muddy cult #7

Title: muddy cult
Author: -Keka-
Chapter: 6
Fandom: Nega
Genre: Angst, Thriller,-- (???)
Rating: R


--chapter 7--



Sebelum senja mengikis hari, San berjalan pulang menyeret langkahnya sendiri, menapaki satu-satunya jalan yang akan membawanya jauh dari semua kebisingan duniawi.

Muak.


Aku muak dengan semua ini!

Ia menjerit dalam hati seraya memegangi kepalanya. Sesekali memukul kepala itu, bahkan menjambaki rambutnya. Beberapa helainya tercabut dan menjuntai di sela-sela jemarinya.

Keperakan.

Aneh.

Pikirnya.

Ia yakin rambutnya berwarna kebiruan. Namun entah mengapa saat ia mengangkat beberapa helai rambutnya yang tercabut, ia mendapati warna abu keperakan di rambut itu? Bukan biru?!

Ah, sudahlah.

Pikir San, menepis hal tidak berguna itu. Ia terus berjalan menapaki jalan berbatu yang membawanya sampai ke depan pintu gerbang rumah sekaligus cafe miliknya yang sudah beberapa hari ini ia tutup. Suara gemerisik dedaunan dari pohon-pohon dan semak yang tertiup angin di sekelilingnya, sedikit mengganggu. Sejak kejadian mengerikan yang dialaminya beberapa hari yang lalu, San merasa seperti ada orang yang mengikuti, mengintai gerakannya dan bersembunyi. Lalu orang itu bisa muncul kapan saja saat San lengah, dan menyerangnya hingga tidak berdaya.

Ia makin diliputi banyak perasaan takut, termasuk terhadap Jin, sahabatnya sendiri. Ia tidak lupa pada pakaian hitam, layaknya jubah, yang ia temukan di bawah tumpukan pakaian kotor Jin, saat ia hendak mencucinya. San terkejut ketika merendam pakaian itu, air rendamannya berubah merah.



Darah.

Itu darah.

San yakin itu darah.

Darah siapa?

Jin tidak sedang membedah hewan bukan?!

Apalagi manusia.

Itu tidak mungkin.

Universitas tempatnya belajar, menghukum pemuda itu dengan memberinya skorsing panjang, mencabut beasiswa yang diterimanya, dan ia terancam drop-out jika tuduhan yang ditujukan padanya sebagai pengikut sekte sesat, terbukti benar.

Itu gila.

Pikir San pertama kali saat mengetahui hal itu langsung dari mulut Jin.

Mendadak masa depan Jin yang gemilang sebagai calon dokter bedah muda menjadi hancur. Itu semua karena ia menjalin hubungan dengan seorang wanita jalang. Kalau saja Jin tidak terpikat oleh rayuan manis wanita itu...

San terus saja menyesali.

Ia sudah sering memperingatkan Jin, namun Jin seolah mengabaikan hal itu, dan tetap menjalin hubungan yang San rasa tidak sehat.

Wanita itu seperti maniak. Ia memaksa Jin terus menidurinya, bahkan tega memberi rasa sakit di tubuh Jin hanya demi kepuasannya. Saat Jin merasa jengah, ia mencari pemuas nafsu lainnya dan menyakiti hati Jin yang tulus mencintainya.

Jin meninggalkan wanita itu, tapi apa yang didapatnya?

Wanita itu menampar wajahnya dengan fitnah dan tertawa bahagia di atas keterpurukannya.

Iblis.

San mengutuk dalam hati. Ia bahkan menyumpahinya mati dengan usus terburai dan tubuh termutilasi.

Ia benci sekali pada orang yang menyakiti orang-orang yang ia sayang. Ia bahkan pernah membenci seorang perawat wanita di rumah sakit jiwa, tempat Yu dirawat, saat perawat itu tanpa sengaja menumpahkan air panas ke tangan dan sebagian tubuh Yu.

Ia berharap semoga perawat itu terguyur air panas, kulit kepalanya terkelupas, bola matanya masak, dan otaknya meleleh. San terkesan kejam sekali, meski ia lebih sering membatin keinginannya itu tanpa ia sadari. Dan saat sadar, ia kerap menyesal telah berkeinginan jahat seperti itu.

Namun entah bagaimana, keinginan jahatnya kerap terwujud.

Dua hari setelah tangan dan sebagian tubuh Yu tersiram air panas—yang semula akan digunakan untuk menjahit luka robek di tangan Yu akibat ulahnya menyakiti diri sendiri, perawat wanita itu sungguh-sungguh terguyur air panas. Meski bola matanya tidak masak dan otaknya tidak meleleh, tapi perawat itu mengalami luka bakar yang serius, kulit kepala dan wajahnya juga melepuh.

San juga pernah membatin agar wanita paruh baya cerewet, tetangganya, yang pernah marah-marah di cafenya karena menemukan serangga kecil mati di minumannya, mati tertabrak mobil.

Dan hal itu juga terjadi. Untunglah wanita itu tidak sampai mati, hanya mengalami patah tulang kaki. Sementara pelaku tabrak larinya tidak ditemukan hingga kini.

Lalu kali sekarang, baru-baru ini, San mendapati ‘paket istimewa’ yang ditujukan padanya terbungkus rapi dalam sebuah kardus berukuran cukup besar.

San menjerit histeris saat membuka paket istimewa tersebut.

Isinya adalah potongan tubuh dari mayat wanita jalang yang menyakiti Jin, wanita yang sangat San harapkan kematiannya. Dan wanita itu mendapatkan kematiannya seperti keinginan terdalam San.

Salahku?!

Tanya San dalam hati.

Ia menyesal telah memiliki keinginan keji. Dan sebuah kebetulankah jika keinginan itu terpenuhi?!

* * *

"Polisi mencurigai kita?! Apa-apaan itu!?" Jin mengomel.

San sendiri tidak terlalu banyak berkomentar saat mereka telah meninggalkan kantor polisi, untuk kesekian kalinya memberikan keterangan.

"Tapi kita memang telah membohongi mereka, Jin. Seharusnya kita... aku maksudku," San mengkoreksi, "...seharusnya aku berkata jujur saat mereka bertanya apa kita mengenal wanita itu..."

"Kau tidak ada hubungannya dengan ini, San." Jin memotong, "Hanya aku yang kenal dia. Kau tidak."

San diam beberapa saat, matanya melirik kecil pada Jin yang berjalan di sisi kanannya. "Kau tidak terlihat sedih atau shock dengan kematian wanita itu. Bukankah kau mencintainya?!" Tanya San, seperti curiga.

"Aa— aku..." Jin ragu, "Aku memang pernah mencintainya. Tapi setelah semua yang dia lakukan padaku... apa aku masih perlu mencintainya? Jujur saja aku tidak sedih, San. Tapi aku shock, asal kau tahu saja."

Benarkah?

Tanya San dalam hati.

Kau terlihat tenang sekali saat melihat potongan tubuh bekas kekasihmu, Jin. Atau itu karena kau sudah terlatih dan terbiasa melihat dan membedah tubuh manusia sebagai bagian dari bidang yang kau pelajari selama beberapa tahun belakangan ini?! Kau berubah sekali, Jin. Saat pertama kali kita bertemu, kau takut sekali pada darah. Kau takut melihat darahmu sendiri saat kau tidak sengaja terluka, bahkan kau takut dengan warna merah, meski itu bukan darah.


Aku senang kau berubah...


Tapi...


Ketenanganmu atas hal yang dulu menjadi ketakutanmu itu,


membuatku ngeri...


* * *

Tengah malam saat San tengah terlelap dan terbuai mimpi-mimpinya, sentuhan tangan yang menggerayangi tubuh, mulai dari wajah, dada, hingga paha, dan daerah di sekitar kedua pangkal pahanya, membangunkan bocah itu.

"A..apa?"

"Ssstt.. diam anak manis. Ayah hanya ingin menyayangimu."

"Aku tidak mengerti," ucap San, polos.

"Kau tidak perlu mengerti. Diam saja..."

Ia menurut, meski bingung dengan tingkah pria yang menikahi ibunya itu saat mulai melucuti pakaiannya sendiri.

"Pegang ini, anak manis," pria itu menunjukkan bagian tubuh di bawah perutnya yang mulai terangkat tegak.

San mulai merasa jijik. Ia menggeleng, "Tidak mau, ayah," rengeknya, seraya mulai menjaga jarak dari pria yang dipanggilnya ayah tersebut.

Pria itu melotot, "Kau berani menolak perintah ayah?!"

San masih tetap tidak bergeming.

"Kau tidak mau kan mendapat perlakuan buruk dari saudara-saudara tirimu?!"

"Iya, tapi...."

"Lakukan!" perintah pria itu, seraya mulai menjambak rambut San.

San mulai memegang otot yang menegang itu, tapi ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya dengan itu.

"Remas-remas, anak manis."

San mulai meremas, seperti yang sering ia lakukan pada lengan ibunya saat wanita itu mengeluh pegal dan meminta San untuk memijatnya.

San merasa sudah melakukan hal yang benar, namun nampaknya sang ayah tidak puas, lantas menjambak rambut San lebih kuat, menengadahkan kepalanya ke atas. Ia membuka paksa mulut San, lalu memasukkan bagian tubuhnya yang berupa otot menegang itu ke dalam mulut San.

San mengerang, seperti akan tersedak saat otot panjang itu sampai ke pangkal lidahnya, nyaris terjulur masuk hingga kerongkongannya.

Ayahnya menarik rambut San lebih keras, menarik mundur dan memajukan berkali-kali tubuhnya hingga San merasa tidak nyaman. Tangan pria itu terus memaksa terbuka mulutnya, membuat rahang bawahnya sakit sekali. Sementara tangannya yang lain menjambak rambut San dan membuat kepalanya terus menengadah.

Air mata San mulai banjir menetes tanpa ia sanggup untuk menjerit karena sesuatu telah memenuhi mulutnya. Berkali-kali ia mencoba melepaskan diri, namun hal itu dirasa sulit. Saat ayahnya mengeluarkan miliknya dari mulut San, pria itu mulai memberikan perlakuan yang lebih buruk lagi. Ia menarik turun celana dari piyama tidur San, lalu menelungkupkan tubuh San dengan bagian pinggul terangkat. Salah satu kakinya menginjak kepala San hingga wajah San tenggelam di atas bantal. Sulit bernafas, apalagi untuk sekedar bersuara dan berteriak.

Detik berikutnya, San merasakan satu-persatu jemari ayahnya itu masuk ke dalam satu-satunya lubang di bagian belakang tubuhnya.

San menjerit kesakitan dalam hati. Sakit sekali, seakan jemari itu akan merobek lubang tubuhnya.

Berkali-kali pria itu memukul pinggul San. Lalu memasukkan dan mengoleskan sesuatu yang licin di dalam tubuhnya. Tidak lama setelahnya, sesuatu yang lebih besar dan panjang bergerak keluar masuk dari tubuhnya. Perih. San merasa seperti ada batang kayu yang menusuk bagian belakang tubuhnya.

"A..ayah... hentikan... sakit," rengeknya berkali-kali. Namun pria itu tidak peduli, dan malah tertawa menikmatinya.

San membelalakkan matanya seketika.

Apa itu tadi?!

Tanyanya, saat ia tersadar bahwa ia baru saja terjaga dari tidurnya.

Di sampingnya, Jun masih terlelap tenang, menutupi kedua matanya dengan salah satu tangan agar tidak silau oleh cahaya lampu yang sengaja San nyalakan karena ia takut kegelapan, meski saat tidur.

San bangkit dari tempat tidurnya. Mengambil segelas air putih, menegak habis isinya, lalu menatap Jin kembali.

Jin sedikit bergerak berpindah posisi. Kini San menatap punggung pemuda itu. Ingin sekali ia membangunkannya, lalu menceritakan mimpinya. Tapi mimpi itu terlalu memalukan, lebih memalukan dari mimpinya yang dulu pernah ia ceritakan pada Jin dengan malu-malu, mimpi di mana mereka saling bercumbu.

Apa benar tadi itu hanya mimpi? atau ia memang pernah mengalami hal demikian?!

San menggeleng.

Ia yakin ayah tirinya tidak akan melakukan hal sebejat itu padanya.

Ayah tirinya adalah orang baik.

San percaya itu.

Tapi...

entah mengapa ia menjadi ragu...

* * *

t.b.c.

0 komentar:

Posting Komentar