Nanairo CRAYON Part 1


Title: Nanairo CRAYON
Subtitle: Warui no Yume
Part: 1
Fandom : Jrock staring The GazettE, Kagrra, Kra, An Cafe, Alice Nine n more…
Author : Keka

~~~

en sutori begin....

Sudah larut malam saat Kai pulang dari restoran tempatnya bekerja. Keletihan seperti biasa, dan tidur adalah pilihan yang tepat baginya. Besok pagi dia sudah harus bangun menyiapkan sarapan pagi untuk tuan besar, konsekuensi yang harus diterimanya sebagai imbalan jasa karena tuan besar yang kaya itu mau menampungnya dan juga menampung Yuura.


Yuura...


Kai teringat anak itu.


Entah kenapa dia belum bisa tidur nyenyak sebelum memastikan bahwa Yuura sudah tertidur dengan nyenyak.


Anak itu sering tidak tidur sampai larut malam, atau tertidur dengan buku-buku berhambur di sekelilingnya dan TV menyala di depannya.


Kai masuk ke kamar Yuura seperti mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara. Dia tidak mau Yuura yang misalnya sudah tidur harus terbangun karena menyadari kehadirannya.


Dan Yuura memang sudah tertidur. Kai melihatnya terbaring di atas futon, masih dengan buku di tangannya. Yuura memang suka membaca buku sebelum tidur.


Diperhatikannya wajah tidur yang tampak damai dan tanpa dosa itu. Masih sama seperti tiga tahun yang lalu saat Kai menemukannya tengah terluka. Entah mengapa Kai tidak tega jika harus memaksanya pergi.


Yuura hilang ingatan dan sebatang kara. Mana mungkin Kai yang murah hati tega membiarkannya hidup menggelandang, apalagi Yuura yang begitu manisnya dengan cepat menarik rasa simpati, membuat Kai jadi begitu menyayanginya.


Kai mengambil buku di tangan Yuura sedemikian hati-hati dan meletakkannya di rak, tempat Yuura biasa menyimpan buku-bukunya. Setelah itu Kai membetulkan selimut Yuura dan membelai rambutnya yang mulai panjang. Menyingkirkan rambut itu agar tidak menutupi mata dan wajahnya.


Kai menjadi penasaran sejak dulu, mengapa Yuura tidak pernah mau membiarkan Kai menatap langsung ke dalam matanya? Padahal Kai begitu ingin menatap mata itu, mata seorang Yuura yang dianggapnya sudah seperti adik sendiri.


“ng.. jangan... jangan dia- jangan ambil dia dariku! Jangan! Jangan... Kai...”


Tiba-tiba Yuura mengigau panik dalam tidurnya.


“Yuura.. tenanglah..” Kai mencoba menenangkannya, tapi Yuura tetap saja mengigau panik.


“Jangan.. aaah..Kai.. jangan pergi. Jangan pergi Kai!”


Kai menerutkan kening. Yuura sedang bermimpi tentangnya, mimpi apa sampai Yuura memanggil namanya seperti itu?


--- --- ---


Yuura melihat orang-orang itu memisahkan dirinya dari Kai. Memukuli pria berlesung pipi itu hingga tak berdaya dan menyeretnya. Sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa karena ada seseorang, laki-laki yang tidak dikenalnya sedang memeluknya erat dari belakang. Membuat Yuura tak bisa bergerak dan nyaris kehabisan nafas.


“ng.. aaa- Kai... haah.. aah.. jangan...


Jangan sakiti dia!


Jangan!!”


“Yuura.. tenanglah..”


Samar-samar Yuura mendengar suara Kai, tapi begitu jauh.


“Ka- Kai.. jangan pergi.. ”


“Tidak, aku tidak pergi. Aku di sini Yuura. Di sampingmu.”


“Kai...”


Mata itu memandangnya lembut, memberikan senyuman hangat dan sentuhan yang menenangkannya.


Kai di hadapannya, tidak terluka dan tidak pergi. Dia di samping Yuura.


“Kai... kamukah itu?!”


Penglihatan Yuura masih samar, Kai di hadapannya masih tak tampak jelas. Bercampur penglihatan-penglihatan lain yang tidak ingin dilihatnya.


“Iya ini aku, hihihihii... kamu ini kenapa sih tiba-tiba mengigau seperti itu...” Kai tertawa geli. Meskipun saat Yuura membuka mata, dia masih bisa melihat sedikit sisa kecemasan di wajah Kai.


“Apa aku mengigau?” Tanya Yuura pada Kai yang kini sibuk menghapus peluh di keningnya.


“Parah, mengigau seperti anak kecil. Memangnya siapa yang akan menyakitiku?! Kamu ini ada-ada saja, siapa juga yang akan pergi!?”


Yuura sedikit malu dan sedikit memalingkan wajahnya. Sebenarnya Yuura malu jika Kai tahu bahwa betapa ia sangat tidak ingin Kai pergi dari sisinya.


“Aku tidak pergi Yuura. Akan tetap di sini bersamamu.”


Kata-kata Kai itu begitu menenangkannya, setidaknya saat ini Yuura masih bisa melihat senyuman itu, senyum Kai yang membuat perasaannya nyaman.


---- ---- ----


Kai menyunggingkan senyumnya dan menghapus keringat yang membasahi kening Yuura dengan sapu tangan. Anak itu terlihat ketakutan. Mungkin mimpinya buruk. Meskipun Kai penasaran, tapi dia tidak bertanya lebih jauh tentang mimpi buruk yang baru dialami Yuura itu.


“Sampai keringatan gini, liat tuh.. bajumu juga jadi basah.” Kai membiarkan tangannya menyentuh dada Yuura dan melepaskan satu persatu kancing bajunya.


Yuura terlihat sedikit bingung, meskipun tak mencegah saat Kai melepaskan keseluruhan baju yang dipakainya.


“Tidak nyaman tidur dengan baju basah seperti ini, sebaiknya ganti saja dengan piyama baru. Sebentar, aku ambilkan piyama dulu untukmu.”


Baru saja Kai hendak berdiri mengambilkan piyama baru untuk Yuura, tapi Yuura sudah lebih dulu mencegahnya.


“Tidak usah Kai, biar saja begini.” Ucapnya sembari memegangi tangan Kai.


Kai bisa merasakan Yuura sedikit menarik tangannya dan tanpa kata memintanya untuk tidur di sampingnya.


Lagi-lagi anak ini mulai manja.


Pikir Kai yang agak menggerutu, meskipun tetap mengiyakan keinginan Yuura itu.


“Udaranya memang agak gerah, tapi tidur tanpa baju seperti ini tetap bisa buatmu masuk angin.”


Yuura diam saja saat Kai berkata seperti itu. Dia juga diam saat Kai mulai mencium keningnya.


“Hee.. aneh. Biasanya kamu gak suka aku menciummu.” Ujar Kai, masih dengan senyum tersungging di wajahnya.


“A- aku suka kok.” Ujar Yuura pelan. Saking pelannya sampai Kai tidak percaya dengan kata yang di dengarnya.


“Apa?! Kamu suka Yuura!? Kamu suka aku menciummu?!”


Yuura tidak menjawab. Meskipun bagi Kai, diam itu adalah iya. Dan sekali lagi Kai menciumnya. Kali ini tepat di pipi.


“Sekarang tidur lah.” Kata Kai lembut sembari membaringkan tubuhnya di samping Yuura setelah menyelimuti tubuh anak itu.


“Aku gak mau pake selimut Kai.” Ujar Yuura sambil menyingkirkan selimut di atas tubuhnya.


“Nanti masuk angin.” Kai menarik selimut itu lagi sampai ke atas dada Yuura, tapi Yuura tetap menolaknya.


“Enggak Kai, gak mau.”


“Ya sudah, tapi aku gak tanggung jawab kalau kamu masuk angin.”


Meskipun demikian, Kai tetap memasang tampang kesalnya. Berharap dengan itu, Yuura mau memakai selimutnya.


“Peluk Kai.” Ujar Yuura tampak memohon.


Kenapa anak ini? Tadi gak mau pake selimut, sekarang malah minta peluk.


“Biar gak masuk angin, peluk aku saja Kai.” Ujarnya lagi.


Dua detik waktu Kai untuk berpikir. Dan detik ketiga, Kai sudah mendekatkan tubuhnya ke Yuura dan memeluk tubuh polos anak itu.


“Kalau takut masuk angin kenapa gak pake selimut aja?! Nah ini malah minta dipeluk.” Meskipun demikian, Kai sudah membiarkan Yuura membenamkan kepala di dadanya.


Kai sudah biasa tidur dengan memeluk Yuura, tapi memeluk anak itu tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya, baru kali ini Kai melakukannya, dan baru kali ini pula Kai bisa merasakan kulit lembut anak itu serta kehangatan tubuhnya. Membuat Kai berpikir hal yang macam-macam. Hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terlintas untuk dipikirkannya.


Mungkin Yuura tidak akan menolak jika aku melakukan itu padanya.


Kai tersenyum dan membelai tubuh itu dengan jemarinya. Merasakan kulit lembut itu di setiap sentuhannya.


Jangan Kai.. Yuura ini adikmu. Masa kamu tega melakukan itu padanya..


Kai kembali tersenyum. Tapi kali ini dengan senyum yang berbeda. Menyadari kebodohannya sendiri dan tersenyum bodoh pada akhirnya.


Yuura sudah tertidur dalam pelukannya dan Kai juga mulai memejamkan mata sebelum akhirnya mengucapkan oyasumi setelah mencium kening Yuura untuk terakhir kalinya di malam itu.


---- ------- --------



“Tadaima...”


“Eh, okaeri Izumi.. sini sini ibu tunjukkan sesuatu padamu.”


Izumi tak bisa mencegah saat wanita setengah baya yang tak lain adalah ibunya itu, menarik-narik dirinya.


“Doushite?”


“Iie,diam saja. Lihatlah apa yang akan ibu berikan padamu.”


“Hee.. nani? Kimono?!”’


“Hai, kirei ne?!”


“tapi ini kan kimono perempuan bu?!”


“Memangnya kenapa? Dulu kamu juga pake kimono perempuan dan tampak manis.”


“Tapi dulu... sekarang..”


“Sekarang dan dulu sama saja Izupon. Ayo pakai, ibu ingin melihatnya.”


Izumi memanyunkan bibirnya dan tampak kesal. Bagaimana mungkin ibunya itu memintanya memakai kimono yang jelas-jelas untuk anak perempuan.


“Tidak mau.”


“Kalau kamu tidak mau, ibu akan memaksamu.”


“Kenapa aku harus pake kimono itu? Ibu tidak bisa memaksaku!”


“Ibu cuma ingin melihatnya Izupon. Dulu kamu begitu manis saat memakai yukata. Ibu rindu saat-saat itu, saat dimana kamu memakai kimono musim panas dan bermain kembang api bersama anak-anak perempuan lainnya. Bahkan adik perempuanmu tidak bisa semanis kamu. Ayolah Izumi.. ibu mohon... sekali ini saja ya..”


Wajah memelas ibunya itu sungguh membuat Izumi tak tega.


Kenapa Izumi? Ibu hanya ingin melihatmu. Toh tidak akan apa-apa kalau kamu memakai kimono itu. Semua hanya demi ibu.”


Izumi nyaris mengiyakan, tapi akhirnya tetap menolak.


“Aku tidak mau. Aku ini anak laki-laki, memangnya ibu tidak senang punya anak laki-laki!?”


“Bukan begitu Izumi, ibu hanya ingin...”


“Pokoknya tidak mau!” Seru Izumi sedikit membentak ibunya. Ibunya itu memang aneh-aneh saja. Betapa dia dulu begitu bahagia setiap selesai mendandani Izumi dengan kimono lengkap beserta aksesorinya, tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaan Izumi saat memakai kimono itu.


“Hei, tidak sopan. Tidak boleh menolak keinginan luhur seorang ibu.”


Izumi mendongakkan wajah dan memalingkannya ke arah sumber suara yang terdengar lembut namun tegas itu.


Seseorang berambut panjang dengan kimono motif bunga sakura yang indah sedang berdiri di ambang pintu dan mengipasi dirinya dengan anggun menggunakan kipas kertas dengan motif yang sama seperti kimono yang dipakainya.


Orang itu memasuki ruangan dengan langkah yang tak kalah anggun. Bahkan Izumi melihatnya seperti melayang dan berjalan tanpa menyentuh lantai saking lembut dan anggunnya orang itu berjalan.


“Kamu ya yang namanya Izumi?” Tanya orang itu sambil menunjuk wajah Izumi dengan ujung kipas yang dikatupkannya.


Izumi tampak terdiam, meskipun sebenarnya dia nyaris meledak dan ingin tertawa melihat orang itu. Sangat anggun meskipun wajahnya sangat bertolak belakang.


Seperti okama.


“Mph– ”


Ibu sudah melotot saat Izumi nyaris tertawa. “Ah Murakami-san, maaf memaksamu sampai datang kemari. Kenalkan ini putra sulung saya, Izumi.”


Ibu memberi isyarat kepada Izumi agar memeberi salam pada orang berkimono cantik yang tidak lain adalah seorang laki-laki itu. Izumi pun membungkuk rendah seraya mengucapkan hajimemashite.


“Kawaii na otoko.”


“Aah.. hontou desu ka Murakami-san?!”


Laki-laki itu hanya mengangguk pelan. Matanya masih menatap lekat Izumi, bahkan mengikuti setiap gerakannya, hingga Izumi merasa tak punya celah untuk menghindar dari tatapan itu.


“Ibu tinggalkan kamu berdua dengan Murakami-san.” Bisikan ibu itu membuat Izumi berjengit.


“Ibu tunggu! Kenapa harus..”


Ibu hanya tersenyum sebelum akhirnya menggeser tertutup pintu di ruangan itu.


Izumi berniat menyusulnya, tapi laki-laki bernama Murakami itu kembali mentapnya dan kali ini mulai menyentuh kedua pundaknya, melingkarkan kedua tangannya dari belakang punggung Izumi dan melepas satu persatu kancing seragam sekolah yang masih dikenakan Izumi.


“Murakami-san, apa yang– ”


“Ssst.. diamlah Izumi. Aku hanya ingin membantumu memakai kimono itu.”


Suara Murakami-san begitu dekat. Bahkan saking dekatnya, Izumi sampai tak berani menolehkan wajahnya ke belakang. Murakami-san yang lebih tinggi dari tubuhnya itu berbisik tepat di telinganya.


“Saya tidak mau memakai kimono itu.” Ujar Izumi yang entah kenapa tidak bisa berkutik saat Murakami-san melepas satu persatu seragam yang dipakainya.


“Mu- Murakami-san.. saya mohon...”


“Tidak apa-apa Izumi. Ibumu hanya ingin melihatmu memakai kimono itu.


“Tapi Murakami-san...”


“Isshi. Panggil saja aku Isshi.”


Isshi..?!


Sepertinya nama itu tidak asing di telinga Izumi. Meskipun ia tidak ingat Isshi itu siapa.


---- ---- ----


“Aaah.. kawaii desu!!!” Ibu nyaris memekik saat Izumi selesai dengan kimononya. Sungguh tidak nyaman rasanya memakai kimono itu. Izumi merasa sesak nafas karena Murakami-san mengikat obinya terlalu kencang.


Izumi menatap dirinya sendiri di cermin. Apanya yang kawaii? Dia melihat dirinya tak lebih dari segumpalan daging yang terbungkus kain sutra. Tubuh ini sudah cukup gemuk untuk memakai kimono indah seperti ini.


Izumi menghembuskan nafas panjang dan entah kenapa merasa letih sekali. Ingin cepat-cpat melepas kimono dan riasan wanita di wajahnya.


“Ibu.. sampai kapan aku harus begini?” Tanya Izumi hampir memelas.


“Sebentar lagi Izumi, biarkan ibu puas melihatmu.”


Dan itu artinya masih lama.


Tok tok tok..


“Ah ada yang mengetuk pintu, sebentar ibu lihat dulu itu siapa.”


Mudahan itu bukan siapa-siapa. Izumi tidak mau ada orang lain yang melihatnya berkimono cantik. Bukan teman ibu, tetangga dekat, saudara dekat, saudara jauh dan yang penting..


Jangan sampai itu teman sekolah Izumi!!


“Ah Bou.. lama tidak kelihatan. Kamu tambah manis saja.”


Hee.. dare? Bou!?


Izumi membelalakkan matanya.


Tidak mungkin itu Bou


Mungkin telinganya salah mendengar.


Tapi itu memang Bou. Izumi bisa mendengar suaranya saat menyapa ibu. Dan dia sedang menuju kemari, menuju ruangan dimana Izumi masih terbalut kimono dan riasan cantik.


Dia harus bersembunyi. Tidak boleh Bou melihatnya begini, dengan kimono dan riasan wanita.


Murakami-san yang dari tadi duduk tenang di tatami tampak tersenyum saat melihat kepanikan di wajah Izumi.


Tidak ada waktu memikirkannya, Izumi harus sembunyi sekarang juga. Tapi dimana? Tidak ada satu pun tempat untuk bersembunyi.


Saat Izumi berpikir panik, pintu sudah bergeser terbuka dan Izumi bisa melihat ibunya bersama Bou dan seseorang yang dikenal Izumi sebagai pengawal pribadi Bou.


Mati kamu Izumi


Izumi tidak berani menatap Bou. Dia hanya bisa menunduk dan memainkan jemarinya dengan cemas.


“Ah maaf. Biar saya tunggu Izumi di kamarnya saja.” Ucap Bou sopan.


Kenapa? Kenapa Bou berkata seperti itu? Apa dia tidak tahu kalau aku ada di sini...


“Kamu bicara apa Bou? Bukankah Izumi ada di- ”


“Izumi belum pulang. Benar begitu kan Kazuha?!” Murakami-san memotong ucapan ibu dan kini menatap Izumi yang hanya bisa bengong.


Kazuha? Siapa yang dia sebut Kazuha!? Aku ya maksudnya?!


Izumi mengangguk. Setidaknya ini bisa menolongnya. Dia harus berterima kasih pada Murakami-san yang entah kenapa tiba-tiba menolongnya.


“Wah, kamu teman Izumi? Manis sekali ya.. namamu Bou?”


Bou mengangguk dengan senyum malu-malu.


“Mari aku antar kalian ke kamar Izumi.” Murakami-san menggiring Bou dan pengawalnya keluar ruangan. Izumi sempat bertanya-tanya bingung...


memangnya orang berkimono aneh itu tau dimana kamarku..


---- ---- ----


Note : nama Murakami hanya rekayasa. Bingung mikirin nama keluarga buat Isshi dan akhirnya nyomot gitu aja karena ngerasa family name Murakami yang paling cocok dengan nama Isshi.


--- ---


Sudah hampir setengah jam Bou menunggu. Sebenarnya dia tidak suka menunggu, tapi kalau untuk bertemu Izumi, Bou pun rela menunggunya sampai seharian penuh.


“Sampai kapan kita harus menunggu temanmu itu Bou?”


“Sebentar lagi Kanon. Orang berkimono itu bilang tidak akan lama. Seharusnya tadi kamu gak usah ikut.”


Kanon, pengawal pribadi Bou itu sedikit mencibir. “Kamu gak suka kalo aku mengikutimu?”


“Bukannya gitu, tapi aku cuma ingin kamu gak selalu ikut kemana pun aku pergi.”


Kanon tampak menunduk. Dia merasa jadi orang yang tidak berguna jika Bou tidak menginginkan keberadaanya.


Pintu terbuka. Dan cowok berwajah manis dengan tubuh lumayan gempal itu masuk kamarnya dengan buru-buru. “Maaf Bou membuatmu menunggu.” Ujar Izumi yang langsung mengambil tempat duduk di hadapan Bou. “Ada apa?”


Bou nampak mencari sesuatu di dalam tas ranselnya yang berwarna pink. “Lihatlah ini.” Bou menyerahkan sesuatu ke tangan Izumi. Sebuah dompet.


“Milik siapa?” Tanya Izumi bingung.


“Kamu ingat orang yang bertabrakan denganku beberapa hari yang lalu?”


Izumi mengangguk.


“Kurasa itu miliknya.” Ucap Bou. “Dompet itu sepertinya terjatuh saat kita bertabrakan. Aku ingin mengembalikannya saat itu juga, tapi cowok itu keburu pergi. Aku juga lupa memberitahumu Izu-kun. Baru hari ini aku teringat.”


“Jadi...”


“Temani aku ya..” Bou mengerling ke arah Izumi. “Temani aku mengembalikan dompet itu. Kamu mau kan!?”


Izumi mengangguk. “Tapi kita harus mengembalikannya kemana?”


“Ada sebuah alamat di dompet itu. Mungkin itu alamat rumahnya.”


--- --- ---


Di hadapan Bou, Izumi, dan Kanon kini berdiri bangunan megah yang lebih mirip istana daripada bangunan rumah.


“Bou, apa kamu yakin di sini rumahnya?” Tanya Izumi tampak ragu.


Bou mengangkat bahunya. Kalo rumah megah, dia pun juga salah satu penghuni rumah megah. Tapi rumahnya yang megah, bahkan tidak semegah rumah yang kini berdiri mentereng di hadapannya. “Oke, kita tanya saja penghuninya.”


Bou memencet bel rumah beberapa kali sampai terdengar jawaban dari dalam rumah melalui bel itu. “Maaf nona, saya hanya ingin bertemu dengan pemilik dompet ini.” Ujar Bou tampak menunjukkan dompet itu kearah kamera pengawas yang sengaja di pasang di pagar depan rumah itu.


Lama tidak ada jawaban. Sampai akhirnya pintu pagar itu terbuka sendiri secara otomatis.


“Masuklah.” Ujar sebuah suara wanita yang sepertinya masih muda.


Bou masuk diikuti oleh langkah Izumi dan Kanon. Jarak pagar dengan rumah tampak begitu jauh. Di sekeliling jalan masuk dihiasi taman dan air mancur di tengah-tengahnya. Seorang gadis berpakaian maid tampak menyambut mereka di atas undakan anak tangga yang terbuat dari marmer. “Kalian ingin bertemu Yuura-sama?”


“Yuura-sama?? Kami cuma ingin bertemu dengan pemilik dompet ini.” Tegas Bou.


“Iya benar, dompet itu milik Yuura-sama. Adik tuan besar, pemilik rumah ini.”


Bou dan Izumi hanya bisa menganggukkan kepalanya, sementara Kanon hanya terdiam.


--- --- ---



Orang yang dipanggil Yuura-sama itu, tidak lebih seperti kebanyakan pemuda biasa lainnya. Orangnya sangat ramah dan tampak sangat riang.


“Ah terima kasih. Aku pikir benda ini sudah gak pernah balik lagi.” Ucapnya ringan. “oh ya, namaku Yuura. Kalian siapa?”


“Yuura-sama!?”


“Hah!!? Jangan panggil aku begitu, cukup Yuura.” Cowok itu tersenyum memperlihatkan deretan giginya.


“Aku Bou lalu ini temanku, Izumi dan Kanon.”


“Whahahaa.. salam kenal ya...” Yuura menjabat tangan Bou dengan kencang. “senang berjumpa dengan cewek semanis kamu.”


Bou membelalakkan matanya, meskipun dia sudah tidak terlalu heran jika ada orang yang menyebutnya cewek manis. Tapi sepertinya Kanon tidak suka dengan ucapan Yuura itu, apalagi Yuura belum juga melepaskan jabatan tangannya dari Bou.


“Mata kamu rabun?!! Bou ini laki-laki!!” Tegas Kanon yang langsung menyingkirkan tangan Yuura yang masih menjabat tangan Bou erat.


“Hah!!?? Laki-laki??!!” Yuura tampak melongo bego, meskipun akhirnya ia nyengir dan meminta maaf pada Bou.


“hahaha.. gak papa kok. Udah biasa dibilang manis.” Bou tersenyum genit. Dan Kanon makin terpuruk dengan senyuman Bou itu. Bagaimana mungkin Bou bisa tersenyum semanis itu di hadapan orang yang baru dikenalnya, padahal dia selalu cemberut saat Kanon mencoba melucu di hadapannya.


“Ini sudah terlalu lama Bou, sebaiknya kita pulang sebelum ayahmu marah.” Ucap Kanon tegas.


Bou mengangguk dan menatap singkat kearah Izumi yang tampak mengiyakan ucapan Kanon.


--- --- ---


Pukul sepuluh malam. Kai belum pulang. Yuura menduga ‘kakaknya’ itu akan pulang satu atau dua jam lagi. Dulu Yuura begitu kesepian, tapi sekarang tidak lagi karena ada ‘pemilik rumah’ yang menemaninya.


“Apa yang kamu pikirkan?” Tanya pemilik rumah yang tampak mengelus kepala Yuura yang terkulai di pangkuannya.


Yuura menggeleng pelan lalu menatap ‘pemilik rumah’ itu dengan kedua matanya. Yuura sedikit bingung kenapa kekuatan matanya tidak berfungsi saat menatap ‘pemilik rumah’. Laki-laki itu sangat tampan dan berwibawa. Meskipun sudah tidak bisa dibilang muda lagi, tapi si ‘pemilik rumah’ ini diketahui Yuura adalah laki-laki yang tidak beristri.


“Berapa umurmu?” Tanya Yuura tiba-tiba.


“Menurutmu?” Laki-laki itu malah balik bertanya.


“Empat puluh lima.” Jawab Yuura asal. Meskipun dia tahu kalo ‘pemilik rumah’ itu masih berumur sekitar 30-an.


“Ketahuilah Yuura kalau aku berumur lebih dari itu.” Ucap laki-laki itu dengan senyum penuh misteri seperti biasanya.


Yuura hanya menganggapnya seperti guyonan dan kembali melemparkan pandangannya pada pemandangan aneh di kamar ‘pemilik rumah’ itu. Kamar itu terkesan gelap dengan penerangan yang minim. Tirainya bahkan selalu tertutup pada siang hari. Yah Yuura tahu kalo si pemilik ini sangat tidak suka dengan cahaya, makanya dia hampir tidak pernah mengunjungi kamar Yuura yang terang benderang dan selalu meminta Yuura datang ke kamarnya apabila Yuura merasa kesepian.


“Siapa tiga orang yang mengunjungimu siang tadi?” Tanya si pemilik.


“Mereka datang mengembalikan dompetku yang terjatuh beberapa hari yang lalu.” Ucap Yuura jujur.


“Kamu senang?”


Senang? Yuura tampak bingung. Yah tentu saja ia senang karena dompetnya balik walopun isi di dompetnya hanya 300 yen.


“Maksudku apa kamu senang karena akhirnya bertemu orang baru yang mungkin bisa jadi teman baikmu?”


Yuura termangu sesaat. Dia memang senang dan bahkan meminta alamat rumah Bou, Izumi dan Kanon lalu meminta mereka mengunjungi dirinya di rumah ‘pemilik’ apabila ada waktu senggang.


“setiap hari aku juga selalu bertemu orang baru di pasar. Ada penjual sayur, buah, penjual daging dan lain sebagainya.”


“Tapi tidak ada dari mereka yang bisa kamu jadikan sahabat.” Ucap ‘pemilik rumah’ yang kemudian menganugerahi Yuura sebuah ciuman di kening. Yuura merasa sedikit geli walopun belakangan dia jadi terbiasa dengan ciuman seperti itu.


“Apa tidak apa-apa kalau mereka mengunjungiku disini?” Tanya Yuura was-was.


“Tentu saja tidak apa-apa.”


Ucapan ‘pemilik rumah’ itu menambah kebahagian Yuura hari ini. Dia pun memeluk ‘pemilik rumah’ dengan manja dan membiarkan si pemilik itu mengecup keningnya lagi.


“Malam ini tidurlah disini.”


“Eh, disini?” Yuura sedikit ragu.


“Kenapa? Tidak mau?!”


Yuura menggeleng. Dia hanya tidak biasa dan merasa sedikit segan jika bersama ‘pemilik rumah’, meskipun dia juga sering mengusilinya dan membuat ‘pemilik rumah’ itu marah-marah dengan semua tingkah usilnya.


“Malam ini Kai tidak pulang. Dia harus menjaga restoran. Aku sudah bilang kalau dia tidak perlu lagi kerja di restoran itu, tapi dia menolak. Dasar keras kepala.”


Yuura merasa kecewa mendengar ucapan ‘pemilik rumah’. Padahal malam ini dia berniat tidur di kamar Kai, tapi Kai malah tidak pulang.


“Kamu takut mimpi buruk lagi?” Tanya ‘pemilik’. Yuura makin bingung. Dari mana ‘pemilik’ tahu kalau ia sering mimpi buruk.


“Tidurlah disini Yuura.” Pinta pemilik lagi. Dan kali ini Yuura mengiyakan. Dia memang takut bermimipi buruk lagi dan berharap dengan tidur di kamar ‘pemilik’ yang tenang ini, dia akan bisa mengusir semua mimpi buruknya itu.


---- ---- ----

t.b.c

0 komentar:

Posting Komentar