muddy cult #2

Title: muddy cult
Author: -Keka-
Chapter: 2
Fandom: Nega
Genre: Angst, Thriller,-- (???)
Rating: R


~ ~ ~

Tidak terlihat apa-apa, hanya kegelapan dan suara-suara yang menyeruak seperti mantra. Dimana.. dimana ia berada? Apa yang dilakukannya di tempat itu? Bagaimana ia bisa berada disana?

Ia menggerakkan tubuhnya, sedikit demi sedikit, namun itu dirasanya sulit. Seperti terpaku pada tempatnya, ia menyadari dirinya saat ini tengah tertawan. Kedua tangannya terantai pada tempat yang ia duduki.

Bagaimana bisa seperti ini?

Ia terus menggerakkan tubuhnya, semakin keras berusaha melepaskan diri. namun hasilnya tetap sama, ia tetap tertawan di tempat itu dan tidak sanggup melepaskan diri.

Matanya tertutup oleh sesuatu, seperti sebuah tudung kain berwarna hitam yang menutup seluruh kepala dan sebagian wajahnya.

Suara-suara yang ia dengar semakin menyeruak di sekelilingnya. Ia tidak seorang diri, banyak orang lain disana. Tapi mengapa mereka memperlakukannya seperti ini? membelenggu dan merantainya seperti tidak ingin membiarkannya melepaskan diri.

Apa yang mereka inginkan dariku??

Apa yang mereka ucapkan itu??

Seperti sebuah mantra-mantra aneh dalam sebuah sekte pemujaan setan. Ia ketakutan karena menyadari hal itu.

Sesaat sebelumnya ia masih berjalan di lorong panjang yang sepi. Lalu mereka menangkapnya setelah membuatnya tidak sadarkan diri terlebih dahulu. Begitu tersadar, ia telah terbelenggu dengan mata yang tertutup tudung kain berwarna hitam, ditengah seruan suara-suara pemujaan dan hanya menanti waktu yang tidak akan lama sampai ia menjadi korban kesadisan hanya demi tuntutan tumbal.



~ ~ ~



Binatang-binatang kecil memanjang dengan tubuh berlendir yang menjijikan bergerak melewati bibirnya. Ia memuntahkan binatang itu seperti memuntahkan belatung dari dalam perutnya.

Busuk, apakah perutnya begitu busuk hingga ia memuntahkan binatang itu?

Namun tidak ada kengerian yang tergambar di wajahnya, hanya pandangan tajam yang begitu datar dan tubuh terbelenggu dengan kepala terpasung seperti seorang tawanan yang hendak dijatuhi hukuman penggal.

Tidak ada perasaan takut sedikit pun. Entahlah, namun ia terlihat seolah menikmati posisinya yang teraniaya seperti itu.

Apa yang ada di pikirannya?

Apa yang sesungguhnya ia rasakan?

Dan mengapa ia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan semacam itu dengan jutaan perasaan yang tidak terbaca sedikitpun?

Hatinya sungguh beku.
Begitu beku hingga tidak terlukis dalam wajahnya yang terbingkai oleh kilauan rambutnya yang biru. Kilauan biru yang begitu indah. Menggambarkan kesedihan yang tidak tersampaikan.

Sepi..
Perasaannya begitu sepi..

~ ~ ~

Hari yang berbeda di waktu yang sama, Jin kembali duduk di cafe itu dan menghadapi SAN yang juga duduk di depannya. Kali ini tidak ada pria itu, pria yang SAN sebut memiliki nama Ray. Pria yang cukup aneh dalam pikiran Jin karena ia merasa pernah mengenal pria itu entah kapan dan dimana, ia tidak bisa terlalu mengingatnya.

“Hari ini apa kau mau mengunjungi Yu lagi?” Tanya Jin berusaha mengalihkan pikirannya akan Ray.

SAN menggeleng. “Aku ingin, tapi aku tidak bisa mengunjunginya terus-menerus. Ada hal lain yang harus aku kerjakan.”

“Kau takut padanya?”

SAN kembali menggeleng, meskipun kali ini gelengan kepalanya seperti ragu.

Jin tahu bahwa SAN sebenarnya memang takut. “Jangan khawatir SAN. Kapan pun kau ingin, aku akan selalu menemanimu untuk menemuinya.”

“Apa itu tidak akan merepotkanmu? Kau juga sibuk dengan kuliahmu kan?!”

“Tidak apa-apa. Akhir-akhir ini aku tidak terlalu sibuk.”

Namun SAN ragu dengan ucapan Jin itu, ada keletihan yang SAN lihat di wajah temannya tersebut. SAN membelai rambutnya, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahnya dan menatap Jin lebih dekat.

“Kau terlihat lelah sekali Jin. Apa kau punya masalah?” Tanya SAN cemas.

“Tidak ada SAN. Hanya saja aku kembali bermimpi buruk.”

“Mimpi yang sama?”

Jin mengangguk. “Dan itu terasa sangat nyata.”

“Tapi itu hanya mimpi, Jin. Kau tidak usah terlalu memikirkannya.”

Jin menghela nafas dan menghembuskannya dengan lebih berat. “Iya aku tahu, tapi kali ini ada yang berbeda dari mimpi yang sebelumnya.”

“Apa yang berbeda itu?” Tanya SAN bingung.

Jin hanya menatap wajah SAN lama. Begitu lama tanpa berkata apa-apa dan membuat SAN sedikit salah tingkah karena terus-terusan di perhatikan seperti itu.

“Ng... apa ada yang aneh dengan wajahku, Jin?” Tanya SAN sambil memeriksa sendiri wajahnya.

Jin akhirnya tersenyum dan menggeleng. “ah sudahlah. Tidak ada apa-apa kok.” Ia menggeleng pelan, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Maaf SAN, aku harus kembali sekarang. Ada yang harus aku kerjakan.”

“Praktik pembedahan lagi?”

“Ya begitulah, sedikit memuakkan.”

“Tapi kau terlihat menikmatinya sekarang. padahal dulu kau takut sekali pada darah.”

Jin kembali tersenyum. “Berkat dirimulah aku tidak takut lagi pada cairan itu. Arigatou SAN.”

SAN mengangguk seperti mengiyakan. “Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Kau yang sudah terlalu banyak membantuku.”

“Kita impas kalau begitu.” Lambaian tangan Jin mengiringi kepergiannya dari hadapan SAN. Ia pergi bukan karena memang ada urusan, tapi ia pergi karena menghindari tatapan SAN dan semua pertanyaan seputar mimpi yang dialaminya.

Beberapa malam belakangan ini, Jin bukan hanya bermimpi buruk tentang dirinya, melainkan juga bermimpi melihat SAN yang dianiaya bahkan menjadi korban kekerasan yang tidak sewajarnya. Ia takut sekali melihat itu. sangat  takut hingga ia sendiri yang merasakan sakitnya.

~ ~ ~

Ruangan yang begitu kaku. Diantara meja, kursi dan tatapan banyak pihak yang tidak ia sukai. Jin tidak tahu mengapa ia dipanggil di tempat itu dengan para penghadap yang memandang penuh selidik ke arahnya.

“Maaf sekali Jin, tapi kami harus mencabut beasiswamu.”

Jin mengernyitkan keningnya tiba-tiba dan bingung dengan ucapan salah satu dokter pembimbingnya di rumah sakit universitas tempatnya menimba ilmu sebagai calon surgeon muda.

“Kau tentu bingung dengan keputusan yang tiba-tiba ini. Tapi kami telah menerima laporan yang buruk tentangmu.”

“Laporan? Laporan apa?!” Tanya Jin semakin tidak mengerti.

“Sebenarnya ini masih simpang siur, tapi kami menerima laporan tentang gerakan sekte sesat yang melibatkan beberapa mahasiswa kedokteran khususnya mahasiswa divisi bedah. Dan ada laporan yang menyebutkan bahwa dirimu adalah salah seorang pengikutnya.”

Jin makin membelalakkan matanya karena itu. Itu hal terbodoh yang pernah di dengarnya. Ia bahkan tidak pernah tahu tentang adanya sekte sekte semacam itu. Selama ini ia hanya menjalani hidupnya dengan rutinitas yang sama. Kuliah, part time, mengunjungi SAN dan pulang larut malam lalu tertidur dan kembali melakukan rutinitas yang sama keesokan harinya. Tidak ada sedikit pun dalam benaknya ingin mengikuti gerakan-gerakan semacam itu.

“Apa dasar anda menuduh saya seperti itu? Apa hanya karena laporan yang masih simpang siur itu lantas pihak universitas langsung mencabut beasiswa yang saya terima?!”

“Tenanglah Jin, bukan hanya karena itu. Itu sebenarnya bukan alasan utama yang membuat pihak universitas mencabut beasiswamu.”

“Lalu apa?” Tanya Jin tidak sabar.

Pria setengah baya dengan kepala yang hampir botak dan beberapa helai rambut yang memutih itu tampak mengeluarkan sesuatu. Sebuah amplop berisi foto-foto.

“Kami tidak pernah mencampuri kehidupan pribadi para mahasiswa kami. Tapi kami rasa ini terlalu tidak senonoh untuk seorang calon dokter sepertimu.”

Jin menatap tumpukan foto-foto itu. Serta merta ia terkejut karena foto-foto itu memuat beberapa adegan syur dirinya dengan beberapa wanita. Jin tidak pernah tahu kapan gambar itu diambil, bahkan ia tidak pernah ingat persis kapan ia pernah berbuat hal yang memalukan seperti itu.

“Apa ada yang ingin kau ucapkan sebagai pembelaan?”

Tidak ada. Jin terlalu terkejut hingga ia tidak sanggup berkata apa-apa.

“Kau masih muda dan punya masa depan yang bagus dengan segala bakat dan kepandaianmu. Tapi berhubungan dengan artist AV bukan jalan yang tepat untukmu. Kalau kau betul-betul kesulitan dalam urusan keuangan, kau seharusnya bicarakan itu dengan kami dan bukan memilih jalan yang seperti ini. Dan tentang keterlibatanmu dalam sekte itu, kami masih menyelidikinya. Untuk itu, sementara ini kami memberimu skors dan menghentikan beasiswamu.”

~ ~ ~

Hari yang betul-betul memuakkan. Ia ingin sekali mempraktekkan ilmu yang ia pelajari, membedah manusia secara hidup-hidup lalu mengeluarkan isi perut mereka dengan tetap membiarkan mereka hidup sampai mereka mati perlahan karena sudah tidak sanggup bertahan hidup dengan kondisi tubuh yang tidak layak.

Baru kali ini Jin memikirkan hal yang seperti itu. Ia sangat marah pada dirinya, bahkan pada semua orang yang telah memojokkannya. Ia membenci orang-orang itu dan ingin memberi mereka pelajaran yang berharga agar tidak menyakiti perasaannya.

Jin kacau saat ini. Ia menegak banyak minuman beralkohol dan tidak peduli akan sekelilingnya.

Baru saja ia ingin menghabiskan gelas kelimanya, namun tiba-tiba seseorang telah menghentikannya.

“Jangan minum lagi, Jin. Kau sudah terlihat cukup mabuk. Ada apa? Tidak biasanya kau seperti ini?”

Jin menggeleng dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia tidak ingin SAN melihatnya dalam keadaan yang sangat kacau.

“Pergilah SAN. Aku tidak apa-apa.”

“Bagaimana tidak apa-apa.. kau ini mabuk! Sebaiknya aku antar kau pulang.”

Jin menghalau tangan SAN saat pria itu baru saja ingin membantunya berdiri. Sepertinya Jin terlalu kasar hingga SAN sedikit menjerit dengan suara tertahan. Jin sendiri bingung saat melihat SAN yang begitu kesakitan padahal ia hanya sekedar menepis tangan SAN yang hendak menyentuhnya.

SAN terlihat memegangi tangannya sendiri dan meringis kesakitan. Samar-samar Jin melihat aliran warna merah yang mengalir keluar dari lengan baju SAN yang panjang dan menutupi hampir seluruh tangannya itu.

“Kau berdarah.” Jin buru-buru mengambil tangan temannya itu dan memeriksa keadaannya. Torehan luka baru terlihat disana. Bukan torehan luka yang kemarin. Yang ini jauh lebih dari dalam daripada luka sebelumnya.

SAN menarik tangannya, tidak ingin Jin melihatnya lebih lama. “Ini hanya luka kecil. Biarkan saja... se- sebaiknya kita pulang.. aku akan mengantarmu.”

Kali ini Jin tidak menolak. Lagipula ia penasaran dengan luka SAN itu dan ingin mengetahui mengapa SAN bisa mendapatkan luka itu. Apa itu ulah Yu lagi atau ada hal lain yang menimpanya dan membuatnya mendapatkan luka itu?

Jin berusaha berjalan seorang diri tanpa bantuan SAN meskipun saat ini langkahnya sempoyongan. Berulang kali ia tampak menabrak pengunjung bar yang lain dan membuat SAN harus terus menerus membungkuk untuk meminta maaf.

Namun kali ini sepertinya Jin menabrak orang yang salah. Seorang wanita muda dengan pakaian yang terlalu terbuka untuk cuaca yang cukup dingin seperti sekarang ini. wanita itu memandang Jin dan SAN dengan tatapan meremehkan. Baik Jin maupun SAN mengenal wanita itu dengan cukup baik. SAN tidak terlalu menyukainya dan sempat marah pada Jin saat Jin tengah dekat dengan wanita itu.

“Kalian ternyata. Tumben sekali terlihat di tempat ini.” Ujar wanita itu dengan seringaian kecil di wajahnya.

“Maaf, kami ingin lewat.” Ucap SAN sopan di hadapan wanita yang menghalangi langkahnya dan langkah Jin.

“Segampang itu?! Kalian baru saja menabrakku dan membuat bajuku basah karena tertumpah anggur.”

“Jadi kami harus bagaimana?” Tanya SAN, masih dengan tutur bahasa yang sopan.

Wanita itu kembali menyeringai, kali ini dengan seringaian yang lebih lebar. Ia mengambil gelas yang berisi penuh minuman sejenis vodka, lalu mengguyurkan isi dari gelas itu ke tubuh Jin.

Jin tidak serta merta bereaksi dengan itu. Justru SAN yang terlihat sangat geram dengan ulah wanita itu.

“Kau!!! Apa yang kau lakukan?!!”

“Tanyakan saja pada temanmu ini!! Berani-beraninya dia menolak dan mengacuhkanku!! Kau lihat, Jin. Inilah yang terjadi karena kau meremehkanku. Aku pastikan selamanya kau akan menjadi orang yang tidak berguna!”

Jin mengacuhkan ucapan itu dan hanya menarik tangan SAN meninggalkan tempat itu, tanpa mempedulikan tatapan orang-orang kepadanya.

~ ~ ~

Malam semakin larut ketika SAN tiba di rumahnya bersama Jin yang sangat mabuk dan seperti kehilangan control diri. SAN sengaja tidak membawa Jin pulang ke rumahnya sendiri melainkan membawanya pulang ke rumahnya, rumah SAN yang jauh lebih lapang karena itu adalah rumah peninggalan orang tuanya yang cukup kaya. SAN tidak ingat bagaimana kedua orang tuanya bisa tewas karena sebagian ingatannya terhapus oleh kecelakaan 3 tahun yang lalu.

Kecelakaan itu pula yang membuat kedua orang tuanya meninggal dan membuat Yu harus masuk ke rumah sakit jiwa.

SAN tidak ingat jelas, tapi menurut keterangan yang diperolehnya dari orang-orang, Yu sepupunya itulah yang membuat kecelakaan itu terjadi. Yu juga yang membunuh kedua orang tuanya sendiri lalu membakar rumah mereka.

Seharusnya SAN membenci Yu karena hal itu, karena Yu telah membuatnya kehilangan orang tua, karena Yu telah membuatnya kehilangan paman dan bibinya, lalu karena Yu jugalah SAN jadi kehilangan sebagian ingatannya.

Namun SAN tidak bisa membenci Yu, karena memori yang tersisa padanya mengingatkan SAN akan diri Yu yang begitu polos, sosok yang begitu manis dan tidak sanggup melukai siapapun termasuk binatang yang kecil sekalipun. SAN mengingat Yu sebagai pribadi yang sangat baik dan sangat disayanginya sebagai seorang saudara sekaligus sahabat dekatnya.

SAN seolah ingin membantah ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa Yu yang telah membantai kedua orang tuanya sendiri secara sadis karena merasa tertindas oleh perlakuan mereka yang sangat di luar batas kewajaran. Yu juga yang menyebabkan mobil yang dikendarai orang tua SAN mengalami kecelakaan. Dalam kecelakaan itu, SAN yang turut serta di dalamnya mengalami benturan kepala yang sangat keras hingga mengalami amnesia sedang. SAN tidak ingat tentang kecelakaan itu termasuk apa yang membuat Yu begitu lepas kendali dan membunuh kedua orang tuanya sendiri.

Yang diingatnya hanyalah sosok Yu yang begitu hangat dan menyenangkan. Sosok yang begitu disayanginya. Ia berpikir orang-orang telah berbohong dengan mengatakan hal-hal yang tidak benar tentang Yu. SAN menyangkal semua tuduhan yang ditujukan pada Yu itu, meskipun akhirnya ia tidak bisa menahan diri untuk terus percaya dan akhirnya memilih untuk membenci Yu.

Sesaat ia mengutuk tindakan Yu dan berharap paling tidak Yu membusuk di penjara untuk selama-lamanya. Namun Yu malah tidak dijebloskan ke penjara melainkan ke rumah sakit jiwa karena dianggap mengalami gangguan mental yang sangat serius, yang melatarbelakanginya melakukan hal di luar batas kewajaran.

SAN sempat kecewa dengan itu, namun akhirnya ia malah iba dan tidak bisa membenci Yu manakala melihat Yu yang sangat mengenaskan di rumah sakit jiwa.

Yu kerap kali dirantai dan dibius dengan obat penenang dosis tinggi. Sering kali ia menyakiti dirinya sendiri dan berteriak kesakitan, lalu tampak depresif dengan kondisi yang bahkan jauh lebih buruk daripada orang yang akan menghadapi kematian.

SAN tidak sanggup membencinya, entah mengapa alasannya tidak cukup kuat untuk membenci Yu.

Sebuah gumaman kecil membuyarkan lamunan SAN, ia menoleh ke samping dan mendapati Jin yang bergerak dalam tidurnya. SAN menarik sudut-sudut bibirnya dan membentuk senyuman kecil yang cukup manis. Wajah tidur Jin yang begitu polos dan seolah lupa dengan semua beban hidupnya membuat SAN tenang untuk membiarkan sahabatnya itu terus terlelap.

SAN akhirnya pergi ke ruangan lain setelah menyelimuti tubuh Jin dan mematikan penerangan di kamar itu.

~ ~ ~

Kali ini ia tidak seorang diri. ada orang lain disana, ada yang menemaninya. Mereka tidak bercakap-cakap, hanya saling memandang, seperti mampu saling membaca pikiran masing-masing.

Salah seorang dari mereka menarik sudut bibir dan membentuk senyuman yang nampak seperti sebuah seringaian kecil. Ia melirikkan matanya pada sebuah kerangkeng kecil dimana sesosok wanita tanpa sehelai pakaian pun di tubuhnya, terkurung dengan rantai membelenggu tangan dan lehernya dalam kerangkeng itu.

Sangat tidak berharga, seperti seekor binatang. Betul-betul hina.

Entah mengapa mereka memperlakukan seorang wanita seperti itu.

Pria yang lain membalas senyuman dari pria lainnya. Lalu ia menyerahkan sebilah pisau pada pria lainnya, yang diterima pria itu dengan tatapan mata tanpa keraguan.

Beberapa detik kedepan hanya terdengar jeritan-jeritan dari sang wanita, memohon dengan pengampunan yang sangat, bahkan seperti mengemis-ngemis untuk dilepaskan.

Namun dua orang pria itu hanya acuh seolah menganggap wanita itu seperti anjing yang melolong.

Salah seorang pria mengangkat tangannya yang memegang pisau, cukup tinggi, hingga beberapa saat sampai ia dengan keyakinan yang penuh, menghujamkan pisau itu di telapak tangannya sendiri.

Serta merta darah segar dengan kilauan warna merah indahnya mengalir deras dari telapak tangannya.

Ia menahan rasa sakitnya tanpa berteriak. Hanya terus menikmati setiap pedih dan perih yang menghujamnya. Mendesah dengan kepuasan, mendongakkan wajahnya ke atas, membelalakkan matanya, lalu mengangkat telapak tangannya yang sudah menganga dengan lubang luka begitu dalam dan mengalirkan darahnya sendiri ke dalam cawan cawan gelas transparan, hingga nampak kilauan darah itu semakin indah memantulkan cahaya lampu yang menyinari permukaannya.

~ ~ ~

Matahari pagi menyambut dengan hasrat enggan untuk menyinari bumi. Kilaunya tidak cukup memberi rasa hangat di pagi ini. SAN bangkit dari tempat tidurnya dengan sedikit enggan, lalu membetulkan pakaiaannya yang nampak seperti kimono tidur. Dengan pakaian yang seperti itu, SAN terlihat lebih nampak seperti seorang wanita daripada seorang pria. Tapi sepertinya ia tidak terlalu canggung dengan pakaian-pakaian yang sering ia pakai, meskipun banyak orang yang sering salah sangka terhadapnya.

Pria dengan penampilan feminis itu membuka tirai jendela kamarnya, lalu membuka jendela kamar dan membiarkan semilir ringan udara pagi menyapanya, membiarkan udara itu menyentuh wajahnya dan membuat perasaannya menjadi sangat nyaman.

Untuk beberapa saat ia terus bertahan dengan itu, sampai akhirnya ia teringat akan Jin. Ia meninggalkan Jin di salah satu kamar yang dulu sering ditempati Yu. SAN kembali menutup jendela kamarnya, lalu bersiap menghampiri Jin di kamar yang ia tempati semalam dan bertanya apa yang ingin ia makan untuk sarapan pagi hari ini.

Namun setelah membuka pintu kamar itu, SAN tidak melihat sosok Jin disana. SAN memanggilnya berkali-kali lalu mengetuk pintu kamar mandi untuk memastikan apakah Jin ada disana. Namun Jin tetap tidak menyahut dan membuat SAN cukup kebingungan.

SAN mencari-cari di ruang lain karena merasa cukup cemas. Sampai akhirnya ia menemukan Jin yang melamun di salah satu balkon rumah. Jin menatap langit dengan tatapan kosong seperti seorang yang sedang melamun atau sedang memikirkan sesuatu yang jauh dari pikirannya sendiri.

SAN menepuk pundak sahabatnya itu dan benarlah ternyata memang Jin sedang melamun karena ia sangat terkejut dengan tepukan SAN yang menyadarkannya dari lamunan itu.

“Kau bangun pagi sekali hari ini. Padahal tadi malam kau mabuk berat dan seperti menggumamkan sesuatu.”

Jin tampak sedikit malu mendengar teguran SAN itu. “Memangnya aku bergumam apa?” Tanyanya.

SAN menggeleng. “Entahlah, kau bergumam seperti orang yang sedang kumur-kumur. Aku tidak bisa menangkap apa yang kau ucapkan itu.”

“Oh begitu ya..” Jin menundukkan wajahnya.

Dan SAN merasa perlu untuk ikut menunduk agar tetap bisa melihat wajah Jin.

“Ada yang kau pikirkan, Jin?”

Jin menggeleng ragu. “Kau tidak perlu tahu SAN. Ini masalahku sendiri.”

Semakin Jin berkata seperti itu, semakin SAN ingin mengetahuinya. “Memangnya kau ada masalah apa?”

Lagi-lagi Jin menggeleng dan berupaya mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan kemajuan kafe yang dikelolanya.

“Tidak cukup ramai, tapi aku sudah cukup senang menjalankan pekerjaanku.”

Jin tersenyum mendengarnya. Dan ia pun akhirnya mengungkapkan salah satu keinginannya. “SAN... bolehkah aku ikut membantumu menjalankan kafe itu?” Tanyanya seperti tidak yakin.

SAN cukup terkejut dengan itu. “Memangnya kau tidak sedang kuliah saat ini?! Aku sih mau saja, tapi tentunya itu akan merepotkanmu.”

Jin menggeleng. “Aku tidak sedang kuliah saat ini, mereka memberiku skors sampai jangka waktu yang aku sendiri belum tahu.”

Kali ini Jin betul-betul terkejut. “Kau serius Jin?! Memangnya kenapa mereka sampai memberimu skors? Apa ada hal salah yang kau kerjakan?!”

Jin menghela nafas dan menghembuskannya dengan lebih berat sampai akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan semuanya pada SAN.

“Perempuan BUSUK!! Pasti dia yang melakukan itu semua padamu.”

Jin tahu akan begitu pastinya reaksi SAN. Yah~ jalang yang dimaksud SAN itu memang benar-benar busuk.

“Memangnya kau ingat kapan mereka mengambil foto-foto itu?” Tanya SAN masih dengan wajah yang cukup kesal.

Jin menggeleng. “Aku tidak yakin, tapi sepertinya itu terjadi saat aku betul-betul mabuk beberapa waktu yang lalu. Aku memang bodoh karena membiarkan diri sampai mabuk di hadapan mereka.”

“Perempuan itu tadi malam marah sekali padamu. Memangnya apa yang kau perbuat padanya?”

“Aku menolaknya, SAN. Aku muak dengannya. Kau tahu kan bagaimana dia mengacuhkanku dan memilih menjalin hubungan dengan banyak pria.”

“Dia jalang. Jalang yang begitu jalang. Aku sudah tidak suka saat kau mengatakan dia adalah kekasihmu. Sekarang dia mempermalukanmu dan membuatmu diambang jurang karena kehilangan masa depan.”

“Yah, aku tahu itu, SAN. Tapi...”

Jin tidak melanjutkan ucapannya dan hanya menundukkan kepalanya dalam kebisuaan yang sangat lama. SAN tidak mengerti dengan tindakan itu, ia hanya terus menatap Jin, menunggu sampai Jin melanjutkan ucapannya. Meskipun Jin tetap dalam kebisuaan, sampai akhirnya SAN melihat Jin tersenyum. Tidak. lebih daripada tersenyum. Ia menyeringai. Dan Jin nampak lain dengan seringaian itu. seperti ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat SAN tidak mengenali diri Jin sebagai pribadi yang selama ini ia ketahui.

~ ~ ~

t. b. kontinyut~

0 komentar:

Posting Komentar