Nanairo CRAYON Part 5


Title: Nanairo CRAYON
Part: 5
Fandom: J-Rock staring the GazettE, Kagrra, Kra, An Cafe, Alice Nine, Sadie n more..
Author: Keka


* * *



Hiroto tampak memainkan action figure di tangannya. Ia merasa sangat bosan, tidak ada Tora dan Saga di sisinya. Tadinya ia berpikir, jika tidak ada mereka berdua, mungkin Hiroto merasa lebih baik. Tapi kenyataannya malah tidak. Ia merasa dilupakan oleh kedua orang itu. mungkin mereka memang tidak peduli. Begitu pikir Hiroto.

Saat Hiroto mencoba memejamkan mata, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu kamarnya. Hiroto beranjak dari tempat tidurnya dan menyeret langkahnya, ia membuka pintu itu dan melihat Rika berdiri di depannya. “Ada yang mencarimu.” Ucapnya.

Hiroto menggaruk kepalanya yang tidak gatal, baru saja ia mau bertanya ‘siapa?’ dan berharap orang yang mencarinya itu Tora, namun Rika sudah terlebih dahulu memberitahunya. “Saga, dia yang mencarimu.”

Hiroto sedikit kecewa, meskipun kenyataan bahwa setidaknya Saga masih peduli dengannya cukup membuat Hiroto bahagia.

“Kamu mau menemuinya Pon?” Tanya Rika yang tampak tidak sabar menunggu jawaban Hiroto. Hiroto sebenarnya ingin bertemu Saga, tapi ia melakukan hal yang sebaliknya. Hiroto menggeleng.

“Apa Saga tau kalo aku disini?” Tanyanya kemudian.

Rika mengangkat bahunya. “Tadi Chiru sudah bilang kalo kamu gak disini, tapi sepertinya Saga gak percaya. Dia masih ada di bawah... umm.. mungkin kamu tiba-tiba berubah pikiran dan ingin menemuinya.”

Hiroto tetap menggelengkan kepalanya. Saat ini dia masih belum ingin bertemu dengan Saga.

Rika mengerti dan akhirnya meninggalkan anak itu. tidak ada gunanya memaksa Hiroto menemui Saga. Begitu pikirnya.

---00---

Semuanya mendadak berubah gelap. Rasanya seperti dijerumuskan masuk ke dalam lubang gelap tanpa dasar. Anak laki-laki berambut pirang itu tergeletak seperti tak berdaya. Kepala dan tubuhnya terkulai di atas sebuah sofa dan tangan serta kakinya terikat.

“Maaf adikku.. aku terpaksa berbuat begini padamu.” Ucap laki-laki berambut hitam panjang dengan pierching di bibirnya. Ia mengelus rambut pirang itu dan menganugerahi sebuah kecupan disana.

Anak laki-laki itu bergerak. Sepertinya ia mulai tersadar meskipun masih dalam keadaan tidak berdaya. Ia berusaha menggerakkan tangannya, tapi kedua tangan itu saling terikat di belakang dan sedikit menyakitinya. Perlahan ia mulai membuka matanya, sedikit berat. Ia sadar bahwa beberapa saat yang lalu ia telah menghirup zat yang telah membuatnya tak sadarkan diri.

“hng..” suaranya terdengar tercekat. Ia masih merasa pusing. Dan perutnya mendadak mual saat menyadari siapa orang yang telah membuatnya tidak sadarkan diri.

“Kau sudah sadar adikku?” Tanya laki-laki itu dengan suara lembut.

“A ki.. apa yang kau lakukan padaku? Kenapa kau mengikatku seperti ini?”

“Sssstt..” Laki-laki itu menempelkan jari telunjuk di bibirnya dan meminta anak laki-laki di depannya itu untuk diam. “Jangan banyak bertanya Bou. Aku akan melepas ikatanmu kalau kau berjanji untuk tenang.”

Bou, anak laki-laki itu tidak bersuara. Ia hanya berusaha tenang meskipun batinnya menolak itu. Saat ini ia merasa takut, ketakutan sama yang berulang seperti beberapa tahun silam. Laki-laki di hadapannya, Aki- ia adalah kakak Bou. Dari lubuk hatinya yang terdalam, Bou sungguh merindukan sosok kakaknya itu. Tapi kenangan buruk yang pernah ditorehkan Aki kepadanya, sangat membekas di benak Bou. Menyayat dan meninggalkan bekas yang sangat buruk.

Aki selesai melepaskan ikatan tangan dan kaki Bou, lalu membantu Bou bangun dan menegakkan tubuhnya di sofa. Ia menatap lama wajah Bou sampai akhirnya menyentuh wajah itu dengan ujung jemarinya. Bou sedikit menghindar, meskipun akhirnya membiarkan jemari Aki menyentuh wajahnya.

“Aku sangat merindukanmu.”

Bou hanya diam mendengar ucapan itu. apa untungnya mengetahui kakak laki-lakinya itu rindu atau tidak kepadanya.. Bou sudah menganggapnya telah hilang. Aki bukan kakaknya lagi.

“Kenapa diam saja Bou? Katakanlah sesuatu, aku ingin mendengar suaramu.”

Bou mencoba mengatur nafasnya sebelum akhirnya mengucapkan sebuah kalimat singkat. “Biarkan aku pergi.” Ucapnya tanpa terdengar memelas. Bou memang sengaja tidak mau terlihat merengek-rengek di hadapan laki-laki itu, ia tidak mau Aki terus menganggapnya seperti bocah kecil yang bisa ia manfaatkan untuk kesenangannya.

“Kenapa berkata seperti itu? Apa kau tidak senang bertemu dengan kakakmu ini? Kita sudah lama tidak bertemu, setidaknya berbincanglah sedikit denganku.”

“Aku tidak yakin apa kau serius hanya ingin berbincang denganku.” Ucap Bou sinis.

Aki tersenyum tipis, lalu mencoba menyentuh wajah Bou sekali lagi. Kali ini Bou menghindar dan menampik kasar tangan Aki itu saat ingin menyentuh wajahnya. Bou sadar bahwa tindakannya itu bisa membuat Aki marah.

Laki-laki itu memang terlihat kesal, meskipun masih bisa menahan amarahnya. “Kau berubah sekali Bou, tidak seperti anak penurut lagi. Aku yakin ayah pasti kerepeton dengan tingkahmu yang seperti ini.”

Apa pedulimu?!!

Bou ingin mengucapkan itu, tapi ia lebih memilih diam. Ia tidak mau memancing sisi kasar Aki keluar dan balik menyerangnya.

“Baiklah, kau boleh pergi.” Ucap Aki. Bou setengah tidak percaya mendengarnya.

“Tapi tidak malam ini.” Ucap Aki melanjutkan. Bou tampak kecewa mendengarnya. Ia sungguh tidak ingin bersama kakaknya, meskipun hanya semalam.

“Aku tau kau melarikan diri dari rumah.”

“Darimana kau tau?” Tanya Bou mencoba untuk tidak penasaran.

Aki mendekatkan dirinya lagi, lebih dekat di samping Bou hingga ia bisa berbisik di telinga anak laki-laki itu. “Aku selalu memperhatikanmu, tanpa kau sadari.”

----000-----

Mengapa udara malam tiba-tiba menjadi panas? Padahal ini sudah mendekati musim gugur. Chiru terbangun dari tidurnya dengan keringat dan kerongkongan yang kering. Ia merasa sangat haus. Perlahan-lahan ia keluar dari selimutnya dan merayap dari futonnya.

Chiru mencari-cari botol air minum yang biasa selalu ia letakkan di kamarnya, tapi rupanya air di botol itu sudah habis. Ia pun melirik Rika yang sekarang satu kamar dengannya. Sejak Riku pergi ke Gifu, Rika pindah ke kamar Chiru karena gak mau tidur sendirian. Cewek itu tidur dengan memeluk boneka beruangnya, begitu tenang sampai Chiru tidak tega membangunkannya. Padahal ia ingin minta Rika untuk menemaninya ke dapur mengambil air minum, tapi sepertinya tidur Rika terlalu pulas. Chiru pun mengurungkan niat lalu meninggalkan kamar dan pergi ke dapur sendirian.

Rumah kos yang biasa ramai itu, mendadak sepi saat malam seperti ini. Chiru merasa takut, padahal biasanya ia yang menakut-nakuti Mizuki dengan menceritakan kebohongan besar bahwa ia melihat hantu, dedemit dan sejenisnya berkeliaran di malam hari di rumah kos itu, tapi sekarang malah ia sendiri yang ketakutan membayangkan seandainya cerita bohongnya menjadi kenyataan.

Chiru mencoba berpikir positif sambil terus mengingat kejadian menyenangkan agar ketakutannya sirna. Lalu ia mendengar suara itu.

Suara Aoi sedang berbincang entah dengan siapa, Chiru tidak mengenali suara lawan bicaranya. Dilihatnya pintu kamar Aoi yang sedikit terbuka. Chiru tidak ingin mengintipnya, tapi rasa penasaran yang besar akhirnya membuatnya melakukan itu. Chiru tidak menempelkan lekat tubuhnya di pintu itu. Ia tidak mau Aoi menyadari jika ia sedang memata-matainya.

“Apa kamu sudah bertemu dengannya?” Suara Aoi terdengar bertanya pada lawan bicaranya.

“Sudah.” Suara lain menjawab pertanyaan Aoi itu dengan singkat. Suara itu adalah suara laki-laki.

“Bagaimana?”

“Bagaimana apanya?” Laki-laki itu malah membalik pertanyaan Aoi.

“maksudku apa kamu akhirnya berbicara padanya?”

Chiru tidak mendengar jawaban dari pertanyaan Aoi itu. lalu Aoi kembali bersuara. “Kenapa kamu tidak menghampirinya?” Tanyanya lagi.

“Itu bukan waktu yang tepat Aoi.”

“Lalu kapan waktu yang tepat menurutmu? Bukankah ini yang sudah kamu nanti-nantikan sejak lama?!”

Tidak ada lagi suara yang terdengar menjawab pertanyaan Aoi itu. Chiru hanya mendengar beberapa helaan nafas sampai akhirnya Aoi kembali bersuara. “Sudahlah, sebaiknya kita tidur saja. Ini sudah terlalu larut malam.”

“Apa tidak apa-apa aku disini?” Tanya laki-laki yang menjadi lawan bicara Aoi.

“Tidak apa-apa. Pemilik rumah ini sedang keluar kota dan sementara kamu belum punya tempat tinggal, sebaiknya kamu menginap saja di kamarku.”

“Lalu bagaimana dengan teman-temanmu yang lain?”

“Tidak usah pikirkan mereka. Mereka pasti senang menerimamu.”

Chiru semakin mendekatkan dirinya di pintu kamar Aoi yang masih sedikit terbuka. Ia ingin mengintip keadaan di dalamnya, sebatas karena penasaran dengan laki-laki yang menjadi lawan bicara Aoi tersebut. Chiru bisa melihat Aoi, tapi ia sama sekali tidak bisa melihat orang lain yang ada di kamar itu. Aoi duduk di atas ranjangnya dengan posisi memunggungi pintu.

Sebentar, sepertinya Chiru salah.

Aoi bukan duduk diatas ranjangnya. Ia memang di atas ranjang, tapi ia duduk berlutut dengan kaki terbuka dan di bawahnya ada laki-laki lain, laki-laki itu yang sepertinya tadi berbicara dengan Aoi.

Chiru menutup mulutnya berusaha untuk tidak berteriak atau mengeluarkan suara sedikit pun. Laki-laki asing yang bersama Aoi setengah terbaring di ranjang, tapi tubuhnya masih tegak bersandar. Aoi sedikit menindih perut laki-laki itu, sementara tangannya seperti sibuk membelai wajah dan tubuh laki-laki asing yang bersamanya. Entahlah, Chiru tidak bisa melihat jelas karena celah yang bisa dilihat dari pintu kamar Aoi yang terbuka hanyalah sedikit dan Chiru tidak mau ambil resiko dengan membuka celah itu lebih lebar.

Aoi sepertinya mencium laki-laki itu, ciuman bibir sepertinya. Chiru bisa mendengar sedikit desahan tertahan dari mereka berdua.

“Tu- tunggu Aoi.” Ucap laki-laki yang bersama Aoi itu.

“Nande?” Tanya Aoi yang terlihat menarik lepas ikat pinggang di celana jeansnya.

“Sepertinya tadi kamu lupa menutup pintu. Berbahaya kalau sampai ada yang melihat kita.”

“Tidak ada yang melihat, mereka- teman-temanku itu sudah tertidur nyenyak sekarang. Mereka bahkan tidak akan bangun meskipun ada gempa.” Aoi terdengar tertawa pelan, lalu kembali mendekatkan wajah dan tubuhnya pada laki-laki itu. Chiru melihatnya melepaskan kemeja yang dipakai teman mainnya, lalu Aoi sendiri pun melepaskan pakaian bagian atasnya.

Jantung Chiru berdegub lebih kencang. Ia sudah tidak sanggup melihat lebih jauh dan akhirnya memilih pergi. Entah kenapa dia merasa kecewa tanpa alasannya yang jelas. Rasanya ia ingin masuk kamar dan menangis sekuat-kuatnya, tapi ia haus dan tujuannya utamanya tadi adalah pergi ke dapur. Ia pun akhirnya memutuskan kesana. Tidak ada lagi perasaan takut, perasaannya kini lebih tepat dikatakan sebagai perasaan kecewa. (^^;)

Sementara itu, Aoi sepertinya sudah tidak sabar dan akhirnya memaksa tubuh temannya untuk berbaring seutuhnya di atas ranjang. Temannya itu menurut dan membiarkan Aoi bermain dengan bibirnya sementara tangannya membelai lembut dada laki-laki itu.

“Aa.. Aoi.. sebaiknya periksa dulu pintu kamarmu. Aku tidak mau ada temanmu yang melihat kita seperti ini.”

Aoi terlihat kesal, meskipun akhirnya menuruti ucapan temannya. Ia memeriksa pintu kamarnya dan ternyata pintu kamarnya itu memang tidak tertutup dengan benar. Aoi berniat menutup dan menguncinya. Tapi sebelumnya, ia memeriksa dulu keadaan sekitar. Aoi menengok kesana-kemari dan tidak ada orang. Laki-laki itu terlihat lega, ia pun menutup pintu itu lalu tersenyum menggoda menghampiri temannya yang masih setia menunggunya di ranjang.

----000----

Mata itu semakin terlihat ketakutan. Ia tahu kalau akhirnya akan seperti ini. Sebaik apapun ia bersikap, ia tahu bahwa sikapnya itu tidak akan cukup membantu. Orang di hadapannya itu memang sudah gila sejak bertahun-tahun yang lalu.

“Kakak.. aku mohon..”

“Ssst.. jangan ucapkan apa-apa. Aku tidak akan menyakitimu.”

Bou menutup mata dan memalingkan wajahnya saat Aki bermain di sekitar daerah leher anak laki-laki itu. Bou menggigit bibir bawahnya saat merasakan lidah lunak Aki dilehernya. Aki tahu sekarang Bou lebih pasrah setelah tadi mencoba berontak dan akhirnya menerima beberapa kali tamparan keras di wajahnya.

Aki menelusuri tubuh adiknya, mencoba melepaskan pakaian yang dikenakan oleh adiknya itu. pakaian yang dikenakan Bou memang menyusahkan dan perlu ketelitian khusus untuk melepaskan satu persatu bagiannya. Aki tampak tidak sabar dan akhirnya merobek pakaian itu. Bou mendesis saat cakaran Aki mengenai kulitnya.

“Itte..”

Aki tahu Bou merasa kesakitan. Dan ia membelai wajah Bou dengan lembut untuk mengurangi rasa sakit yang diderita adiknya tersebut.

“Aku akan bermain lembut kalau kau tenang.” Bisik Aki di telinga Bou.

Bou menggeleng. Ia tidak mau Aki melakukan hal itu lagi terhadapnya. Sudah cukup masa kanak-kanaknya ia habiskan dengan menjadi korban shota dari kelainan kakaknya. Bou tidak mau lagi menerima perlakuan yang sama.

“Sudah kakak.. jangan.. a- aku tidak siap dengan ini semua.” Ucap Bou lemah saat Aki melanjutkan sentuhan tangannya di bagian yang lebih sensitif dari tubuh Bou.

“Aku tidak memerlukan kesiapanmu, aku cuma ingin kau lebih tenang saat aku melakukannya.”

“Tapi aku tidak mau.”

Aki mengacuhkan ucapan Bou itu, ia sama sekali tidak peduli. Laki-laki itu hanya terus berusaha bermain di bagian tubuh Bou yang lebih bawah dari perutnya. Aki menurunkan resliting celana Bou dengan gigi dan lidahnya. Setelah berhasil, kemudian ia kembali mendongakkan wajahnya itu dan menciumi wajah Bou yang masih berpaling.

“Aku lebih suka melihatmu mengenakan rok daripada memakai celana seperti ini.” Ucapnya di telinga Bou.

Bou tidak sanggup membalas ucapannya itu. ia teringat Kanon. Saat ini ia betul-betul tidak berdaya tanpa Kanon di sisinya. Bou sadar bahwa ia sangat membutuhkan sosok itu di sisinya. Tidak seharusnya ia pergi seorang diri. meskipun tak ingin mengakui, tapi Bou menyadari bahwa ia sesungguhnya sangat lemah.

Tut tut tut...

Ponsel Aki tiba-tiba berbunyi saat ia tengah sibuk dengan mainannya. Laki-laki itu seperti kesal, tapi tetap menyambar benda itu dan tampak serius saat menjawab panggilan di ponselnya. Laki-laki itu memutuskan meninggalkan Bou di kamar dan pergi ke ruangan lain. Bou bisa mendengar suara Aki yang marah-marah. Ia tidak mengerti apa yang tengah dihadapi kakaknya itu, ia pun sama sekali tidak peduli.

Bou berusaha membetulkan pakaiannya yang terkoyak-koyak. Ada beberapa luka cakaran di tubuhnya.

Dasar bejat!!
Kakak macam apa dia..

Bou mengutuk Aki di dalam hatinya. Mereka memang bukan seratus persen saudara kandung. Satu ayah lain ibu. Begitu yang Bou tahu.

Aki kembali masuk kamar dan menatap Bou yang sedang merapikan pakaiannya. Wajah Aki terlihat masih kesal, meskipun akhirnya ia mengulas senyum dan mendekati Bou.

“Aku belum selesai denganmu adikku.” Ucap Aki yang kemudian menjambak rambut Bou dan mencium bibirnya dengan paksa. Bou terlihat sesak nafas dan tidak bisa menghindar dari serangan itu.

Aki melepas ciumannya dan mencampakkan tubuh Bou di atas tempat tidur tanpa berbuat hal yang lebih lanjut. “Kita cukupkan sampai sini saja. Aku ada urusan mendadak dan terpaksa harus meninggalkanmu disini. Jangan macam-macam Bou! Setelah urusanku selesai.. aku akan kembali padamu.”  Seru Aki yang kemudian pergi dan meninggalkan Bou sendirian di kamar.

Bou merasa lega dengan kepergian Aki itu. ia selamat untuk beberapa saat, setidaknya  sampai Aki kembali. Bou mencari-cari sesuatu di tas ranselnya, namun benda yang dicarinya itu sama sekali tidak ada. Bou ingat telah menjatuhkannya, ia telah menjatuhkan ponselnya. Anak laki-laki itu menghembuskan nafas dengan berat. Ia merasa bingung dengan apa yang ingin ia perbuat, terlebih saat mengetahui bahwa Aki telah menguncinya di dalam kamar.

Rasanya Bou ingin mengamuk dan menghancurkan pintu yang ada di hadapannya, tapi ia sama sekali tidak sanggup. Bahkan untuk menggerakkan tubuhnya sendiri pun masih sangat susah. Tubuhnya mendadak lemas dan akhirnya ia terbaring tergeletak di kamar itu.


----000----

Akiya terbangun pada pagi hari dan menyadari kalo semalaman Nao tertidur sambil memeluknya. Sejak Hiroto menempati kamarnya, Nao jadi menumpang tidur di kamar Akiya dan seenaknya saja memeluk laki-laki itu seperti memeluk sebuah guling. Akiya mencoba menyingkirkan tangan Nao dari tubuhnya dan menendang temannya itu.

“Nao bangun!!” Seru Akiya yang masih saja berusaha melepaskan dirinya dari Nao. Tapi sepertinya Nao masih nyenyak dan enggan membuka matanya.

“masih ngantuk Akiya.. kamu aja yang bangun duluan.” Ucap Nao dengan suara yang terdengar ogah-ogahan.

“Iya tapi lepaskan tanganmu dariku.” Pinta Akiya.

Nao menurut dan akhirnya melepaskan Akiya lalu kembali tidur tanpa peduli hal apapun lagi. Akiya menatapnya kesal lalu keluar kamarnya untuk menghirup udara pagi yang segar. Masih terlalu pagi, bahkan belum ada seorang pun di rumah itu yang sudah terbangun kecuali dirinya. Setidaknya itulah yang dipikirkan Akiya beberapa saat yang lalu sebelum ia melihat Aoi yang sudah berdiri di beranda rumah. Aoi tidak sendirian, ia bersama orang lain yang Akiya tidak kenal. Bahkan Akiya tidak tahu sejak kapan teman Aoi itu ada di rumah ini.

Akiya berusaha tidak peduli meskipun ia sedikit penasaran. Laki-laki manis berwajah tampan itu lalu pergi ke dapur mencoba membuat sarapan paginya seorang diri tanpa berusaha menampakkan dirinya di hadapan Aoi.

Aoi memang tidak melihat Akiya, tapi temannya menyadari hal itu. “Aoi.” Ucapnya dengan suara lembut.

Aoi mendongakkan wajahnya untuk melihat wajah temannya itu. “Ada apa?” Tanya Aoi disertai senyum yang ia ulaskan semanis mungkin.

“Aku melihat temanmu. Laki-laki bertubuh cukup tinggi dengan rambut hitam legam. Dia menatap kita tadi.”

“Benarkah?!” Aoi berpaling ke belakang, mencoba mencari sosok yang dimaksudkan temannya.

“Dia sudah pergi. Sepertinya ke arah dapur.”

Aoi mengangguk pelan lalu memalingkan wajahnya dan kembali menatap wajah temannya. “Tidak apa. Mungkin hanya Akiya.”

“Tapi tetap saja dia pasti merasa aneh melihatku di sini. Sebaiknya aku pergi saja, nanti siang aku akan kembali dan kamu bisa memperkenalkanku dengan teman-temanmu disini.”

Aoi kembali mengangguk. “Baiklah, aku akan mengantarmu.”

“Tidak usah. Ada yang ingin aku kerjakan pagi ini.”

Aoi baru saja ingin protes, tapi temannya itu sudah lebih dulu mencium bibirnya dengan pelan dan membuat Aoi tidak bisa berkata apa-apa lagi.

“Aku mencintaimu...”

Seketika itu Aoi menjadi kikuk, meskipun akhirnya ia kembali menyunggingkan senyumnya. “Lain kali jangan lakukan itu dengan tiba-tiba.”

“Aku melakukannya hanya pada saat yang tepat. Tidak sepertimu yang sering kali tidak memperhatikan waktu, situasi, dan kondisi.”

Aoi terlihat mencibir, meskipun ia sedikit membenarkan ucapan temannya itu. semuanya akan berubah sejak saat ini. Bukan hanya untuk Aoi, tapi juga untuk orang lain yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan Aoi.


----000----

“Aku harus pergi membeli ini semua?” Tanya Yuura tidak percaya saat melihat daftar belanjaan di tangannya. “Apa ini tidak terlalu banyak?” Tanyanya lagi.

“Jangan protes Yuura. Semua itu sangat kita butuhkan sekarang ini.”

“Tapi Kai...”

Kai tersenyum seperti tidak ingin mendengar alasan Yuura lagi. “Pergilah.”

Yuura menghembuskan nafas dengan berat, lalu akhirnya pergi memenuhi permintaan Kai. Sebenarnya ia sangat tidak ingin keluar rumah pada saat ini, tapi ia tidak mau melihat Kai ngambek karena keinginannya tidak terpenuhi.

Setelah hampir dua jam ia pergi berbelanja, kini tangan Yuura dipenuhi tentengan belanjaan. Ia merasa keberatan. Tidak seharusnya ia melakukan itu semua seorang diri. Yuura merasa lelah, ia sangat lelah akhir-akhir ini. Entah mengapa semua rasa lelah itu ia rasakan, padahal sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. Tidurnya semakin terganggu, ia selalu memimpikan hal yang sama. Seseorang seperti mengincarnya, dan Yuura tidak tahu itu siapa.

Bodoh sekali memikirkan hal itu.
Semua itu cuma sekedar mimpi Yuura.

Pikiran itu ia tanamkan di kepalanya, tapi kekhawatiran itu sama sekali tidak berkurang. Bahkan mimpinya semakin terlihat nyata. Ia merasakan seseorang kembali mengikutinya, bahkan Yuura merasakan sedikit kecemasan. Ia memperhatikan sekelilingnya. Terlalu ramai, kecemasannya tidak beralasan. Tidak ada yang mengincarnya di tempat yang seramai itu.

Yuura mempercepat langkahnya. Ia ingin secepatnya berada di rumah, entah mengapa sekarang ia berubah menjadi seorang yang paranoid. Sedikit pun ia tidak mau berpisah dari Kai.

Yuura berjalan tenang, tanpa terlihat buru-buru tapi juga tidak terlihat santai. Ia hanya berusaha tenang. Tapi tetap saja ia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa sekarang ia sedang cemas untuk satu hal yang ia sendiri tidak tahu apa. Ia tidak mengerti dimana letak kecemasannya dan untuk apa sebenarnya ia cemas. Anak itu sangat terkejut saat seseorang memegang pundaknya.

“Aakh!” Serunya nyaris terpekik.

“Maaf membuatmu terkejut.”

“Ti- tidak apa.” Yuura berusaha menutupi keterkejutan di wajahnya.

Seseorang yang tadi menyentuh pundak Yuura itu tersenyum, lalu menyibakkan rambutnya dan menyerahkan sesuatu kepadanya. “Ini. Kau menjatuhkan ini.”

Sebutir apel. Yuura mengambilnya dan menganggukkan kepalanya. “Terima kasih.” Ucapnya sambil memasukkan apel itu ke dalam kantung belanjaannya.

Orang itu terus memperhatikan Yuura, bahkan saat Yuura sedang serius menatap kantung belanjaannya.

“Yuu..”

Samar-samar panggilan itu terdengar. Sangat pelan sampai Yuura nyaris tidak mendengarnya.

“Apa? Maaf tapi tadi kau bilang apa?” Tanya Yuura yang merasa mendengar orang itu menyebut namanya.

“Ah tidak. Aku tidak berkata apa-apa.”

Yuura ragu. Tadi ia memang merasa orang itu menyebut namanya lirih. Tapi darimana ia tahu nama Yuura.

Dan wajahnya

Yuura merasa pernah melihatnya. Entah kapan dan dimana, tapi sepertinya wajah itu tidak asing di ingatan Yuura.

Kau siapa?

Yuura ingin bertanya seperti itu. Tapi rasanya itu tidak sopan. Mungkin lebih baik kalo Yuura bertanya apa sebelumnya kita pernah bertemu ataukah aku mengenalmu. Namun sebelum Yuura sempat menanyakan hal itu, orang itu sudah pergi dan begitu Yuura sadar dari lamunan kecilnya, ia sudah tidak melihat lagi sosok itu. laki-laki itu sudah menghilang di keramaian.

----000----

“Kau lama sekali.”

Laki-laki berambut panjang dengan pierching di bibirnya itu tampak kesal.

“Maaf. Aku pikir kau akan lama karena masih sibuk melepaskan kerinduan dengan adikmu.”

Laki-laki berambut panjang itu tersenyum sinis. “Karena kau aku jadi meninggalkannya di kamar.”

“Apa aku mengganggu kesenanganmu... Aki..”

Aki, laki-laki itu kembali mengulaskan senyum sinisnya. “Tentu saja. Sementara aku bekerja, kau malah sibuk bersenang-senang dengan kekasihmu.”

“Hanya sekali ini saja. Aku tidak mau Aoi mengetahui apa yang aku dan kau kerjakan.”

“Dia tidak tahu aku, benar begitu kan?! Yang dia tahu hanyalah kau kekasihnya yang baik, lembut, penuh perhatian dan tampak lemah. Kau berlindung di balik wajah itu. sungguh pintar.”

Laki-laki itu tersenyum mendengar ucapan Aki. Ya, dia memang sangat pintar. Wajah cantiknya itu memang menipu. Seperti setangkai mawar yang bisa melukaimu saat kau tidak berhati-hati saat memetiknya.

“Kau dan aku sama saja. Kita sama-sama terobsesi pada satu hal.”

“Kau salah. Aku menyayangi Bou. Bagaimana pun juga dia adalah adikku.”

Laki-laki itu kembali tersenyum lalu menyulut rokoknya dan kembali membalas ucapan Aki. “Kasihan sekali adikmu itu. Dia pasti menderita karena menerima kasih sayangmu. Aku tahu kau hanya memanfaatkannya. Untuk apa kau menculiknya?”

“Aku tidak menculiknya. Aku hanya ingin menolongnya, memberinya tempat berteduh saat dia sedang bingung.”

“Konyol. Kau pikir aku percaya itu?! Aku tahu kau ingin memanfaatkannya agar ayahmu yang kaya itu memberimu sejumlah uang. Yonekura tua pasti tidak akan sayang mengeluarkan banyak uang agar anak laki-laki penerusnya kembali dengan selamat, tapi tentu saja tidak akan utuh sepenuhnya. Kau pasti sudah terlebih dulu menjamah tubuhnya dan membuatnya mengalami penderitaan fisik dan psikis.”

“Sudahlah, kau memintaku kemari bukan untuk membicarakan aku dan adikku kan?! Lagipula kau lebih busuk dari aku. Aku tidak pernah berpikir untuk membunuh Bou, tidak sepertimu. Aku tahu kau berencana membunuh, kau kembali karena ingin membunuh adikmu.”

“Kau tahu lebih banyak ternyata.”

Aki tersenyum sambil memainkan sendok kecil di cangkir kopinya. “Aku tahu lebih banyak dari yang kau kira. Aku juga tahu siapa adikmu dan beberapa informasi yang menarik tentang dirinya.” Ucap Aki, ia tahu laki-laki di hadapannya itu kini tertarik dengan ucapannya.

“Informasi apa? Apa yang kau tahu tentang adikku?!”

“Tenanglah, aku memang ingin memberitahumu, tapi bukan itu kan tujuan kita?! Kita disini untuk membicarakan orang kaya itu. aku sudah bertemu dengannya semalam, sesuai dengan perintahmu.”

“Lupakan wanita kaya itu. aku ingin tahu apa yang kau ketahui tentang adikku.”

“Wah wah, kau ternyata sayang padanya.”

“Cepat katakan!!”

Aki melihat mata itu menjadi lebih serius. Laki-laki di hadapannya itu seperti menuntut satu hal darinya. Kalau saja itu bukan di tempat umum, mungkin laki-laki itu sudah mengacungkan pisau ke arahnya dan Aki tahu hal itu. laki-laki di hadapannya itu lebih gila daripada yang ia kira.

“Baiklah, tapi aku minta kau tenang. Ini kafe umum. Pelankan sedikit suaramu. Aku tidak mau ada orang yang merasa aneh mendengar pembicaraan kita.”

Laki-laki itu kembali tenang dan kini tampak sedang memainkan pemantik api di tangannya. Ini memang saat yang tepat untuk memberitahukannya.

“Adikmu yang tersayang itu mengalami gangguan ingatan.”

Laki-laki itu tersenyum tanpa menampakkan wajah terkejut sedikit pun. “Aku sudah tahu itu. Tentu saja dia amnesia karena anak itu sudah mengalami pencucian otak berkali-kali. Aku bahkan sudah bertemu dengannya, dan sesuai dugaanku..

Dia tidak ingat padaku.”

“Kau tidak sedih karena satu-satunya keluargamu kini malah tidak ingat apa-apa tentangmu?”

“Itu jauh lebih baik. Aku jadi lebih mudah mendekatinya tanpa dia tahu kalau aku bisa saja menghabisi nyawanya.”

“Lalu apa kau tahu kalau dia di kelilingi banyak orang-orang yang melindunginya?”

“Aku tidak peduli itu. Bagaimanapun juga aku harus mendapatkannya kembali. Aku senang saat si hidung pesek memberitahuku bahwa dia tahu sesuatu. Dari informasinya akhirnya aku menemukan adikku kembali. Bodoh sekali dia menutupi matanya dengan kacamata itu. Dia bahkan tidak sadar aku telah mengikutinya.”

“Hidung pesek?! Siapa yang kau maksud dengan si hidung pesek?”

“Siapa lagi kalau bukan orang yang selalu menutupi hidungnya dengan kain aneh itu. dia cukup berguna untukku. Selama tiga tahun saat aku tidak di sini, dialah yang mencari tahu keberadaan adikku yang tiba-tiba menghilang begitu saja.”

“Dia mungkin juga bisa membantu pekerjaan kita kali ini. Semalam aku sudah bertemu wanita itu dan dia memberi kita pekerjaan yang cukup sulit.”

“Hei Aki, kau belum selesai menceritakan sesuatu tentang adikku. Apa hanya segitu yang kau tahu?”

Aki tersenyum dan memberikan tatapan menggoda pada laki-laki di hadapannya. “Semua tidak ada yang gratis. Meskipun kau temanku, tapi aku menginginkan sesuatu darimu.”

“Aku tahu. Baiklah, apa pun akan kulakukan untukmu asalkan yang kau berikan sesuai dengan harapanku. Ayo berikan informasi apa saja yang kau tahu tentang adikku.”

“Maaf, tapi tidak sekarang. Ingat tujuan kita sebenarnya. Wanita kaya itu menginginkan hasil pekerjaan kita secepatnya.”

“Oh baiklah, sekarang beritahukan padaku apa yang diinginkan wanita itu dari kita.”

Aki mengeluarkan selembar foto dari saku jaketnya dan memperlihatkan foto itu kepada laki-laki di hadapannya.

“Dia mau kita mencari anak di foto itu.”

“Balita laki-laki yang lucu sekali. Tapi kita ini seorang pembunuh, bukan detektif pencari anak-anak.”

“Perhatikan dengan lebih baik. Itu foto bertahun-tahun yang lalu. Dan jika masih hidup, sekarang anak itu pasti sudah sebesar kita.”

“Ah benar juga, tapi tunggu dulu.. maksudmu kita harus mencarinya..”

“Bukan hanya mencari, tapi juga membunuhnya.” Aki berkata dengan pelan, tapi suaranya cukup terdengar jelas di telinga lawan bicaranya.

“Tidak cukup hanya dengan selembar foto ini. Kita butuh keterangan lain.”

“Kau benar, tapi sayangnya hanya foto itu petunjuk yang kita punya.”

“Siapa anak ini? Kenapa kita harus membunuhnya? Aku tidak mau membunuh jika alasannya tidak kuat.”

Aki menarik nafas panjang sebelum menceritakan semuanya.

“Namanya Uke Yutaka. Mungkin usianya sekarang sekitar 22 tahun. Dia anak haram hasil hubungan perselingkuhan. Kehadirannya sungguh tidak diharapkan.”

“Lalu apa hubungannya dengan wanita kaya yang menyewa kita?”

“Singkatnya, anak di foto itu adalah anak tirinya. Suaminya, ayah anak itu meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Wanita yang menyewa kita itu adalah seorang janda kaya. Tapi kekayaannya akan berkurang sampai 70% apabila anak tirinya masih hidup.”

“Sungguh membingungkan. Aku tidak mengerti dengan semua penjelasanmu.”

“Kakek anak itu hanya menginginkan anak laki-laki untuk mewarisi semua harta dan kekayaannya. Tapi sayangnya, sekarang dia tidak punya seorang pun anak laki-laki. Anak laki-laki pertamanya telah meninggal dan anak laki-laki keduanya telah membangkang perintahnya. Yang kutahu, anak laki-laki keduanya itu telah mengganti namanya dan memilih hidup terpisah dari keluarganya. Dia tidak tertarik harta warisan ayahnya karena dia sendiri sekarang sudah sangat kaya.”

“Menarik, tapi aku belum menemukan dimana letak hubungannya.”

“Kakek anak itu sekarang tahu bahwa dia punya cucu laki-laki. Dan dia sedang mencari cucu laki-lakinya yang tidak lain adalah anak yang ada di foto itu. kau sudah bisa menangkap semuanya?”

Laki-laki di hadapan Aki itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya singkat. Ia masih melihat foto balita mungil yang ada di tangannya. “Ya, aku bisa melihat dimana letak masalahnya. Wanita yang menyewa kita itu pasti tidak mau ayah mertuanya menemukan cucu laki-lakinya dan mewarisakan semua harta warisannya pada anak ini. Wanita itu pasti wanita rakus yang serakah. Siapa suruh dia tidak bisa memberikan keturunan.”

“Kau salah. Wanita itu punya seorang anak, tapi anak perempuan. Dia juga akan tetap mendapat warisan, tapi hanya sepertiga. Seperti yang kau bilang, wanita itu memang sangat rakus. Dia menginginkan semua harta kekayaan itu dan tidak mau membaginya, apalagi kepada anak hasil perselingkuhan suaminya dengan seorang pembantu.”

“Kasihan anak ini. Dia pasti tidak tahu apa-apa, dan sekarang dia pasti sudah tumbuh menjadi pemuda yang manis. Lihat saja wajahnya di foto ini. Lucu sekali.”

“Aku tidak tahu kalau kau juga punya kecenderungan menyukai anak laki-laki di bawah umur.”

“Tutup mulutmu Aki! Aku tidak sepertimu.”

“Ya ya baiklah, tapi kemungkinan anak itu masih hidup adalah fifty fifty. Ibunya meninggal bunuh diri saat dia berusia setahun. Kemudian dia diasuh seorang nenek tua sampai berusia 16 tahun. Dan setelah nenek itu mati, aku sudah tidak tahu lagi bagaimana nasibnya. Dia sempat mencari ayahnya, tapi pesuruh ibu tirinya mengusirnya dan menendangnya ke jalan.”

“Baiklah. Informasi yang kau berikan sudah lebih dari cukup. Aku akan minta Reita si pesek untuk melacak keberadaannya. Secepatnya aku akan menghubungimu jika memperoleh informasi darinya.” Laki-laki itu berdiri dari tempatnya duduk dan berniat meninggalkan Aki.

“Kau buru-buru sekali. Tidak ingin kehilangan waktu yang berharga dengan kekasihmu itu..”

“Diamlah! Sebaiknya kau urus saja adikmu. Dia mungkin sedang menangis di dalam kamar.”

“Lalu bagaimana dengan adikmu? Apa sekarang kau tahu dimana dan dengan siapa dia tinggal?”

Laki-laki itu terdiam. Dia memang tahu tempat-tempat mana saja yang sering dikunjungi adiknya, tapi sekarang ini dia tidak tahu dimana adiknya itu tinggal dan ia sangat ingin mengetahuinya. “Kau ingin memberitahuku?” Tanyanya serius.

“Tentu saja, tapi tidak sekarang. Aku butuh sedikit pelayanan kamar darimu.”

“Brengsek kau!! Baiklah, malam ini aku akan menginap di rumahmu.”

Aki tersenyum puas. “Baguslah itu yang kuharapkan, tapi bagaimana dengan kekasihmu? Dia pasti tidak senang kau meninggalkannya.”

“Aoi urusanku. Kau tidak perlu bertanya apa-apa lagi tentangnya.” Usai berkata seperti itu, laki-laki itu kemudian pergi dan meninggalkan Aki sendirian.

Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya Aki juga memutuskan meninggalkan kafe itu. Ia sebenarnya ingin menyelidiki hal lain, tapi ia ingat telah meninggalkan Bou sendirian di kamarnya sejak semalam. Pasti adiknya itu sangat kelaparan karena hari sudah semakin siang.

Laki-laki itu membawa mobilnya melaju, tapi ia mengurangi kecepatannya saat melewati rumah besar itu. ia berhenti tepat di seberang jalan dan menatap lama kearah rumah itu.

“Bangunan kokoh ini melindunginya. Tidak akan semudah itu kau mendapatkannya...”


------

t.b.c

0 komentar:

Posting Komentar