Nanairo CRAYON Part 2

Title: Nanairo CRAYON
Subtitle: Man in the Darkness
Part: 2
Fandom : Jrock staring The GazettE, Kagrra, Kra, Alice Nine, An Cafe, Sadie n more…
Author : Keka

* * *

Riku menatap kesal kearah pemuda itu. Dengan tidak sabar ia kemudian menarik selimut yg menutupi tubuh pemuda itu dan mulai memukuli kepalanya dengan bantal.

“BANGUN PEMALAS!!!” Teriaknya geram.

Pemuda itu tampak mengerang lalu menggeliatkan tubuhnya diatas futon dan menatap riku malas. “Ada paan sih??!!!”

“Jidat lu pilas!! Masih tanya ada apaan?! Sudah siang BEGOOOO!!!” Riku makin kesal dan siap mengeluarkan seribu kata makian kearah pemuda itu. Tapi pemuda itu keburu melempar kecoa buntung kearah wajah Riku dan ngeloyor pergi sebelum mendengar makian Riku lagi.

Riku menjerit panik saat mengetahui ada kecoa nemplok diwajahnya dan semakin panik saat kecoa itu malah hinggap dirambut kesayangannya. “Aaaaarrrggghhh kecowak siwalan!!! Jijay lebay kutu anjing main ayunan!! Naoraaaaaaaaaaan sialaaaaaaan!!!! Singkirin kecowak banci niy dari rambutku!!!”

Terlambat. Naoran sudah tidak mendengar apa-apa karena sekarang dia sudah sibuk bantuin Rika jemur kasur.

~~~


Sementara itu, diruang yang berbeda. Mizuki tampak menatap puas kearah cermin.

Seksi... perut gw seksi.

Laki-laki itu tampak tersenyum menyeringai. Seringaiannya itu malah tampak seperti seringaian kuda.

“Kamu ngapain Mizu?” Tanya Chiru tampak heran.

Laki-laki itu terkejut dengan kedatangan Chiru yang tiba-tiba dan akhirnya malah tertawa garing sambil menutupi perutnya dengan kedua tangan.

“Sakit perut ya?” Tanya Chiru lagi.

“ha ha ha.. enggak kok. Lagi olahraga pelemasan otot perut aja.”

Chiru hanya ber-o singkat, meskipun masih ragu dengan ucapan Mizuki itu. Dia pun akhirnya tersenyum dan memperhatikan perut Mizuki lebih lama.

“Kenapa?” Tanya Mizuki yang tampak salah tingkah diperhatikan Chiru seperti itu.

“hehe.. enggak papa. cuma takjub aja liat perut kamu yang ternyata seksi juga.”

Mizuki pun berbunga-bunga. Ternyata setelah berjuta-juta tahun cahaya, ada juga cewek yang akhirnya mengakui keseksian perutnya. Meskipun hanya seorang Chiru. ^^

“Tapi...

Perut kamu gak seseksi perut Aoi.”

Jutaan pisau serasa menancap di kepala Mizu.

Apa bagusnya sih si bibir manju itu? Aku juga punya bibir manju. Ada pierchingnnya juga, HOT juga. Gak keriput pulak kayak om om itu. Kata Mizu dalam hati. Dia sangat kesal selalu dibanding-bandingkan dengan Aoi yang setengah mati garing kalo dipaksa ngejoke itu.

Mizu sudah siap protes ke Chiru, tapi niat itu terpaksa diurungkannya karena ia melihat Riku berlari-lari dengan panik.

“MIZUKIIII... tolong bunuhin kecoak di rambutku ini!!” Pinta Riku yang hampir menangis saat kecoa di kepalanya urung gak mo minggat.

“Dibunuh kayak apa?” Tanya Mizu bingung.

“TERSERAH!!!! Pokoknya diMATI’IN!!”

Mizu pun tanpa pikir panjang langsung mengambil sapu dan memukul kepala Riku sekuat-kuatnya dengan gagang sapu itu. Kecoa itu terbang dengan sukses bersamaan dengan Riku yang akhirnya juga ikutan pingsan.

Chiru menjerit tertahan. “Mizu... mamih yang mati bukan kecoaknya!! Gimana ini?”

Mizu juga ikutan bingung. “Kasih napas buatan.” Tiba-tiba ide itu terlontar begitu saja.

“Ah bener juga. Ayo cepetan kamu yang kasih.”

“loh kok aku??!”

“Jadi siapa lagi?? Masa’ harus aku!!?” Chiru balik bertanya panik sambil duduk berjongkok di samping tubuh kecil riku yang terkulai.

“Ini. Pake ini aja.” Mizu menyerahkan sebuah pompa ban kepada Chiru.

Bego niy orang..

“Lu kata Riku ban sepeda!!”

Mizu cengangar cengingir tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Bibir gw masih perawan Chi..”

“Perawan jidat lu peyang!!?! Panggil Naoran aja gih sono.”

Mizuki mengangguk dan mencari-cari Naoran yang ternyata sedang asik main monopoli bareng Rika dan Keiyuu di atas loteng.

“Mamih pingsan!!!?” Rika ikutan panik. Dan buru-buru turun dari loteng sampai meloncati dua anak tangga sekaligus.

“Ada apaan sih?” Tanya Akiya yang keluar dari kamarnya dengan bingung. Dia merasa terganggu dengan bunyi gedebak-gedubuk sejak pagi tadi.

“Ini gara-gara Nao. Ayo Nao kasi napas buatan ke mamih!!” Paksa Rika.

“Mending nyosor Akiya daripada nyosor mamih.” Naoran mendekatkan wajahnya ke Akiya dan mamonyongkan bibirnya bersiap menyosor Akiya, tapi Akiya lebih dulu menyambut wajah Nao itu dengan raket listrik pembunuh nyamuk. (sadis niy Akiya)

“Pada gak ada yang kasian ya ma Riku??!” Chiru tampak geram dengan keempat cowok yang ada di hadapannya. “Mizu, Naoran, Keiyuu, Aki...”

Keempat cowok itu hanya menggeleng.

Naoran yang berdiri mepet di samping Akiya akhirnya membisikkan sesuatu di telinga cowok itu. “Anggap aja Christina Ricci, udah sono kasih napas buatan ke mamih.” Ujar Nao nakal.

Akiya kembali memukul kepala Nao dengan raket nyamuk dan membuat beberapa helai rambut coklat cowok itu meleleh terbakar.

Untunglah Keiyuu berinisiatif memberikan bubuk merica di sekitar hidung Riku dan sukses membuat cewek itu bersin-bersin hingga tersadar dari pingsannya.

“Kalian semua pada JA’AAAAAD!!!” Teriak Riku begitu sadar dari pingsannya.

“Gomenasai riku... jangan marah dong. Mizu gak sengaja mukul kamu pake gagang sapu. Trus Keiyuu ngasi bubuk merica abisan kuatir banget karena kamu gak sadar-sadar.” Ucap Chiru mewakili teman-temannya meminta maaf.

Riku masih menatap galak kearah mereka dan akhirnya mengeluarkan ultimatum keras. “Kalo sampe jam sepuluh malam ini Naoran gak juga bayar uang kos, malam ini juga dia harus MINGGAT!!!”

Naoran tercekat dan menatap Riku tak percaya. Dia pun merengek-rengek berlagak sok manis dan tak berdaya di hadapan Riku. “Hwaaaa... jangan gitu dong Riku. Aku kan miskin. Mana bisa dalam semalam aku ngumpulin uang lima puluh ribu yen.”

Riku gak peduli dan sekali lagi berkata dengan cueknya. “Jual tubuhmu sana!! Kali kali aja masih ada tante tante ato om om yang doyan.”

Akiya, Mizuki, Keiyuu, Rika, dan Chiru hanya bisa tertawa melihat Naoran yang meratapi nasibnya.

“Sabar ya Nao.. aku mau loh bayar tubuhmu.” Akiya berbisik di telinga Nao dan mengerling kearahnya.

Naoran seperti mendapat angin segar. Setidaknya dia mau melakukan apa saja asalkan yang bayar tubuhnya adalah Akiya. Daripada dia terpaksa harus jual diri ke tante tante ato om om lenyot.

“haha.. boleh juga tuh Aki-chan. Buat kamu ada diskon deh sepuluh persen.”

“sepakat.” Akiya menggenggam tangan Nao sambil menyelipkan selembar uang seribu yen ke tangannya. “Ini aku bayar seribu yen. Gantiin tugasku bersihiin kamar mandi ya.” Ujarnya sambil tersenyum dan meninggalkan Naoran yang masih melongo bingung.

~ ~ ~

Akiya sialan. Naoran mendengus kesal sambil menendang kerikil dengan ujung sepatunya yang nampak butut. Apa tidak ada yang sayang dengan diriku? Tanya Nao dalam hati. Padahal belakangan ini dia merasa senang saat Riku menerimanya tinggal di rumah kos ibunya, apalagi akhirnya dia bertemu Akiya, temannya sejak kecil dan juga berkenalan dengan teman-teman satu kosnya yang lain seperti Keiyuu, Mizuki, Rika, Chiru dan Aoi. Tapi nampaknya sekarang mereka sudah tidak peduli meskipun Nao akan diusir dan kembali menggelandang.

Aoi tentu pengecualian. Meskipun tampangnya kadang nakutin, tapi Nao yakin kalo Aoi akan menolongnya jika ia sedang kesusahan seperti sekarang ini. Sayang Aoi sedang pergi ke Hawaii untuk mengikuti turnamen selancar di sana.

Naoran melihat beberapa anak SMA yang tampak lugu. Dia seperti mendapat ide. Mungkin dari mereka, Nao bisa mendapatkan beberapa ribu yen. Tapi niat itu diurungkannya, bukan karena dia kasihan melihat bocah-bocah SMA itu, dia hanya gak yakin apa tampangnya cukup sangar buat nakut-nakutin bocah-bocah tersebut.

Aaarrgghh... masa’aku harus nipu tante-tante lagi...

Naoran sudah memutuskan tobat dengan pekerjaan itu sejak ia bertemu dengan gadis yang memikat hatinya. Ia tidak tahu siapa namanya. Hanya satu yang diingatnya... gadis itu benar-benar cantik dan membuat Naoran mabuk kepayang.

“Naoran lagi jatuh cintah yah???”

Nao terkejut mendengar seseorang yang berbicara di sampingnya. Ia menengokkan wajah dan melihat Pon Pon yang berjalan menjajarinya.

“Hee.. anak ingusan sok tau.” Nao memukul ringan kepala Pon Pon yang lebih pendek darinya beberapa centi. Pon Pon tidak menghindar dan hanya tersenyum.

“Mau kemana Pon? Kok sendirian? Tora Saga??”

Pon Pon tampak menunduk dan terlihat sekali kalau ia sedang sedih. “Mereka pergi berdua saja. Akan sangat menganggu kalau aku ikut di belakang mereka.”

Nao cengengesan. Dia tau masalah yang dihadapi Pon Pon. “Kalo gitu bilang aja ke Saga, tiga ato empat tahun lagi kamu pasti bisa seganteng Tora.”

Pon Pon mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti dengan ucapan Nao itu. “Naoran ngomong apa sih??!”

“Kok masih nanya? Kamu suka Saga kan!?”

Pon Pon mengangguk. “Tentu suka. Saga kan temanku.”

“Bukan itu. Maksudku suka yang ‘itu’ loh!!”

Pon Pon makin bingung. Dan Nao makin gregetan dengan tampang bego anak itu. Dia pun menarik Pon Pon ke sebuah bangku taman dan mengajaknya bicara disana. “Kalo kamu suka sesorang, kamu harus berani bilang dan ungkapkan perasaanmu yang sesungguhnya ke orang itu. Bagaimana dia bisa membalas perasaanmu kalo kamunya sendiri berlagak sok cuek dan gak butuh.” Ucap Nao menggebu-gebu.

“Memangnya Nao sudah bilang ke gadis itu kalo Nao suka dia.”

“Ini bukan tentang aku, tapi tentang kamu!” Tegas Nao pada Pon Pon.

“Tapi sejauh ini, belum ada gadis yang kusukai.”

Naoran nyaris mengigit kepala Pon Pon saking gregetannya. “Aku gak lagi bicara masalah gadis, tapi masalah Saga!!”

“Memangnya Saga kenapa?? Dia gak lagi suka sama seorang gadis kok.”

Naoran kehabisan kata-kata. Hiroto ini memang dasarnya bego ato kelewat polos sih!!??

“Ya sudah, lupakan!! Pulang sana, cuci kaki trus tidur. Jangan lupa obat cacingnya diminum!” Ujar Nao memperingatkan. Dan ia pun pergi dengan perasaan dongkol. Seharusnya dari awal ia tidak usah bicara panjang lebar dengan Hiroto yang tinggal di rumah kos yang terpaut jarak beberapa blok dari rumah kos milik Riku.

~ ~ ~

Yuura menatap lurus ke depan. Di seberang jalan tampak restoran tempat Kai bekerja. Seperti biasanya, restoran itu tetap saja ramai pengunjung. Dan itu artinya Kai sedang sibuk saat ini. Padahal Yuura sudah membawa bekal makan siang, dia berharap bisa makan siang berdua dengan Kai. Tapi sepertinya itu tidak mungkin.

Yuura berbalik dan berniat pulang. Langkahnya sedikit gontai dan entah kenapa kepalanya sedikit pusing.

Sementara itu,

Kai yang sedang sibuk mengantar pesanan tanpa sengaja memandang sekilas ke arah luar dan melihat sosok Yuura di luar sana. Kai bertanya bingung dalam hati. Apa yang membawa Yuura kemari? Apa anak itu mau menemui dirinya? Tapi kenapa Yuura malah berbalik pergi??

Andai saja Kai tidak terlalu sibuk seperti sekarang ini, dia pasti sudah mengejar Yuura dan mengajak anak itu makan siang bersamanya.

--- ---

Kepala Yuura makin sakit dan wajahnya semakin pucat. Tidak mungkin dia masuk angin atau kelaparan, seingatnya tadi pagi dia sudah sarapan cukup banyak dan tidak melakukan pekerjaan yang berat.

Yuura akhirnya memutuskan duduk di salah satu bangku taman dan meletakkan kotak bento di sampingnya. Dia memegangi kepalanya dan tertunduk dengan lemas. Rasanya dia mau mati dan mungkin untuk berjalan sampai ke stasiun kereta pun dia sudah tidak sanggup.

Samar-samar dia mengingat kejadian-kejadian yang sepertinya pernah dia alami. Ada banyak teriakan di kepalanya dan teriakan yang terdengar jelas adalah teriakan seorang wanita. Teriakan itu begitu memilukan dan Yuura melihat banyak darah yang berceceran di sana sini. Perutnya semakin mual dan rasanya dia ingin muntah walopun dia masih bisa menahannya.

Yuura mencoba berdiri dan dia harus pulang sekarang. Mungkin dengan tidur di kamarnya, rasa sakit di kepalanya dapat sedikit berkurang.

Tiba-tiba ada seseorang yang memegangi tangannya dan mengacungkan pisau kearahnya. Yuura sedikit terkejut, namun entah bagaimana dia berhasil melepaskan tangannya dari cengkraman orang itu lalu menjatuhkan pisaunya dan akhirnya malah memelintir tangan orang yang berani mengancamnya dengan pisau tersebut.

“Aduduh.. sakit.. le- lepasin.. aku cuma main-main.”

Yuura melepaskan tangan orang itu dan menatapnya tajam. Orang itu malah cengengesan dan menundukkan kepalanya berkali-kali sambil meminta maaf.

“Aku terpaksa karena aku gak punya uang buat beli makanan.” Ungkap orang itu dengan wajah memelas. Dan entah bagaimana Yuura bisa kasihan melihatnya. Ia pun memberikan bento yang sebenarnya akan dimakannya bersama Kai.

Orang itu sangat senang dan Yuura melihatnya makan dengan lahap seperti orang yang sudah gak pernah makan enak selama sepuluh tahun.

“Oishi.” Ucapnya dengan wajah penuh senyum kebahagian. Melihat senyum itu, Yuura jadi lupa sejenak dengan rasa sakit yang tadi bertubi-tubi menyerangnya.

“Makasih ya, aku akan ingat jasa baikmu hari ini.” Kata orang itu sebelum akhirnya dia permisi pergi. Padahal Yuura ingin menanyakan namanya, tapi sudahlah. Kalaupun jodoh, Yuura yakin dia pasti bisa bertemu orang itu lagi.

--- --- ---

Naoran mengelus perutnya dengan puas. Baru kali ini dia bisa merasakan kenyang. Anak itu baik juga. Pikirnya menerawang saat mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu. Tadinya dia berniat mengancam seorang pemuda yang tampak polos agar pemuda itu mau memberinya uang. Tapi Nao tidak mengira kalo pemuda itu pintar bela diri.Yah untung saja pemuda itu tidak memukulinya sampai bonyok. Dan Nao malah bersyukur karena mendapat sekotak makan siang lezat darinya.

Deg

Jantung Naoran serasa berhenti berdetak saat sesosok mahkluk cantik yang menghiasi mimpi dan khayalannya akhir-akhir ini, tampak berjalan dengan anggun melewati pintu sebuah mini market yang ada di seberang jalan tempat Nao berdiri sekarang ini.

Mata Nao tak berhenti menatap sosok itu sampai ia melihat sosok lain yang sangat dikenalnya. Seorang cewek pendek yang tak lain adalah Rika, teman satu kosnya. Rika berlari dengan susah payah menyusul gadis cantik itu, kemudian menyerahkan sebuah bungkusan kepadanya. Rika tersenyum dan mengangguk beberapa kali. Gadis itu juga tersenyum dan tampak mengucapkan sesuatu lalu melambai kepada Rika, sebelum akhirnya menghilang di balik tikungan jalan.

Rika sepertinya kenal dengan gadis itu. Dan itu artinya bagus untuk Nao.

Dengan cepat Nao menyebrangi jalan dan nyaris berteriak memanggil-manggil Rika yang sudah akan masuk ke dalam mini market.

“Nao?!” Rika tampak heran. “Ngapain sih panggil-panggil?” Tanyanya bingung.

Nao mengatur nafasnya lalu menepuk pelan pundak Rika berkali-kali.

Iih.. ni orang kenapa sih!??

“Ta– tadi itu siapa?” Tanya Nao dengan suara gagap.

Rika menoleh kesana kemari. “Siapa?”

“Itu yang tadi bicara denganmu!”

Rika bengong beberapa saat, lalu tampak menarik senyumnya. “Ah.. Hizaki ya maksudmu?”

Nao tampak mengerutkan keningnya. “Hizaki? Namanya Hizaki?” Entah kenapa Nao merasa aneh dengan nama itu. “Dia siapa?” Tanya Nao antusias.

“Siapa?! Dia ya Hizaki, pelanggan tetap di mini market ini. Tinggal di apartemen yang gak jauh dari sini. Memangnya kenapa?” Tanya Rika tampak bingung.

“Ah gak, gak ada apa-apa.” Nao tersenyum lebar dengan mata menyipit, lalu menatap seragam yang dipakai Rika. “Kamu kerja disini?” Tanya Nao sambil menunjuk mini market di hadapannya.

Rika mengangguk. “Cuma part time. Sudah ya Nao...”

“Tu- tunggu..”

“Apa lagi?”

“Ntar ngobrol-ngobrol yuk.” Kata Nao cengengesan.

Rika makin bingung. “Setiap hari kita juga sudah ngobrol-ngobrol.”

“Ini obrolan yang beda. Mau ya.. ya ya..”

“Mau aja. Tapi apa masih bisa? Bukannya Nao akan diusir malam ini!?”

“Akh.. aku lupa!” Nao memeriksa dompetnya. Cuma ada 3 ribu. Ia pun menunduk lemas.

Malam ini aku akan diusir...

“Sabar ya Nao.” Rika menepuk pundak Nao. “Kalo kamu diusir, aku dan teman-teman akan tetap mengunjungimu. Bilang aja kamu tinggal di kolong jembatan yang mana.” Rika cengengesan, lalu melambai masuk kedalam mini market yang menjadi tempat kerja paruh waktunya.

--- --- ---

Yuura membuka matanya. Sudah berapa lama ia tertidur? Rasanya ia baru saja menempuh perjalanan yang jauh. Dan sekarang ia tidak tahu dimana sekarang ia berada.

Tempat apa ini..

Yuura hanya mengikuti kemana kakinya ingin melangkah. Kaki itu seperti berjalan sesuai kehendaknya, tanpa otak Yuura perlu memerintahnya. Sepertinya Yuura pernah melangkahkan kakinya di daerah ini, tapi ia masih tak ingat banyak. Tempat itu seperti deretan pertokoan tapi tampak sepi, ruko dan pertokoannya kebanyakan tutup.

Bodohnya, Yuura lupa membawa ponselnya dan uangnya hanya tinggal berapa puluh yen. Yuura mencari-cari telepon umum. Mungkin dia bisa menghubungi seseorang di rumah untuk menjemputnya. Saat hari gelap seperti ini, Yuura sama sekali buta arah. Dia juga bingung, kenapa tadi dia sampai ketiduran di dalam kereta dan turun di statiun yang bukan tujuannya.

Kenapa tidak ada telepon umum..

Yuura mencari-cari bingung. Lalu tiba-tiba kepalanya kembali sakit, bahkan sangat sangat sakit. Yuura sampai bersandar di salah satu dinding bangunan ruko yang sudah ditutup. Sakit kepalanya menjalar hingga mata. Matanya kini seperti ditusuk-tusuk. Yuura melepas kacamatanya dan menutupi matanya dengan tangan kiri, sementara tangan yang lainnya masih memegangi kacamatanya itu.

Perlahan-lahan Yuura mendongakkan wajahnya dan menatap lurus ke depan dengan kedua bola matanya. Tidak ada yang aneh. Semuanya tetap normal. Jalanan tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan dan menatap sekilas kearah Yuura. Melihat semuanya baik-baik saja, Yuura pun kembali memakai kacamatanya, menyusuri jalan dan mencari-cari telepon umum yang juga tak kunjung ia temukan.

Yuura putus asa dan mungkin satu-satunya jalan hanya bertanya kepada sesorang. Tapi kenapa tiba-tiba semuanya tampak sepi. Tidak ada lagi orang yang masih berkeliaran, toko-toko semuanya juga sudah tutup, padahal Yuura merasa kalau ini belum terlalu malam.

Ada dua orang yang Yuura lihat berjalan dengan terburu-buru. Yuura ingin menghampiri dan bertanya sesuatu kepada mereka. Tapi saat Yuura memanggilnya, orang-orang itu malah berlari dan seperti tidak mau didekati olehnya. Yuura jadi makin bingung. Memangnya apa yang salah dengannya?

Kemudian dari kejauhan, Yuura melihat sebuah mobil hitam yang berhenti di pinggir jalan. Pintu mobil itu terbuka dan seseorang tampak ditendang keluar dari mobil itu. Seorang laki-laki. Yuura melihatnya diseret dan diinjak-injak di jalanan beraspal, lalu ditinggalkan begitu saja.

Saat mobil itu benar-benar sudah pergi, Yuura melangkahkan kakinya dengan cepat menuju laki-laki itu. Tubuh laki-laki itu tertelungkup mencium aspal. Yuura lalu membaliknya dan terkejut.

~~~

Pukul setengah sebelas malam. Hiroto merasa sedikit gusar. Dia memikirkan teman-temannya. Apa Tora akan mencemaskannya? Ataukah Saga akan meminta Tora mencarinya?? Atau mereka malah senang karena kini Hiroto sudah tidak ada, sehingga mereka bisa menghabiskan waktu berdua saja??

Memikirkan Tora berdua dengan Saga saja sudah membuat dada Hiroto sesak dan isi perutnya menggeliat. Apa keputusannya pindah kos ini terlalu cepat atau memang sudah seharusnya dari dulu dia mengambil tindakan seperti ini agar tidak menyusahkan Saga atau Tora yang dicintainya...

Tapi sudahlah.. toh Hiroto tidak menyesal pindah ke rumah kos ini. Setidaknya rumah kos ini tidak melulu dihuni laki-laki. Ada juga anak perempuannya meskipun kamarnya dipisahkan. Pemilik dan para penghuni kos ini sudah sangat dikenal baik oleh Hiroto. Pemiliknya bernama Riku, orangnya ramah meskipun kesan awalnya sangat menakutkan. Riku ditinggal ayah ibunya yang memutuskan hidup tenang di Sapporo, sedangkan rumah kos ini diserahkan kepadanya untuk ia kelola. Ia seorang mahasiswi di universitas T dan beberapa teman wanitanya juga tinggal di rumah kos ini.

“Santai aja Pon.” Ucap Chiru saat memberikan Hiroto secangkir teh hangat. “Gak biasa ya tinggal di rumah kos yang ada ceweknya?”

Hiroto menggeleng. “Gak papa.”

Chiru kembali tersenyum dan kini sudah menghampiri teman-temannya yang lain. Akiya sedang bermain Shogi bersama Keiyuu, sementara yang lain sibuk menyiapkan sesuatu. Mereka sepertinya akan mengadakan pesta kecil-kecilan. Entahlah pesta untuk merayakan apa.

“Kalian sedang apa?” Tanya Hiroto saat bergabung melihat sesuatu yang dikerjakan Riku dan teman-temannya.

“Kita sedang buat persiapan upacara pengusiran Nao yang paling dramatis.” Jawab Mizuki.

Hiroto sedikit terkejut. “Nao mau diusir!? Alasannya apa?!!”

“Gak bayar uang kos lima bulan.” Jawab Rika ringan.

“Terus punya banyak masalah di luar. Tadi siang aja ada lima orang om om berbadan kekar nyari dia disini. Katanya mo buat perhitungan ke Nao. Duh bahaya banget, jangan sampai gara-gara masalah Nao diluar, kita semua yang nantinya kena getah. Tadi aja om om itu mau memaksa masuk dan mencari Nao di kos-kosan ini, tapi untung juga aku bisa meyakinkan om om itu kalau Nao sudah gak lagi tinggal disini.” Kata Riku panjang lebar.

“Tapi kalau dipikir... kasian juga si Nao. Dia teman kita, sudah sepantasnya kita nolong dia kalau dia lagi susah.” Ujar Chiru yang tampak sibuk merangkai karangan bunga.

“Kita sudah banyak nolong dia Chiru, tapi mang dasarnya Nao tu keras kepala.” Riku tampak geregetan. “Lihat tuh, Akiya aja udah gak peduli dengannya.”

Chiru menoleh sembilan puluh derajat searah jarum jam dan melihat Akiya yang tampak tersenyum penuh kemenangan saat mengalahkan Keiyuu bermain Shogi sampai berkali-kali. Sepertinya dia tidak peduli walaupun Nao, temannya itu bakal diusir.

“Tapi kok aneh ya.. Nao belum pulang juga. Ini kan udah malam.” Chiru melirik jam yang bertengger di dinding dan melihat jarumnya yang nyaris menunjuk pukul sebelas malam.

“Mungkin dia takut pulang karena sudah tau bakal diusir kalo pulang gak bawa uang. Tadi siang aku ketemu dia di depan tempat kerja part time ku dan dia kelihatan bingung waktu liat dompetnya yang cuma dihuni uang sekitar tiga ribu yen.” Ungkap Rika.

“Atau sekarang dia lagi nemanin tante tante biar dapat lima puluh ribu yen dalam semalam.” Mizuki cekikikan sambil membayangkan Nao yang dijamahi tante tante kegenitan.

“Atau jangan-jangan sekarang dia malah sudah mati...” Chiru mendadak ngeri membayangkan itu.

“Aaah.. Chiru kok mikirnya gitu sih..” Rika juga ikutan ngeri membayangkannya.

“Kalian jangan mikir yang iya iya. Naoran itu kayak kucing, nyawanya ada sembilan.” Ujar Akiya yang tiba-tiba ikutan bicara.

“Tapi Aki-kun kan tau sendiri kalo prefektur ini punya catatan reputasi yang buruk. Siang hari memang jadi tempat berbisnis yang ramai, tapi malam harinya jadi kayak kuburan. Sepiiii..!!” Seru Chiru.

Hiroto yang mendengarnya tiba-tiba jadi teringat Tora. Kemarin dia masih tinggal bersama Tora di rumah kos yang cuma terpaut beberapa blok dari rumah kos milik Riku yang sekarang dia tempat ini. Dia dengar dari Tora kalau prefektur ini sangat berbahaya. Ada gosip yang mengatakan kalau malam hari banyak setan-setan atau siluman yang berkeliaran mencari mangsa. Tentu saja Hiroto tidak percaya dengan gosip itu, tapi dia percaya saat Tora mengatakan kalau malam hari banyak orang jahat yang berkeliaran. Makanya Tora sangat melarang keras Hiroto keluar rumah lewat dari jam delapan malam.

“Kemaren aku dengar ada sebelas anak cowok disodomi dalam waktu semalam. Saking syoknya, tu anak cowok-cowok sampe pada bisu semua.” Kata Chiru menggebu-gebu.

Hiroto melongo dengan gigi depan yang tampak menonjol. Dia memang pernah dengar banyak penculikan anak laki-laki disekitar daerah rumah kosnya ini, tapi dia gak pernah dengar ada sebelas anak laki-laki yang disodomi bersamaan dalam waktu semalam.

“wah kalo gitu aku harus hati-hati dong.”

Chiru menatap Mizuki datar. “kalo itu sih kamu gak usah kuatir Mizuki, tukang sodomi gak ada yg doyan ma kamu. Lihat kamu aja mereka bisa muntah.”

“Sialan.” Mizuki mendengus kesal. “Rupanya kamu tidak sadar Chiru dengan potensi seorang Mizu.”

“Iya iya.. Chiru sadar kok kalo Mizu sedikit lebih tampan dibanding Aoi.”

Mizu makin menekuk wajahnya. Lagi-lagi nama Aoi yang selalu disebut Chiru. Mizu berharap Aoi dimakan hiu waktu lagi berselancar di Hawai, biar gak usah sekalian pulang ke Jepang.

“Ah sudahlah aku mau tidur.” Riku beranjak berdiri dari tempatnya duduk. “Baguslah kalo Nao gak pulang malam ini. Itu artinya aku gak perlu susah-susah ngusir dia.”

“Trus upacara pengusirannya gagal dong.” Rika tampak kecewa, padahal dia sudah capek-capek menulis plakat bertuliskan ‘Selamat Menempuh Hidup Sebagai Gelandangan Lagi Naoran’

-------- ------- -------

Ini orang yang tadi siang...

Yuura terkejut saat membalik tubuh laki-laki malang yang tadi dilihatnya selesai ditendang keluar dari mobil dan habis diinjak-injak.

Orang itu adalah laki-laki yang tadi mencoba menakut-nakutinya dengan pisau dan akhirnya merengek kelaparan, laki-laki yang tadi diberinya makan siang.

Wajahnya lebam-lebam penuh luka dan berdarah. Bibirnya juga tampak robek. Yuura merasa kasihan, dia menengok kesana kemari mencoba meminta bantuan orang lain, tapi tidak ada satupun orang lain yang dilihatnya. Jalanan itu jadi bener-bener sepi.

“Aki...”

Laki-laki itu terdengar menggumamkan sebuah nama.

“Hei, kau tidak apa-apa. Sadarlah.” Yuura mengguncangkan pelan tubuh laki-laki itu. Laki-laki itu pun perlahan membuka matanya.

“Aki ya...”

“Bukan. Aku Yuura, kau ingat?”

Laki-laki itu berusaha bangkit meskipun tampak sempoyongan. Yuura sebisa mungkin membantunya hingga laki-laki itu bisa berdiri.

Dia berusaha jalan dengan langkah tertatih-tatih. Kakinya luka, jeans yang dipakainya tampak robek terkoyak dibagian lutut dan dari bekas koyakan itu terlihat lututnya yang luka berdarah.

Yuura terdorong untuk membantu laki-laki itu berjalan. Dia pun berinisiatif memapahnya, mengambil tangan laki-laki itu dan meletakkan di pundaknya, sementara tangannya yang lain memegang pinggang laki-laki itu. Cukup berat juga ternyata. “Aku akan mengantarmu sampai rumah.” Ucap Yuura.

“Terima kasih, tapi aku tidak punya rumah. Malam ini aku diusir. Tinggalkan saja aku disini.”

“Tapi kau terluka, kalau begitu aku akan membawamu ke rumah sakit.” Yuura bersikeras.

“Kau baik sekali. Terima kasih Yu...”

“Yuura. Namaku Yuura. Kau?”

Laki-laki itu memalingkan wajahnya dan menatap Yuura. “Aku Nao.” Ucap laki-laki itu sambil tersenyum.

------ ---- ----

Kai mondar-mandir dengan panik. Sesekali dia berhenti hanya untuk melihat jarum jam di tangannya, setelah itu dia tampak menggaruk-garuk kepalanya dan membuat ‘pemilik rumah’ ikut stress.

“Berhentilah mondar-mandir seperti itu Kai!”

Kai sepertinya tidak mendengar seruan ‘pemilik rumah’ dan tetap mondar-mandir di hadapannya.

Yuura.. dimana kamu Yuura..

Kai bertanya bingung dalam hati. Saking paniknya, dia sampai menggigiti kuku-kuku tangannya. Baru kali ini Yuura belum pulang sampai hampir tengah malam. Biasanya dia sudah duduk manis sebelum jam makan malam tiba. Kai sudah mencarinya di perpustakaan kota, tempat yang biasa dikunjungi Yuura, tapi Yuura tidak ada disana. Perpustakaan itu malah sudah tutup berjam-jam yang lalu.

“Tenanglah Kai. Yuura akan baik-baik saja.”

“Dia belum pernah begini sebelumnya.” Ujar Kai cemas.

“Yuura sudah besar. Kamu gak bisa terus-terusan mencemaskannya seperti anak kecil.”

Kai berhenti mondar-mandir dan duduk lemas sambil menundukkan kepalanya.

Iya.. tuan besar ini benar. Mungkin Yuura sedang bersenang-senang di luar sana. Anak seumur dia memang butuh hiburan. Wajar jika dia mulai nakal dan belum pulang sampai selarut ini. Tapi...

Kai masih memikirkan kemungkinan buruk yang lain. Dia teringat lagi saat bertemu Yuura pertama kali. Itu bukan sesuatu yang bagus untuk diingat. Yuura nyaris dicelakakan saat itu, lalu anak itu ternyata hilang ingatan. Tidak tahu dimana dia tinggal dan tidak tahu siapa keluarganya.

Awalnya Kai enggan menampungnya. Dia sempat memaksa Yuura pergi dan mencari kehidupannya sendiri. Tentu Kai memaksanya secara baik-baik, memberi pengertian bahwa hidupnya sendiri susah. Yuura pun mengerti dan pergi. Itu membuat Kai senang beberapa saat, namun kesenangannya itu tidak berlangsung lama. Kai perlahan dihinggapi perasaan cemas dan bersalah.

Bagaimana kalau nanti terjadi sesuatu yang buruk padanya? Pertanyaan itu selalu bergema di kepalanya dan membuat Kai tidak bisa tidur nyenyak saat itu.

Hujan mengguyur deras tiga tahun yang lalu. Kai tetap memaksa pergi dengan payung kecil di tangannya. Dia mencari Yuura kesana kemari, dia ingin membawa anak itu pulang dan tinggal bersamanya lagi.

Kai hampir putus asa saat tidak menemukan sosok Yuura di sudut manapun. Perasaan bersalah dan kutukan kejam dia lontarkan pada dirinya sendiri. Begitu hina sampai dia melupakan sisi rasa kemanusiaannya dan memaksa seorang anak laki-laki berusia 16 tahun menghadapi dunia luar yang kejam tanpa tahu apa-apa.

Kai seperti melihat dirinya sendiri di dalam diri Yuura. Mereka memiliki nasib yang sama, kesepian tanpa ada seorang pun yang menyayanginya. Kai menderita saat kehilangan neneknya, begitu pun Yuura yang begitu menderita saat semua kenangan yang diingatnya pupus hilang tanpa dia tahu apa penyebabnya.

Yuura pasti kebingungan saat berada di luar sana. Pikir Kai saat itu. Dia juga sangat kebingungan saat neneknya meninggal dan terpaksa harus meninggalkan rumah karena neneknya hanya tinggal di rumah kontrakan. Kai sempat mencari orang tuanya menurut petunjuk yang diberikan nenek sebelum orang tua renta itu meninggal. Tapi kenyataan yang dia dapat saat itu jauh di luar harapannya, dia diusir mentah-mentah bahkan sebelum menginjakkan kaki di pekarangan rumah orang yang dia percayai adalah rumah ayahnya. Kai sendiri belum pernah melihat bagaimana rupa wajah ayah dan ibunya.

Dia mencoba mengubur kenangan pahit itu dan menjalani kehidupan baru seorang diri atau bersama Yuura jika dia berhasil menemukan dan membawanya pulang. Saat pikiran Kai mulai kalut dan keputusasaan menyerangnya, secercah sinar kebahagian menerangi hidupnya. Di bawah rintik keras air hujan tiga tahun yang lalu, pemuda itu berlutut di tanah lapang kosong melindungi 3 ekor anak kucing dari guyuran air hujan yang dingin, sementara dia sendiri tampak tidak peduli saat air hujan membasahi kepala hingga sekujur tubuhnya.

Kenapa kau begitu bodoh Yuura..

Kai bergegas menghampirinya dan memayunginya. Wajah Yuura menatapnya tak percaya saat itu. Dan Kai hanya ingin memeluknya. Memeluknya dengan erat tanpa peduli tubuhnya juga akan basah kuyup. Tidak akan kubiarkan pergi lagi. Akan kujaga Yuura dengan tanganku, kulindungi dan kubuat dia tersenyum. Tekad Kai dalam hati.

“Anak itu begitu berharga bagimu?” Tanya ‘pemilik rumah’ tiba-tiba. Pertanyaan itu membuyarkan semua lamunan Kai.

Kai mengangguk lambat-lambat. Entah sejak kapan Yuura menjadi begitu berarti baginya. Mungkin sejak Yuura bersungguh-sungguh merawatnya saat sakit, menyuapinya makan, membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian dan berbelanja seorang diri. Padahal itu semua bukan keahliannya, tapi Yuura bersungguh-sungguh melakukannya karena tidak ingin menyusahkannya yang sedang sakit.

Kai terus saja mengingat hal-hal istimewa yang dilakukan Yuura untuknya. Begitu banyak dan semuanya terasa manis. Kai bahkan tidak jadi marah jika anak itu mulai menatapnya dengan mengiba. Membuat Kai jadi ingin terus memeluknya.

“Yuura.. maafkan aku..” Kai berkata demikian tanpa dia sadari.

“Kenapa Kai? Kau merasa bersalah?”

Kai menggeleng. “Entahlah, tapi aku merasa tidak memperhatikannya akhir-akhir ini. Aku terlalu sibuk. Aku bahkan tidak pernah memasak untuknya lagi.”

‘pemilik rumah’ menepuk pelan pundak Kai dan memeluk laki-laki itu agar kegalauan hatinya sedikit berkurang. “Tenanglah. Aku akan memarahinya jika dia pulang nanti.”

“Ti– tidak. Jangan lakukan itu!” Kai tampak panik. Dia tidak bisa membayangkan, bagaimana Yuura akan sangat ketakutan jika ‘pemilik rumah’ yang tampak galak ini akan memarahinya.

‘pemilik rumah’ itu tersenyum. “Tentu saja aku tidak memarahinya. Aku cuma akan sedikit menghukumnya karena telah membuatmu stress memikirkannya.”

“Apa hukumannya berat?” Tanya Kai takut-takut.

‘pemilik rumah’ lagi-lagi tersenyum. “Itu hukuman yang menyenangkan. Tidak akan menyakitinya. Percayalah padaku Kai, aku juga menyayangi anak itu. Sekarang kau tidur saja. Aku janji akan membawa anak itu ke hadapanmu besok.”

--- --- ---

“Aaaarrgghh..” Yuura melepaskan Nao dan memegangi kepalanya sendiri. Kepalanya itu kembali sakit, berkali-kali lipat lebih sakit daripada yang ia rasakan tadi.

Nao menatapnya bingung. “Kau kenapa?”

Yuura tidak menjawab dan dia terus mengerang kesakitan. Saking sakitnya sampai dia menjatuhkan tubuhnya dan berlutut di jalanan beraspal. Menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangannya. Yang diingatnya hanya Kai. Dia ingin Kai. Ingin Kai memeluknya.

Nao semakin menatap Yuura bingung. Dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada orang yang baru dikenalnya itu. “Apa kau sakit?”

Yuura tidak menjawab. Dia hanya terus memegangi kepalanya. Nao memberanikan diri untuk menyentuhnya dan tubuh anak itu terasa dingin seperti es. Sepertinya Yuura sangat menderita, mungkin rasa sakitnya lebih menyiksa daripada rasa sakit yang dirasakan Nao saat ini. Yuura ingin menolongnya, tapi Nao malah berpikir Yuura lah yang sepantasnya mendapat pertolongan.

Nao menatap sekeliling. Lalu dari jauh dia mendengar bunyi lonceng dua belas kali. Lonceng dari menara jam yang menunjukkan bahwa saat itu sudah tepat jam dua belas malam. Jam delapan malam saja para penghuni prefektur ini sudah mengunci rapat pintu rumah dan jendelanya, apalagi jam dua belas malam. Mereka mungkin sudah bersembunyi dalam selimut dan melindungi anak-anaknya agar tidak diculik siluman jahat yang selalu jadi isu murahan di prefektur sialan ini.

Nao merogoh saku celananya. Kunci itu masih ada. Kunci rumah Riku yang berhasil ia duplikatkan. Jarak terdekat yang aman saat ini memang rumah Riku, tempat kosnya enam bulan terakhir ini. Nao berganti membantu Yuura berdiri. Kakinya sendiri sudah sangat berat ia tegakkan, apalagi jika ia harus membantu Yuura.

“Ayo Yuura.. tahan rasa sakitmu.”

Yuura mengikuti saran Nao dan berusaha berdiri dengan bantuan Nao, tapi dia sadar jika Nao saat ini juga sedang terluka. Pasti berat jika Nao turut membantunya. “Sudah Nao. Biar aku saja.” Yuura bangkit seorang diri dan berusaha melangkahkan kakinya. Tapi kepalanya semakin pusing dan tubuhnya serasa limbung. Yuura pingsan.

Nao melihat tubuh itu melorot dengan lambat dan untunglah Nao berhasil menangkapnya. Meskipun akhirnya mereka sama-sama terjatuh, tapi Nao merelakan tubuhnya menahan Yuura di atasnya. Dengan susah payah Nao berusaha bangkit dan memapah Yuura yang kini telah pingsan. Saat itulah dia menangkap sebuah siluet.

Bayangan sosok tinggi di kegelapan. Bersembunyi diantara bangunan-bangunan ruko yang sudah ditutup berjam-jam yang lalu. Nao yakin sosok bertubuh tinggi itu menatapnya dan Yuura. Jarak mereka sekitar 200 meter. Mungkin hanya orang biasa, tapi perasaan Nao mengatakan hal yang sebaliknya. Untuk apa orang itu harus bersembunyi di kegelapan dan terus menatap mereka. Kalau orang itu memang orang baik, orang itu pasti sudah menghampiri mereka dan menolongnya.

Nao masih melihat kearahnya dengan penasaran. Tanpa diduga, orang bertubuh tinggi yang jelas laki-laki itu, keluar dari persembunyiaannya. Apa orang itu mau menolongnya? Tapi tidak. Nao ragu dengan hal itu. Jalanan yang gelap menyamarkan wajah laki-laki itu, separuh wajahnya juga tertutup topi dan dia memakai jas hitam panjang yang tampak seperti jubah. Laki-laki itu tampak merogoh saku jas nya dan mengeluarkan rokok serta zippo nya. Membakar rokok itu, lalu memainkan zipponya. Membukanya lalu menutupnya lagi sampai menghasilkan bunyi ‘tuk tuk’ yang beradu dengan langkah sepatu platformnya.

Nao tidak berlama-lama menatap laki-laki itu. Ia masih berusaha memapah tubuh Yuura dan berusaha menyeret langkahnya secepat mungkin. Ketakutan Nao bertambah saat laki-laki itu kembali memasukkan tangan ke dalam jasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sesuatu yang berkilat-kilat jelas. Sesuatu yang bisa menghabisi nyawanya. Laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau tajam yang seperti haus darah.

Nao pucat hingga tak sadar telah menyeret Yuura lebih cepat. Dia sampai berniat meninggalkan Yuura yang pingsan begitu saja, lalu berlari secepatnya ke rumah kos Riku. Tapi entah kenapa dia tidak melakukan hal itu. Laki-laki misterius itu juga tampak mempercepat langkahnya. Dia mengincar Nao atau Yuura. Entahlah, Nao tidak memikirkan itu. Yang jelas, kini nyawanya dalam bahaya. Mungkin itu adalah suruhan tante-tante brengsek yang beberapa waktu lalu pernah Nao tipu. Rupanya tante itu masih belum puas melihat Nao tadi dipukuli habis-habisan oleh beberapa suruhannya.

Tinggal satu blok lagi. Tikungan di depan itu adalah tikungan yang terakhir. Tapi langkah Nao semakin berat, kakinya terasa nyeri. Dia sudah tidak kuat dan juga akan ikut ambruk dengan beban Yuura di sampingnya, sementara laki-laki itu sudah semakin dekat. Nao seakan pasrah. Kepalanya tertunduk lemah. Yang dilihatnya saat ini adalah bayangan lain di depannya dan langkah sepasang sepatu Nike.

“Nao.”

Suara itu...

Nao mendongakkan wajahnya. Dan Akiya ada di hadapannya.

“Kenapa wajahmu itu?” Akiya tampak menatap wajah Nao, lalu beralih menatap Yuura yang dipapahnya. “Siapa yang bersamamu?”

“Ada yang lebih penting daripada sekedar bertanya siapa anak ini. Ada orang yang mengikutiku di belakang. Dia bawa pisau dan sepertinya ingin membunuhku.”

Akiya melihat kecemasan di wajah Nao, ia lalu menatap ke belakang Nao melewati tikungan dan mencari-cari sosok yang dimaksud Nao. Tapi sosok itu tidak ada. Jalanan itu tampak sepi saja.

“Orang apa yang kamu maksud?” Tanya Akiya.

“Laki-laki berjubah hitam. Dia ada di...”

Nao juga tidak menemukan sosok laki-laki itu. Padahal laki-laki itu tadi sudah sangat dekat dengannya.

“Kamu mabuk Nao?”

“Sungguh. Tadi laki-laki itu ada disitu, dia mengejarku.”

“Baiklah, ceritanya nanti saja. Sekarang kita pulang, tapi tolong beritahu dulu siapa anak yang bersamamu itu.”

“Namanya Yuura. Dia tadi berusaha menolongku, tapi akhirnya dia malah pingsan. Aku gak tau penyebabnya apa. Untuk sementara, kita bawa pulang dulu ke rumah Riku.”

“Tapi jangan berisik. Riku sudah mengusirmu dan kamarmu sekarang ditempati Pon pon.”

“Apa?? Anak itu!?? Apa yang dia lakukan di kamarku?”

“Sudah kubilang ceritanya nanti saja. Sekarang berikan anak itu padaku. Biar aku yang menggendongnya.”

Nao melepaskan Yuura saat Akiya sudah benar-benar menggendong Yuura di punggungnya. Mereka pun berjalan pulang kerumah kos mereka yang tinggal beberapa langkah lagi. Nao masih sempat menatap ke belakang dan mencari sosok laki-laki yang tadi mengejarnya. Namun sosok itu memang sudah tidak ada.

Bukan tidak ada

Tapi Nao tidak melihatnya

Laki-laki itu bersembunyi di kegelapan dengan cepat saat sosok Akiya muncul di hadapan Nao.

Bukan Nao yang diincarnya

Laki-laki itu bahkan tidak mengenal siapa Nao

Yang diinginkannya hanya satu...

“Tubuhmu Yuura... aku menginginkanmu... tiga tahun saat kau menghilang dariku... kini aku menemukanmu... dan sekarang...

Kau tidak bisa lagi lari dariku...”

Senyum laki-laki itu terkembang dengan puas

Dan matanya berkilat menatap pisau yang dipegangnya. Dia mengiris kulit tangannya sendiri dan membiarkan darahnya mengalir segar di permukaan pisau itu lalu menjilati darah di pisau itu dengan Lidahnya.

“selanjutnya...

darahmu lah yang akan membasahi pisau ini..

dan aku akan senang sekali bisa menjilati darahmu seperti ini..”

0 komentar:

Posting Komentar