selain rasa sakit itu sendiri. Perlahan namun pasti, rasa sakit itu semakin menyiksanya. Seperti sebuah sayatan dengan luka menganga yang ditaburi sedikit demi sedikit bubuk garam di atasnya. Merintih diantara desahan nafas dan bunyi degup jantung yang tidak beraturan. Ia berusaha bertahan meski kekuatan tak sepenuhnya berpihak pada tubuhnya yang lemah oleh siksaan tak nampak yang perlahan seperti mengikis habis ruh di dalam raga rapuhnya.

* * *

Rasa sakit....
Darimana datangnya semua rasa sakit itu...

Siapa pun tak ingin merasainya sebagai bagian kenikmatan, namun ia tentu tak punya pilihan lain saat semua itu begitu cepat datang padanya seperti sebuah terpaan badai yang tak kunjung dapat diramalkan. Meneteskan air mata pun tak kan berguna selain menambah penyiksaan terhadapnya dan kepuasaan dari pihak yang telah begitu berbaik hati memberinya hadiah keparat berupa siksaan fisik dan mental terhadapnya.

Jin meringis menahan rasa sakitnya di bawah seonggok pohon plum tua yang sama menyedihkannya seperti dirinya. Air matanya terlalu kering untuk bisa merefleksikan segala rasa sakitnya. Betapa brengsek orang-orang sok yang telah membuatnya merasai kekejaman dunia. Kali ketiga ia menerima siksaan tak manusiawi pada bagian tubuh vitalnya. Tamparan itu jauh lebih menyakitkan dari tamparan yang benar-benar nyata yang sudah dirasainya berpuluh-puluh atau mungkin ratusan kali. Harga dirinya terinjak-injak oleh sebuah kekejaman tak beralasan dari sesuatu yang mereka sebut pembalasan dendam atas apa yang sebenarnya bukan menjadi kesalahannya.

Ia sepenuhnya menyalahkan wanita yang telah mengandung dan melahirkannya sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas semua penderitaannya saat ini. Ia benci wanita itu juga wanita-wanita dengan ciri yang sama, wanita yang menggunakan tipu daya dari lirikan matanya, bisik rayu dari bibir merahnya, moleknya tubuh dan jahanamnya kenikmatan sesat dari gelora-gelora nafsu membara terhadap organ intim mereka.

Ia tak pernah tersenyum kembali, tak mampu bersuara, dan tak mempunyai sesuatu yang disebut perasaan. Kesepian dan kekosongan telah membunuh semua itu, menjadikannya semua rata dalam suatu garis horizontal bernama kepedihan.

Sampailah pada hari dimana sosok itu datang padanya dan memberinya kepercayaan bahwa ia akan mampu bertahan dan keluar dari semua kepedihan itu.

Ia percaya... dan terus percaya...

Hingga kepercayaan itu membawanya menjadi orang yang begitu berbeda dengan dirinya yang lemah tak berdaya.

* * *

San menggigiti kukunya sendiri karena cemas yang berlebihan. Sejak ia meninggalkan rumah sakit dimana Yu dirawat, ia menjadi tak tahu dengan arah pikirannya sendiri. Ingatan yang terhapus oleh benturan kepala yang murni ia percayai sebagai akibat dari kecelakaan, perlahan mulai kembali dan menunjukkan padanya sebuah kenyataan mengerikan yang masih membuatnya merasa bahwa potongan ingatan itu telah membodohi dirinya sendiri.

Tidak... tidak mungkin seperti itu...

San masih saja terus menyangkal gambaran yang terlukis dalam memory kepalanya yang berputar seperti sebuah film yang diputar mundur ke belakang.

Ia melihat masa kecil dan remajanya tak dilaluinya dengan suka cita seperti yang selama ini ia bayangkan.

Yu bahkan tertawa terbahak-bahak saat San menanyakan apakah orang tuanya sangat menyayangi dirinya.

"Hahahahaaa... bodoh kau, San!! Mereka bahkan menganggapmu sebagai anak pembawa sial. Kau tahu apa yang mereka lakukan padamu?"

San hanya diam. Tidak menjawab tidak juga menggeleng, hanya menunggu sampai Yu kembali melanjutkan kata-katanya karena ia sangat yakin akan memperoleh jawaban itu semua dari mulut Yu sendiri.

"Dengar.. orang tuamu... mereka... mereka senang sekali menyiksamu, memperlakukanmu seperti binatang, seperti anjing kelaparan yang pantas mati. Apa kau lupa sama sekali dengan hal itu?!"

"Kau bohong!!" San membentak keras, berusaha mengingkari semua ucapan Yu yang ia anggap tak lebih dari kepalsuan untuk membohongi dirinya. "Kau tidak tahu apa yang kau ucapkan itu!"

"Kau yang tidak tahu!!" Balas Yu tak kalah keras. "Selama ini kau hanya melarikan diri dan bersembunyi di balik wajah kepolosan dan ketidaktahuan itu. Dengar San.. kau dan aku itu tidak berbeda. Kita sama.."

San mengacuhkannya dan berbalik seraya menutup kedua telinganya, tak ingin mendengar apa yang coba Yu katakan padanya. Baginya Yu hanyalah jiwa tak waras dari sosok yang sangat disayanginya. Meski ia percaya bahwa Yu sayang dan tidak mungkin menyesatkannya, namun ia tetap tidak mau mendengar kata-kata dari orang tidak waras yang mencoba untuk mengalihkan pandangan atas masa lalunya yang ia pikir selalu bahagia.

* * *

I will hold out a helping hand to you who suffer..
Where do your pains come from?
I know... I know... I know...

Believe me... believe me.. and give all of you to me..
I will teach you true pleasure...
Follow me and love me...


Terdengar membisik dalam raga dan merasuk ke dalam relung jiwa. Bermulut manis dengan kata-kata picik dibalik segala rayuan yang menjerumuskan. Membuatnya percaya bahwa rasa sakitnya akan terbalaskan jika ia melakukan hal yang sama.

Bunuh..

Bunuh..

dan bunuh...

Habisi nyawa-nyawa itu, siksa dengan cara yang tak pernah mereka duga, dan seret jiwanya dalam lumpur berbau busuk di balik rasa kebencian dan cumbu rayu memikat dari seonggok jiwa kesepian yang haus akan darah.

Percayalah bahwa mereka pantas mendapatkannya...

Ya.. dia percaya...

dan kini senyumnya mengembang picik dengan penuh kepuasan kala ia menyayat leher dari tubuh molek yang terpikat oleh kata-katanya. Membuat tubuh molek itu tergolek tak berdaya dengan perut terbuka dan isi yang terburai di atasnya.


* * *

t.b.kontinyu...

0 komentar:

Posting Komentar